•Wolu

3.2K 371 4
                                    

"Kau sering ke pelabuhan, Dawuh?"

"Tidak, karena jauh."

Seingat Sedah dalam sejarah yang ia baca, Canggu adalah pelabuhan pusatnya ekonomi dan bisnis. Menjadi gerbang utama kerajaan Majapahit. Ramai. Satu kata yang menggambarkan Canggu dalam film-film kolosal seperti saur sepuh yang sangat bosan untuk ia tonton ketika kuliah dulu. Tapi, entah mengapa sekarang Sedah antusias untuk mendatangi pelabuhan ini, terlebih untuk melihat putri Dyah Pitaloka yang bertandang ke tanah Jawa untuk bermain disana. Sedah sangat penasaran dengan kecantikan dari anak Raja Lingga Buana itu yang telah berhasil memikat hati Maharaja Hayam Wuruk.

"Masih jauh?"

"Sebentar lagi."

Dengan perbekalan seadaanya yang dibalut kain, Sedah hanya mengikuti langkah Dawuh dengan sandal jepit yang ia kenakan. Beberapa kali ia memotret hutan, serta berfoto bersama Dawuh untuk mengabadikan kenangan. Awalnya Dawuh tidak mau, katanya takut, membuat Sedah tertawa. Sungguh lugu, padahal hanya menangkap gambar.

Keluar hutan, menapaki jalan setapak, masuk hutan lagi, keluar lagi. Seperti itu terus, kalau saja Sedah termasuk gadis manja, sudah sedari tadi ia mengeluh lelah karena betis pegal. Namun anehnya ia tidak merasakan itu, padahal dulu awal-awal kerja di sebuah museum, Sedah selalu mengeluh sakit kaki karena harus mengelilingi museum begitu luas untuk menemani tamu mengenalkan koleksi.

Hingga tak lama, suara riuh dari depan terdengar membuat Sedah semakin bersemangat berjalan. Ia tidak sabar untuk melihat aktivitas penduduk Majapahit di pesisir pantai.

"Waaaaaw!" Sedah menganga ketika melihat orang-orang disana. Dawuh menepuk bahu Sedah, menyadarkannya.

"Di duniamu ada pantai?" tanya Dawuh.

"Ada, banyak."

"Bagaimana dengan pelabuhan ini?"

"Aku tak tahu percis, kalaupun ada, mungkin namanya sudah berganti," jawab Sedah melangkah bersama Dawuh untuk melihat-lihat pada riuh aktivitas disana. Menakjubkan!

"Kau tidak mau mengambil gambar? Biasanya seperti itu."

Dawuh meledek dan Sedah mencebikkan bibir, diam-diam takut ada yang menyadari. Sedah mengambil ponsel, memotret dan memulai video. Tidak lama, mungkin hanya sampai beberapa menit. Ia terlalu takut untuk mengeluarkan benda yang ia bawa dari masa depan itu.

"Boleh tidak ya, kita naik kapal?"

"Aku tidak yakin, kau mau apa naik kapal nelayan?"

"Ikut menangkap ikan," cengir Sedah tak berdosa.

Dawuh berjalan kembali, membiarkan Sedah mengikutinya sampai keduanya melihat jejeran ikan segar di jajakan. Melirik kesana-kemari, Sedah bisa melihat Mahapatih dan Maharaja dari kejauhan, beberapa pengawal ada di sekitar mereka dengan tongkat tombak yang senantiasa mereka bawa. Bhayangkara, si pasukan elit Majapahit yang sampai sekarang masih dibicarakan. Meski ekskavasi dari pemerintah belumlah di lanjutkan, Sedah sangat percaya jika Majapahit memang benar nyata adanya. Menjadi kerajaan besar yang menduduki Nusantara bahkan sejarahnya ada sampai saat ini.

Dalam sejarah, putri dari kerajaan Sunda itu mati tewas karena bunuh diri dalam perang Bubat yang melibatkan Majapahit dan Sunda Galuh. Sebenarnya apa yang ingin semesta tunjukkan pada Sedah hingga membuatnya terjebak di tahun ini dan membuat kepalanya pusing.

"Kau tau tidak apa itu perang Bubat?"

"Perang?" tanya Dawuh.

"Iya perang Bubat."

Dawuh tampak keheranan dan menunjuk satu ekor ikan bersirip kuning dan menukarnya dengan dua koin Gobog.

"Maksudku, perang apa? Bubat itu di Trowulan, Sedah. Ha, apa maksudmu nanti akan ada perang di alun-alun Bubat?"

"Entahlah, sejarah di bukuku memang seperti itu."

"Kenapa bisa terjadi?"

"Karena Mahapatih ingin membuat kerajaan Sunda tunduk."

"Demi Hyang Sukmo! Kau bicara apa, Sedah?"

Sedah menghela nafas membuat Dawuh tersadar darimana Sedah berasal. Ia menarik tangan Sedah agar menjauh dari beberapa pedagang yang sibuk melayani pembeli dan membicarakan ini lebih lanjut, "aku bersumpah, Dawuh."

"Kau tidak berbohong?"

"Sejarah menyebutkan jika Mahapatih Gajahmada itu juga menyukai putri Dyah Pitaloka yang amat sangat cantik."

"Sadarlah, Sedah. Kau tidak lagi hidup di masa depan. Mungkin saja buku yang kau baca tidak sesuai dengan apa yang terjadi, kau melalui hidup ini dengan nyata, Sedah. Kau harusnya bisa membedakan mana yang benar dan tidak."

Nyeri sekali dadanya, Sedah tidak tau mengapa dalam sejarah yang telah ia baca mengenai Mahapatih yang sebenarnya sudah memiliki istri dan anak yang bernama Aria Bebed.

Bruk!

"Sedah."

Dawuh berjongkok ketika Sedah tiba-tiba terjatuh ke tanah, sembari memegangi kepalanya yang teramat sakit.

"Aku pusing, Dawuh. Kepalaku terasa berat."

Percis seperti dua hari lalu sebelum perjalanan ke Canggu, Sedah merasa bayang-bayang itu kembali menghampiri. Bayang dimana dirinya bersenda gurau bersama Mahapatih Gajahmada di sebuah rumah yang nyaman sampai berkuda di Padang rumput yang luas dan indah. Tapi Sedah tak merasa pernah melalui itu.

"Kau terlihat sangat cantik permaisuriku."

"Aku mencintaimu, Sridara."

"Sedah, kau bisa mendengarku?"

"Arghhhhh."

Sedah mampu menguasai diri, nafasnya tersengal dan menerima air putih dari dalam wadah yang Dawuh siapkan.

"Apa yang kau lihat?" tanya Dawuh.

"Wajahku sendiri, dia bersama Mahapatih."

"Sekarang kau percaya jika dirimu itu Sridara?"

"Mungkin."

Dawuh membantu Sedah berdiri, membersihkan kain jarik dari pasir yang menempel sebelum dari kejauhan mereka melihat seorang putri Dyah Pitaloka turun dari kereta kuda, Sedah memperhatikan geraknya yang anggun.

"Kau benar Dawuh, dia sangat cantik."

Dyah Pitaloka Citraresmi, putri dari Raja Lingga Buana.

"Sangat pantas bersanding dengan Maharaja."

Sedah mengangguk kecil dan masih terkagum melihat putri dari kerajaan Sunda itu. Sangat cantik dan berkharisma. Matanya teduh, senyumnya pun menawan, Sedah yakin pesonanya mampu meluluhkan siapa saja termasuk Rajanya, raja Majapahit yang menyambut hangat kedatangan tamu agungnya. Tapi yang membuat Sedah heran adalah, mengapa Dyah Pitaloka Citraresmi selalu menatap Mahapatih Gajahmada di saat Hayam Wuruk mengajaknya bicara.

🌾

Mana sejarah mana fiksi hayo? Jangan terkecoh.

Pada masa kepemimpinan Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi Kerajaan Sunda Galuh lebih dikenal dengan Pakwan Padjajaran. Dan pelabuhan Canggu kini menjadi sebuah desa di Mojokerto ya gengs.

Mohon maaf lahir dan batin warga Nusantara.

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang