•Wolulas

4.5K 454 13
                                    

Eyang putri memeluk Sedah lama ketika mendengar cucunya itu harus kembali ke Mojokerto, hidup mandiri bersama sang suami meski sedikit enggan jika harus melepaskan kepergiannya di saat kedua orang tuanya sudah tiada.

Ayah gak meninggal, Eyang. Dia ada di bumi Majapahit.

Sedah tersenyum kemudian mencium kedua pipi Eyang putri dan memeluk Mbah kakung sekilas sebelum benar-benar meninggalkan Jogjakarta. Chika menangis membuat Sedah tertawa, katanya sedih mengingat mereka jarang sekali bertemu. Lagi pula, Chika juga harus memulai kuliahnya dan merantau ke pulau Sumatera bersama kedua teman lainnya.

Setelah berpamitan, Sedah menatap gerbang yang di maksud Maharaja. Ia menutup mulut sebab kaget melihat gerbang dengan cahaya biru mengkilau, rasanya ia tak melewati ini ketika terbawa mesin waktu karena sebuah buku yang sekarang di pegang Mpu Prapanca, katanya buku kuno itu adalah potongan tulisannya yang hilang. Banyak teka-teki yang Sedah tak tau, dari mana asalnya buku itu sampai bisa berada di gudang rumah Eyang, ”ah, aku merindukan bajuku.”

”Aku juga,” bisik Sedah pada Dawuh.

Lima manusia itu memakai pakaiannya kembali, pakaian khas kerajaan yang menampilkan kasta dan derajat seseorang. Mendesah pasrah, Sedah harus kembali tinggal sendirian di saat Trengginas lebih banyak menghabiskan waktunya di Istana. Mpu Prapanca melirik dua gadis itu, pujangga yang memakai baju biksu Budha itu menatap keduanya membuat Sedah dan Dawuh diam, tak melanjutkan obrolan, ”setelah melewati ini, kita akan muncul dimana, yang Mulia?” tanya Mahapatih pada Hayam Wuruk.

”Tengah hutan.”

Sedah melihat ke belakang, ia menelan ludah menyakinkan dirinya sendiri untuk meninggalkan tanah Nusantara di masa depan, ia melihat sebelah tangannya yang bertaut dengan Mahapatih kemudian tersenyum kecil, ”kau siap, Adinda?”

”Ya, kangmas.”

Maharaja Hayam Wuruk menjadi orang pertama yang melewati gerbang bercahaya biru di depan mereka. Sedah menutup mata dengan sebelah tangan berada di genggaman Mahapatih, pria dengan wangi menenangkan itu tersenyum menyentuh kelopak mata Sedah. Perempuan itu membalas senyum Mahapatih dan mengedarkan pandangan, bersyukur karena yang ia lewati bersama manusia-manusia di depannya bukan sebatas bunga tidur.

”Ini bukan mimpi, Adinda.”

”Ya, Kangmas.”

Sedah memeluk Mahapatih Gajahmada, perempuan itu tak sadar menangis dan pria dewasa itu mengusap rambutnya. Hayam Wuruk hanya diam menatap patihnya bermesraan dan berjalan lebih dulu bersama Mpu Prapanca. Sementara Dawuh hanya menunduk, ia akan mengikuti kemana Sedah melangkah saja daripada harus mengikuti pujangga dan Maharaja Majapahit melangkah.

”Mari, aku antar pulang.”

”Maharaja?” Sedah mendongak menatap kekasihnya.

”Sudah tidak ada, ayo Adinda.”

Keduanya melangkah pergi, Sedah melirik gerbang bercahaya itu dan menarik lengan Dawuh tak membiarkan teman satu-satunya itu agar tidak berjalan di belakang.

Semula, Mahapatih dan Sedah mengantarkan Dawuh. Gadis itu melambaikan tangan seraya tersenyum kemudian masuk ke dalam rumah, Sedah mengedarkan pandangan menatap kampung yang ia rindukan, meski harus meninggalkan masa depan dan menjalani hidup baru sebagai pasangan seorang Mahapatih, Sedah siap apabila ia tak bisa kembali ke dunianya. Suara kuda berlari terdengar begitu saja membuat api di atas obor-obor sepanjang jalan bergoyang. Salah satu Bhayangkara memberi hormat pada Mahapatih dan memberikan kudanya.

”Ayo, Adinda.”

Sedah terperanjat sedikit ketika Mahapatih memegang pinggangnya, membantu dirinya naik ke kuda dengan duduk menyamping, di susul Mahapatih naik dan pergi meninggalkan perkampungan. Kembali melewati lembah luas ditemani cahaya rembulan, sepanjang jalan Sedah sibuk memperhatikan sekitar, ia benar-benar merindukan suasana Majapahit yang damai dengan ketatanegaraan yang rapi. Andai di masa depan negerinya melanjutkan pemerintahan di zaman ini, mungkin masa depan akan semaju kerajaan yang ia tapaki sekarang.

”Pilihanku tak salah, kangmas.”

”Hm?”

”Aku merasa aman dan damai jika disini, bersamamu.”

Mahapatih menunduk, mencium bahu Sedah sekilas.

”Aku mencintaimu, Adinda.”

”Aku juga, Kangmas.”

”Mulai malam ini, kau tinggal bersamaku.”

Sedah tersenyum tanpa melihat wajah Gajahmada.

”Iya, sayang.”

Sedah terkekeh ketika ia melirik Gajahmada, pria itu tengah mengerutkan kening, seolah tengah berpikir dengan panggilan yang baru saja ia lontarkan beberapa detik lalu.

”Apa itu?”

”Panggilan manis untukmu.”

”Milik masa depan?”

Sedah mengangguk dan turun dari kuda ketika baru sampai. Mahapatih terlihat melototkan mata karena kekasihnya tiba-tiba saja meloncat dari atas tunggangannya.

”Kau membuatku terkejut.”

Sedah menyengir, ”maaf.”

”Sudahlah, masuk sana! Aku menyusul.”

”Tidak mau, bareng aja.”

Gajahmada terlihat mengusap leher kuda sebelum meninggalkan hewan itu, Sedah melangkah bersama pria itu masuk ke dalam rumah dengan gerbang batu bata merah. Rumah yang dimiliki Gajahmada rupanya cukup luas dan membuat Sedah sempat terkagum dengan arsitektur khas kerajaan yang Sedah tonton. Dari masa depan, Sedah kembali membawa ponsel, ia juga sempat memotret buku misterius yang dibawa Mpu Prapanca.

”Ini lemarimu, Adinda. Pakailah semua pakaian ini.”

”Okey, ini kamar kita?” tanya Sedah.

Mahapatih tersenyum dan mendekatkan wajah membuat Sedah yang percaya diri mendongak menerima sambutan yang mungkin akan pria itu berikan.

”Tidurlah, aku harus bertemu dengan Maharaja.”

Sedah memberengut, ia sedikit kecewa karena berharap.

”Hati-hati.”

Gajahmada mengusap pipi Sedah dan berbisik pelan.

”Aku tak akan pulang malam, tapi tidurlah lebih dulu.”

Kemudian pria itu pergi setelah meninggalkan kecupan singkat di bibir Sedah, tersenyum sebelum meninggalkan.

🌾

07/06/2024

LANGIT MAJAPAHITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang