•Kalih dasa

2.5K 255 32
                                    

Sedah pulang dengan tangan kosong.

Ia gagal, sebab Dawuh yang menemaninya, orang satu-satunya yang bisa mengantarkan Sedah menyusuri setiap sudut Trowulan di ajak pulang oleh Boko dan Dawuh mengakui jika ia memiliki hubungan dengan prajurit kerajaan.

”Pulang bersamaku, temanmu ini hanya akan membawamu pada sebuah masalah dan aku tidak ingin itu terjadi.”

Sedah menghela nafas kala mengingat perkataan Boko tadi. Hingga tak sadar langkahnya membawa tubuhnya menubruk seseorang di depannya, mengusap kening, Sedah melototkan mata melihat siapa gerangan yang ada di hadapannya.

”Yang Mulia?”

Sedah bersimpuh di tanah meski ia sudah tak sopan karena sempat menatap kedua bola mata tajam nan sendu itu.

”Sedang apa kau disini?”

Hayam Wuruk menyembunyikan kedua tangan di belakang punggung, memperhatikan Sedah sebelum memberi gestur agar perempuan itu beranjak dari posisinya.

”Mohon ampun, saya sedang tidak ... ”

”Kau ingin mencari tau sesuatu?” tanya Hayam Wuruk lagi.

Sedah terdiam dengan kepala menunduk, ”tidak.”

”Kau berbohong?”

Sedah berdeham sebelum akhirnya mengangguk.

”Kau ingin membuktikan apa, nyai?”

”Tidak, yang Mulia.”

Keduanya sempat terdiam beberapa saat, Hayam Wuruk berjalan mendahului Sedah dan perempuan itu mampu melihat punggung itu menjauh. Lapangan Bubat adalah saksi sakitnya pria itu ketika melihat Dyah Pitaloka melakukan bela pati dan menarik sumpah dan janjinya.

”Bagaimana rasanya hidup di masa depan?”

”Buruk.”

Berbalik, Hayam Wuruk menatap wajah Sedah.

”Begitu kah?”

”Iya, yang Mulia.”

” ... Bukannya kau sendiri yang bilang manusia di masa depan tidak memiliki etika sebab dirimu di perlakukan hina?”

Tersenyum miring, Hayam Wuruk tidak menyangkal.

”Rasanya aku ingin mati, Sedah.”

Sedah menelan ludah, sebab Maharaja di depannya ini menyebut namanya. Rasanya ia dibawa kembali pada pertemuan bersama Mahapatih di pasar kala pria itu menghampiri dan mengulurkan tangan karena dirinya terjatuh.

”Yang Mulia?”

”Ya, setiap hari rasanya aku ingin mati. Aku ingin menyusul kekasihku dan berharap mungkin saja kami akan terlahir di kehidupan selanjutnya jika sang Hyang menghendaki.”

” ... Dan, Dyah Pitaloka mencintaiku.”

Sedah tidak bisa menanggapi, ia tidak mungkin mengaminkan keinginan Hayam Wuruk untuk mati namun ketika pria itu mengatakan dan berharap suatu saat jika terlahir kembali, Maharaja hanya ingin Dyah Pitaloka mencintainya, Sedah hanya mampu tersenyum kecil.

”Pulanglah, sudah hampir fajar.”

”Baik yang Mulia.”

Berjalan mundur beberapa langkah, Sedah berbalik dan berjalan cepat meninggalkan lapangan Bubat berharap ia tidak salah jalan, tanpa tau jika Maharaja tersenyum kecil turut bahagia karena Sridara, kekasih Patihnya hidup kembali.

”Apa mungkin dia sedang mencari tau tentang Sridara?”

Langkah dengan alas sandal jepit, satu-satunya benda dari masa depan selain ponsel yang Sedah bawa membawanya melewati pasar, ia tidak mungkin menonjolkan diri untuk memakai pakaian dari rumah Mahapatih sebab baju yang ia miliki sekarang identik dengan keluarga Kerajaan. Maka dari itu, Sedah masih memakai kain jarik yang Trengginas beri beberapa saat lalu.

Disini, tenang sekali.

Sedah agaknya memang menyukai Majapahit dari pertama kali datang. Sejarah mengatakan, setelah Jaya Negara meninggal sebab di bunuh salah satu tabib kerajaan, Majapahit bangkit atas kekuasaan Tribhuwana Tunggadewi sampai pada kekuasaan Hayam Wuruk yang masih muda.

Ketatanegaraan yang amat sangat Sedah kagumi.

Benar, Nusantara begitu luas dan kaya akan hasil alam.

”Ayah!”

”Sedah.”

Sedah tidak malu untuk mengungkapkan perasaan rindunya. Terbukti, perempuan itu memeluk Trengginas kala melihat pria itu lewat sendirian. Sebenarnya Sedah sedikit penasaran karena sang Ayah hanya berjalan sendirian pagi-pagi seperti sekarang ini, ”aku dengar semuanya dari Maharaja.”

”Apa, Ayah?”

”Kau ke masa depan bersama Mahapatih?”

Sedah tersenyum sebelum akhirnya mengangguk.

”Bagaimana kabar ibumu?”

Kening Sedah jelas mengerut, bukannya sudah ia bilang jika sang Ibu sudah meninggal dunia. Tapi, mengapa Trengginas justru bertanya kembali padahal sudah mengetahui.

”Ibu sudah ... ”

”Dia pasti baik-baik saja kan?” ujar Trengginas lagi.

Sedah semakin dibuat heran namun ia tidak bisa berkata apapun selain tersenyum dan memilih berjalan bersisian dengan Trengginas seraya menikmati ramainya pasar pagi.

”Sedah.”

”Iya.”

”Jika suatu saat semuanya berakhir, jangan pernah menyesal.”

Terdiam sesaat, Sedah berdeham sebelum menanggapi.

”Aku tidak tau maksud Ayah apa, tapi yang jelas aku menikmati hidup disini. Aku bahagia bersama Mahapatih.”

”Itu yang selalu Ayah harapkan, semoga selalu seperti itu.”

Merangkul tangan Trengginas, Sedah menaruh pipi di sisi bahu Trengginas singkat sebelum menegakan tubuhnya kembali.

”Jika semuanya berakhir pun, aku tidak bisa melawan.”

” ... Bukannya semua ini takdir Tuhan?” ujarnya lagi.

”Sedah.”

”Apa, Ayah?”

”Kau harus tau, Ayah bangga padamu.”

Meski agak bingung, Sedah tetap tersenyum membalas.

”Aku tidak melakukan apapun.”

”Aku bangga karena kau hidup dengan baik.”

”Semua orang bisa melakukan itu, Ayah.”

”Tidak, kau spesial.”

Tersenyum lebar, Sedah melupakan rasa heran yang sempat menghampiri sebab Trengginas menanyakan kabar sang ibu. Meski begitu, Sedah senang dengan obrolan saat ini jika saja penglihatannya tidak mengarah pada sang pujangga, Mpu Prapanca yang lewat di depan matanya dalam jarak beberapa meter, dia terlihat buru-buru.

”Aku harus pergi,” ujar Sedah melepas rangkulannya.

”Lakukan apa yang membuatmu senang.”

Setelahnya, Sedah sedikit berlari mengejar Mpu Prapanca. Berharap ia bisa tau setitik teka-teki dari penulis kerajaan itu.

🌾

Kenapa ya di kita gak ada sutradara yang serius bikin film kolosal kayak drama Korea. Kayaknya sejarah kita gak kalah bagus kalau dibuat series atau film dengan dibungkus secara modern dengan tema fiksi Sejarah. Jujur, aku agak muak sama perfilman Indonesia.

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang