•Sewelas

3.1K 329 13
                                    

Hutan bagian barat Trowulan lebat dengan pepohonan menjulang tinggi. Di jalan setapak halus Sedah terbaring beralaskan paha Dawuh sebagai tumpuan kepalanya. Prapanca menancapkan obor di tanah sebagai bentuk penerangan dan menunggu Mahapatih Gajahmada datang.

”Berapa lama lagi kita harus menunggu?”

Prapanca menoleh pada Dawuh, menepuk kedua tangannya agar terhindar dari tanah kering yang baru saja ia sentuh.

”Tenanglah, mungkin Patih sedang perjalan kemari.”

”Aku teramat kasihan pada, Sedah.” ujar Dawuh.

Hingga tak lama terdiam, keduanya mampu mendengar suara kuda berlari ke arah mereka. Mahapatih Gajahmada turun dari kuda dan melihat raut wajah Sedah semakin pucat.

Dawuh berdiri ketika Sedah sudah berpindah pada pelukan Gajahmada untuk ia gendong. Mpu Prapanca dan Dawuh masih berdiri disana, selanjutnya apa setelah ini?

”Kalian ikut bersamaku,” titah Mahapatih.

”Tapi yang Mulia,” tahan Prapanca.

Pria yang memakai baju Kasaya itu teramat ragu dengan keputusan Mahapatih Gajahmada yang akan pergi melintasi waktu untuk bisa mencapai masa depan. Pun, ia juga merasa takut, bagaimana nanti jika mereka terbunuh disana.

”Kalau kau tidak ingin ikut, yasudah. Aku bisa pergi sendiri.”

”Yang Mulia, hamba ikut.” cegah Dawuh.

”Biarkan hamba ikut yang Mulia.”

Mpu Prapanca akhirnya mengambil keputusan, senyum miring tercetak di bibir Gajahmada. Pohon besar tak jauh dari mereka berdiri adalah tempat dimana Sedah terduduk dibawahnya, ditemani keheningan hutan sendirian di siang hari kala itu. Prapanca dan Dawuh hanya mengikuti kemana langkah Mahapatih hingga sampailah pada sebuah perintah.

”Tutup mata kalian,” ujarnya.

”Untuk apa?”

”Kau masih ingin ikut, Prapanca?”

”Mohon ampun yang Mulia.”

”Jangan buka mata sebelum ku suruh.”

Menuruti perintah tanpa bertanya lebih banyak padahal di kepala masih banyak pertanyaan. Akhirnya dalam kegelapan hutan malam itu, Mahapatih Gajahmada melewati batas waktu serta membawa manusia lain untuk bisa mencapainya.

Mengawang-awang.

Mungkin ini yang Sedah rasakan juga waktu itu, berjalan dalam keheningan. Tidak ada udara bahkan suara sekalian detak jantung sendiri, orang awam seperti Dawuh dan Prapanca sempat kesulitan mengartikan dengan keadaan.

”Yang Mulia? Disini berisik.”

”Sudah.”

Mahapatih Gajahmada membuka mata, hal yang pertama ia lihat adalah bangunan yang tak ada di dunianya. Berfokus pada Sedah yang masih berada di dalam pangkuannya, Gajahmada lantas melangkah membuat Prapanca dan Dawuh saling berpandangan dan cepat mengejar langkah cepat patihnya yang tergopoh-gopoh, ”kita di dimana ini?”

”Mungkin ini yang Sedah maksud masa depan.”

”Hei, kau! Berani sekali menatap yang Mulia!”

Prapanca mendorong bahu seseorang sampai terjatuh, mendapati pria berkacamata mengarahkan benda yang mampu mengeluarkan cahaya dari sana. Dawuh sempat mengira jika itu adalah benda sama yang Sedah miliki.

”Orang gila!” umpat pria berkacamata itu.

Beberapa orang yang tengah menikmati malam di pusat kota bergidik ngeri ketika melihat pria berambut panjang di cepol tinggi itu ketika mendorong seseorang. Tapi tak bisa dipungkiri jika orang-orang yang berlalu lalang terhipnotis dengan wajah tampan Mahapatih Gajahmada meski datar.

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang