(04) Momen Imlek

17 7 5
                                    


ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟺

𝓜𝓸𝓶𝓮𝓷 𝓘𝓶𝓵𝓮𝓴-

𝓜𝓸𝓶𝓮𝓷 𝓘𝓶𝓵𝓮𝓴-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku membereskan sisa-sisa bahan makanan di meja terbuat dari semen yang menempel di bilik rumah berlapis seng, kami menyebutnya meja batu. Perayaan Imlek akan segera tiba, aku baru selesai membantu mama mempersiapkan lauk pauk yang berjumlah dua belas rupa. Mama mengerjakannya dengan konsep menyicil sejak kemarin, hingga pekerjaanku tak begitu berat. Kali ini Radan ikut dengan ayahnya dan papaku ke rumah pamanku; urusan bisnis sehingga tak merecoki urusan kami di dapur-meskipun tak betulan merecoki, aku hanya enggan mengatakan betapa serunya dia.

Aku bersenandung mengikuti lirik lagu pop jadul dari Panbers sambil meniti bayang-bayang Radan. Jiwaku bahkan rasanya tak melekat pada raga.

"Nyanyi aja." Aku betulan berjingkat.

"Aduh kaget, baru sampe Om?" tanyaku seraya menetralkan diri dari keterkejutan. Sementara tawa Radan terdengar begitu buat pekak telinga.

"Hehe, ini sebagai permintaan maaf udah buat kaget." Ayahnya Radan memberikan bungkusan permen cokelat yang aku terima dengan senang hati. Ayahnya Radan berlalu ke toilet sementara Radan mengambil beberapa piring dari lemari, di sebelah tangannya membawa tentengan plastik bening.

"Ini namanya siomay Ci, beli di depan tuh tadi," kata Radan.

"Siapa yang bilang itu soto?" Aku menyahut. Aku meraih gunting yang lain dan membantu Radan membuka bungkus siomay. Radan mengulurkan siomay dari piringnya untukku; aku terima tanpa banyak protes.

"Enak ya? apalagi aku yang suapin." Radan terkekeh. "Masak-masak buat Imlek kapan?" Dia bertanya.

"Tuh udah beres semua." Aku melirik panci-panci yang terisi penuh. Kami segera menyajikan siomay ikan ini untuk orang tua kami di ruang tamu. Seperti biasanya, kami akan memisahkan diri ke halaman belakang, terkadang dengan Kokoh yang ikut bergabung; Radan biasanya akan memanggil pemuda itu dari kamarnya seperti saat ini.

Aku dan Radan meninggalkan Kokoh dengan makan lebih dulu. Hingga suara batuk pemuda dua puluh tiga tahun itu terdengar di belakangku sampai dia tiba dengan rokok dan fokusnya terhadap gawai. Radan mengibaskan tangannya di depan wajahku untuk mengusir asap rokok filter Koh Sadewa; sampai Radan mencubit perut telanjang Kokoh dengan gemas.

"Udah tau adeknya punya asma, ngerokoklah lebih dekat!" omelnya. Aku hanya terkekeh melihat Kokoh yang selalu kena ocehan Radan yang sudah macam ibu-ibu protektif-teman-temannya bahkan mengakui itu, lantaran memanggil Radan sebagai Bunda Tongkrongan. Radan juga seorang perokok aktif, tapi rokok itu tak pernah terlihat menyala jika sedang bersamaku; Radan dan Koh Sadewa akan merokok bersama di malam hari sambil bernyanyi diiringi gitar; buat pekak telinga saja. Bagus rumahku ini tidak ada tetangga barang satu rumah pun, berdiri sendiri di tengah sisi kebun.

𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang