•Selikur

1.4K 157 10
                                    

Sridara.

Nama yang terus terputar di otak Sedah setiap hari.

Jika dirinya memang Sridara, mengapa ia tidak mengingat apapun tentang Majapahit, Gajahmada, atau Hayam Wuruk sang penguasa tahta. Jika ia memang reinkarnasi dari nyai Sridara, permaisuri dari Mahapatih Majapahit, mengapa dirinya harus terlempar ke masa lalu dan mengapa bukan Gajahmada yang menemuinya di masa depan.

Rasanya Sedah gila memikirkan itu semua.

”Sebaiknya aku pulang.”

Sedah bergumam setelah membasuh wajahnya dengan air kolam Segaran yang dingin. Sebenarnya ia tidak tau percis sekarang dirinya ada dimana, karena yang jelas, ia masih saja buta jalan dan belum hafal setiap tempat di tanah ini.

”Huh ... ”

Menghela nafas berat, Sedah menyerah karena tak bisa menggapai laju jalan Mpu Prapanca yang cepat. Setelah sampai rumah dengan jarak yang ternyata cukup jauh, ia duduk di atas dipan dengan kasur empuk yang terdapat seorang pria dewasa dan matang di depannya tengah tidur dengan damai. Wajahnya tenang dan tampan, Sedah rasanya ingin mencuri barang sekali kecup di bibirnya.

”Adinda?”

Terperanjat, Sedah menegakan duduk dan tersenyum pada Mahapatih sebelum menyusul untuk tidur di sampingnya, menjadikan sebelah tangan kekar itu sebagai bantal.

”Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Masih mempertahankan senyum, Sedah menggeleng.

”Tidak, aku hanya terbangun karena haus.”

Bohong.

Nyatanya ia sudah melewati beberapa waktu bersama Dawuh untuk melihat jejak-jejak perang di lapangan Bubat dan tak sengaja bertemu dengan Maharaja juga sang Ayah.

”Kau seperti menyembunyikan sesuatu.”

”Ah ... Tidak kok!”

Meyakinkan Mahapatih lagi, Sedah merangsak masuk, menempeli dada Gajahmada dan merasakan hangat disana. Rasanya menenangkan jiwa dan raga, Sedah tak pernah merasakan sedamai ini dalam pelukan orang lain.

Tapi, Gajahmada bukan orang lain baginya, kan?

”Aku mengantuk.”

”Yasudah, tidurlah.”

Maaf, kangmas.

Menutup matanya, Sedah mampu merasakan elusan di rambutnya. Sesekali ia juga merasakan jempol tangan Gajahmada menyapu pipi dan bibirnya yang berhasil membuat dirinya semakin nyenyak dalam tidur dan tidak mengetahui apapun lagi.

Entah berapa lama sudah ia lewatkan, Sedah terbangun dengan badan segar. Mungkin karena tempat tidurnya yang terasa begitu nyaman dan penghantar tidur yang membuatnya nyenyak, tidurnya terasa amat berkualitas meski ia tidak tau jam berapa sekarang. Jam di ponselnya jelas tidak berputar, waktu seolah tak berjalan disini.

”Kakanda?”

Menurunkan kaki, Sedah mengikat rambutnya yang berantakan dan tak menemukan Gajahmada sampai matanya menangkap secarik daun lontar kering yang berfungsi sebagai kertas dengan sebuah kalimat tertulis disana.

Apakah ini surat?

”Aku mana paham, dasar patih gendeng.”

Meski begitu, Sedah tetap menyimpan sebuah surat itu dan mungkin ia akan menyuruh sang penulis untuk menerjemahkannya nanti. Menggeliat sebelum beranjak, Sedah rasanya seperti seorang gadis yang tidak memiliki kegiatan apapun selain tidur dan makan. Omong-omong ia baru bangun dan Gajahmada sudah tidak ada, makan apa pria itu?

Ah, Sedah belum pantas jadi istri!

”Ibu, lihat kangmas tidak?”

Sedah menguap lebar tanpa malu membuat perempuan paru baya yang dipercaya bekerja di rumah Mahapatih itu menggelengkan kepala dengan sikap tak anggun istri Gajahmada. Sedah bahkan menaikan satu kaki ke atas bale-bale yang ada di teras rumah sebelum menyadari tatapan si Mbok.

”Yang Mulia Patih ada di pengadilan.”

”Hah, pengadilan siapa? Masih ada sangkut pautnya sama putri Dyah Pitaloka, ya? Boleh katakan pengadilan itu dimana? Aku ingin melihat suamiku sedang bekerja.”

”Tidak boleh, kau belum mandi.”

Sedah merengut menahan kesal, ”iya aku tau, maksudnya habis mandi. Memangnya sekarang jam berapa?”

”Hampir petang, kau tidur terlalu lama.”

Merengut lagi adalah hal yang Sedah lakukan, ia merasa si mbok yang bekerja dengan Mahapatih Majapahit ini bukan sembarang orang. Terbukti dari cara bicaranya yang tegas dan cukup membuat Sedah kesal karena berani sekali.

Ya, walaupun Sedah akui, sekarang ia istri dari Gajahmada yang bisa saja asal menunjuk dan memerintah tapi ia tidak mungkin bersikap arogan seperti itu.

”Aku ingin mandi di sungai.”

”Tidak bisa, sudah hampir malam.”

”Tapi kan, ibu bisa temani aku.”

”Tidak.”

”Bu?” panggil Sedah sepelan mungkin.

Entah mengapa, rasanya ia ingin bermandikan air sungai tengah hutan yang bisa membuat tubuhnya segar kembali.

”Tidak ya tidak.”

Sedah menunduk kala si mbok yang belum ia ketahui namanya melotot dengan tajam, ”ya sudah aku sendirian aja.”

”Tidak.”

”Ada apa ini?”

Hadirnya Gajahmada menjadi penyelamat Sedah, perempuan itu tersenyum dan berlari kecil ke arah pria bertubuh kekar itu dan bersembunyi dibalik salah satu lengannya.

”Mohon ampun yang Mulia, nyai Sridara tidak mau mandi.”

Ih ngaduan juga ini nenek-nenek.

”Ih bukan begitu, Kakanda.”

Sedah mendongakkan kepala dan menemukan wajah yang selalu terbayang di benaknya, sedang menanti jawaban.

”Lalu apa?”

”Aku ingin mandi ke sungai tapi dia melarang.”

Sedah mampu melihat Gajahmada menarik sebelah ujung bibirnya, seperti ingin tertawa namun ditahan sebelum menyuruh si mbok untuk meninggalkan mereka berdua.

”Ayo.”

”Kemana?”

Sedah menatap Gajahmada setelah pria itu hanya mengeluarkan satu kata ajak yang terdengar bukan ajakan.

”Mandi di sungai.”

Sumringah mendapat jawaban seperti itu, Sedah tersenyum lebar dan tanpa sadar memeluk lengan Gajahmada dan bersandar singkat, ”kangmas juga mandi, kan?”

”Tidak, menemanimu saja.”

”Okey.”

Meski rada kecewa karena Gajahmada tak akan bergabung mandi dan hanya menemani, Sedah bergegas bersiap masuk ke dalam rumah tanpa tau jika gerak tubuhnya yang meloncat-loncat kecil mampu membuat seorang Mahapatih Majapahit yang dihormati tersenyum hangat.

”Kau tak akan ku lepaskan lagi, Adinda.”

” ... Jika itu terjadi, aku akan menunggumu lagi.”

🌾

Siapa yang dikampung nya banyak sungai?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang