(03) Juru Masak Radan & Anjali

23 7 5
                                    


ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟹

𝓙𝓾𝓻𝓾 𝓜𝓪𝓼𝓪𝓴 𝓡𝓪𝓭𝓪𝓷 & 𝓐𝓷𝓳𝓪𝓵𝓲

Pukul tujuh malam, seperti yang sudah direncanakan oleh Kokohku dan Radan, kami akan pergi bermalam-minggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul tujuh malam, seperti yang sudah direncanakan oleh Kokohku dan Radan, kami akan pergi bermalam-minggu. Malam ini langit nampak indah tiada mendung yang menutupi konstelasi bintang yang menawan, aku menatapnya dari balik kaca mobil. Mobil kopling milik papa yang dipinjamkan kepada kami malam ini. Radan menyetir mobil dan aku sibuk menyetel musik sementara kokohku menikmati perjalanan di kursi bagian tengah. Kokohku itu, belum lama lancar mengendarai mobil berbeda dengan Radan yang sudah nampak lihai.

"Aku pulang dari sini nanti mau trip ke pantai Padang sama kawan-kawanku," ujar Radan.

"Iya, pantai di sana pasti bersih ya, beda sama di sini," keluhku. Aku baru saja menyetel lagu berjudul Save The Last Dance, kokohku langsung bernyanyi tiada henti.

"Ke sana makanya, main."

"Gimana kita jalan-jalan bareng nanti, ya jangan ke Sumatera juga, aduh gak sanggup! pulang-pulang kanker! kantong-kering!" Kokohku muncul ditengah-tengah kami.

"Bandung seru ya?" tanya Radan.

"Menurutku sih iya, entah kenapa rasanya Bandung selalu punya daya tarik sendiri buatku, kalau bisa aku mau tinggal di sana." Aku berujar.

Radan dan kawan sepertongkrongannya itu gemar bersafar, hobinya jalan-jalan. Mereka itu tongkrongan yang asik dengan pemikiran yang asik juga, mereka tak malu-malu menunjukkan kasih sayang mereka.

"Lho, macet ya," kata kokoh.

"Sebentar aja, di depan itu pertigaan, abis itu kita belok," kataku. Ini adalah jalan menuju sekolahku dan rumah kekasihku. Aku mulai ragu menyebutnya kekasih, rasanya kami akan segera berakhir, aku juga sudah muak dengan perilakunya.

Perbincangan dimobil begitu seru tak sadar sudah masuk ke area tujuan kami. Ini adalah pusat olahraga, lapangan sepak bola, badminton, gym bahkan billiard berjejer, tapi bukanlah itu tujuan kami. Resto yang mengepulkan aroma menggelitik perutlah menjadi tujuan. Langit malam terus cerah, kami memilih meja di luar ruangan tepat dibawah pohon yang rindang, angin malam begitu sejuk, malah Radan takut-takut aku masuk angin.

Radan bukanlah pemuda yang pelit, keluarganya mengajarkan kemurahan hati, ia tak akan sayang-sayang mengeluarkan uang untuk orang lain, seperti halnya malam ini; aku lelah menolaknya, inilah keinginan dia. Kokohku membayar billnya sendiri dan membiarkan Radan membayar billku, sungguh kakak yang tengik. Kami makan diselingi bincang dan canda kecil, bersama mereka ini aku rasanya macam ingin terus tersenyum walau terkadang ingin aku remas ginjal mereka satu-satu.

"Tempat apa di Bandung yang buat kamu jatuh cinta?" tanya Radan. Perbincangan mereka tentang trip dan Bandung masih jadi topik panas.

"Alah dia cuma seneng jalan-jalan di Braga! gak ada tempat kegemaran yang spesifik cuma seneng jalan-jalan dan liat arsitektur unik," sahut Kokohku.

𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang