•Sangalas

3.2K 300 11
                                    

Setelah di pikir-pikir menjadi istri Mahapatih tidak ada ruginya. Bahkan, Sedah bebas memakai kain-kain berbahan halus yang tersedia di lemari kamar mereka yang luas dan berlantaikan kayu yang sedikit mengkilap. Sedah jadi teringat keraton Jogja terlebih dengan ukiran di tiang dan beberapa hiasan di luar rumah berupa batu yang di pahat rapi.

Rumah Mahapatih Gajahmada juga dikelilingi dengan batu bata merah dan gerbang di depan sana senantiasa di jaga dua Bhayangkara. Jika Mahapatih saja mampu mendapatkan hunian dan keamanan yang nyaman bagaimana dengan Maharaja Hayam Wuruk?

”Kau belum tidur?”

Sedang asik melamun, Sedah sedikit terkejut ketika mendapati pria yang tengah ia pikirkan datang secara tiba-tiba. Gajahmada agaknya heran karena mendapati permaisurinya itu berwajah sendu di malam hari yang sudah gelap ini.

”Aku menunggumu yang Mulia.”

”Sudah kubilang tak usah menungguku, tidurlah.”

Sedah mengangguk singkat dan tertidur di ranjang dengan kasur empuk yang sepertinya terbuat dari pohon kapuk. Sprei yang melingkupinya juga terasa lembut membuat Sedah yakin jika mulai malam ini tidurnya akan nyenyak.

”Aku bertemu Ayahmu, beliau menitipkan ini.”

Gajahmada menyodorkan sesuatu yang membuat Sedah penasaran, ia menggapainya dan membuka kotak kayu kecil yang rupanya berisi lembaran daun lontar kering juga sebatang bulu ayam juga tinta. Apakah ini untuk menulis?

”Benarkah dari Ayahku?” tanya Sedah.

Mahapatih Gajahmada menyusul duduk di ranjang, pria yang memiliki aroma menenangkan itu tak langsung menjawab dan menghela nafasnya, ”aku tidak tau apa yang kau senangi jika berada di Trowulan, dan aku hanya memiliki itu berharap mungkin saja kau senang menuliskan sesuatu.”

Mendengarnya Sedah tersenyum lebar, ”terimakasih.”

Melihat Sedah tersenyum membuka Gajahmada turut senang dan membalas senyuman itu selebar mungkin.

”Ayo tidur, besok aku harus mengurus kekacauan.”

”Belum selesai juga?” tanya Sedah.

”Sedikit menuju selesai.”

Sedah terdiam sesaat kemudian menaruh kotak kayu itu asal dan memposisikan tubuhnya untuk tidur, terlentang menatap langit-langit kamar. Dan, keterdiaman itu rupanya mengundang Mahapatih untuk memposisikan diri, menyerongkan tubuhnya agar bisa melihat permaisurinya.

”Mengapa kau terlihat gundah?”

”Rasanya ini tak benar yang Mulia, semuanya salahku.”

”Mengapa kau berbicara seperti itu?”

Sedah mampu merasakan elusan jemari Gajahmada di pelipisnya, sangat lembut dan pelan seolah memberi kenyamanan setiap sentuhannya. Menghela nafas dengan segala yang terjadi beberapa hari ini Sedah melirik Mahapatih kemudian tersenyum. Namun, senyuman itu dapat Gajahmada artikan sebagai beban terdalam.

”Semua kekacauan ini tak akan terjadi bukan karena aku.”

”Tidak, Adinda.”

”Aku dalang sebab sejarah tak sejalan.”

”Tak sejalan bagaimana?”

”Putri Sunda tidak salah apapun, dia mencintai Maharaja namun pernikahan mereka gagal karena dirimu, yang Mulia.”

”Kau dibohongi masa depan, kekasihku.”

Hela nafas kembali Sedah keluarkan dan berdecak kecil.

”Lalu mana yang harus ku percaya?”

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang