Hal. 01
»»-𝙿𝚛𝚘𝚕𝚘𝚐--««𝓣𝓾𝓪𝓷 𝓑𝓾𝓶𝓲 𝓛𝓪𝓷𝓬𝓪𝓷𝓰 𝓚𝓾𝓷𝓲𝓷𝓰
Berdiri di hadapanku siang itu, pemuda bergaya rambut mullet bergelombang, aku tidak pernah suka dengan pemuda berambut panjang, tapi entahlah, aku suka gaya rambut itu di dirinya. Aku memutar bola mataku meladeni pemuda ini, dia jauh-jauh datang menyeberang pulau hanya untuk bertemu denganku yang baru saja patah hati, berharap cintanya akan aku terima setelah bertahun.Akulah si putri permata yang mengundang pangeran dari Bumi Lancang Kuning datang mengulurkan cinta. Ini bukan di negeri dongeng, hanya segelintir kisah cinta yang awalnya tidak ingin aku mulai. Pada akhirnya aku yang mengawang menerima cinta darinya.
Saat itu hatiku tak dihargai pemuda Tanah Jawara ini, kisah cintaku tak begitu mulus. Aku enggan menceritakan bagian itu; dia tidak seharusnya menyatu dengan aksara asmaraloka antara aku dan pemuda keras kepala dari seberang nun jauh di sana. Sekisar tiga tahun atau bahkan lebih, kurasa. Pemuda itu dengan wekel ingin merengkuh hatiku, berkali kuacuh tak acuh, dia tetap merangsak upayanya hingga aku jatuh dengan elok dalam afsunnya yang tiada banding.
Sore itu di halaman belakang rumahku, memandangi hamparan lapangan rumput hijau dihiasi tebaran anak-anak kambing yang bermain dan memakan rumput. Kami berteman dengan dua cangkir kopi hitam yang dinikmati berdua, aku dan dia. Hal yang menjadi kewajiban setiap pertemuan, meski aku dan dia sekadar berkawan baik, cintanya belum aku terima tapi perlakuan baiknya aku apresiasi.
"Bisakah senyum dan pandangan konyol itu diredam sedikit? aku pegal melihatnya," kataku sebelum menyesap kopiku. Sebetulnya aku ini gadis penuh harga diri sekali di depan dia, enggan mengakui bahwasanya sampai sebetul-betulnya gadis ini mulai terbawa arus pesona pemuda ranah Sumatera itu.
Pemuda beralis tebal dengan ukiran rahang tegas itu selalu mengupayakan yang terbaik untukku, si gadis biasa yang tiada apa-apanya ini dibanding dia dari segi apapun. Ayahnya dan ayahku, memiliki korelasi bisnis perdagangan, itulah bagaimana aku bisa mengenal dia. Awal mula pemuda remaja berperawakan kecil, gigi yang tumpang-tindih-sama sepertiku- Rambutnya kala itu masih guntingan pendek. Aku enggan berkomunikasi dengannya karena dia bukan anak perempuan yang bisa aku ajak main masak-masakan. Kami bertemu beberapa kali dan aku mulai tahu bahwa nama remaja laki-laki itu adalah Radan Arzatta Bastio, anak sulung dari dua bersaudara.
"Hidup ini singkat, senyum dan tataplah keindahan selagi mampu," jawabnya kemudian. Tatapan bola mata hitam legamnya membuatku tak berkutik. Bagaimana bisa tatapan itu terlihat tajam dan teduh diwaktu bersamaan.
"Jadi apakah perbincangan kita di WhatsApp berlanjut?" tanyanya. Menghiraukan aku yang kepalang salah-tingkah.
"Kau laki-laki, kau yang memimpin," kataku ketus.
"Jikalau aku yang memutuskan, aku akan menyebutmu kekasih saat ini juga." Radan menatapku seraya senyum tipis.
"Aku rasa Abang tidak ingin kembali ke Riau tanpa pencapaian apapun kan?" Aku meliriknya. Pemuda berkaos kuning dan celana levis itu terkekeh menampilkan deretan gigi rapihnya yang dikepung behel.
"Jadi jawaban dari perjuanganku selama empat tahun terjawab hari ini? maaf tidak membawakan hal yang manis." Radan menopang dagu dengan tangannya. Senyum manis dan tatapan teduh itu, bagaimana bisa aku baru menyadarinya sekarang.
"Kau sudah cukup manis." Aku berceletuk dengan tatapan yang tetap datar.
"Apa Nona tanah Jawara ini baru saja menggodaku?"
Dua cangkir kopi itu menjadi saksi detik-detik terakhir kami memutuskan hubungan kawan baik dan melanjutkan dengan tebaran asmara yang harap-harap dapat terajut sempurna.
...ᘛ⁐̤ᕐ
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...