(07) Bincang Malam

18 7 4
                                    


ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟽

𝓑𝓲𝓷𝓬𝓪𝓷𝓰 𝓜𝓪𝓵𝓪𝓶

Pukul sembilan malam ini, aku tengah berkutat di dapur bersama Radan untuk membuat minuman, sementara si Sadewa itu tengah bersandar pada meja batu sambil menstem gitar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pukul sembilan malam ini, aku tengah berkutat di dapur bersama Radan untuk membuat minuman, sementara si Sadewa itu tengah bersandar pada meja batu sambil menstem gitar. Setelah acara makan malam,  Papa dan Mama pergi ke kota menyisakan kami bertiga di rumah.

Radan meraih satu gelas dan mengisinya dengan susu cokelat bubuk yang dia bawa untukku tadi siang.

"Kamu jangan minum kopi, gak baik udah malam, maksimal dua kali sehari jangan lebih dan hari ini kamu udah batas maksimal," celotehnya.

Aku tersenyum tipis menanggapinya, bukan masalah dengan peraturan pemuda itu; melarang dan memberi solusi, itulah yang aku perlukan, bukan hanya sekadar mengkritik dan melarang tanpa upaya.

"Besok ganti pake wine gak sih?" celetuk Koh Sadewa.

"Macam minta kusentil aja ginjalmu." Radan mengerling.

Aku menuang air panas menyeduh dua gelas kopi untuk Radan dan Sadewa. "Mau minta diseduh juga tuh kayanya si Sadewa," bisik Radan melirik wajah Kokohku sekilas membuatku terkekeh.

"What lu? what? ada problem?" celetuk Kokohku ketika kami meliriknya bersamaan.

"Ih." Radan memandang Sadewa aneh.

"Kalian tuh berantem mulu tapi gak berantem, gimana sih?"

"Karena kita is the best friend forever." Sadewa berjingkat dan merangkul Radan sementara Radan yang tengah mencicipi kopinya nampak terkejut, memang agak membuat resah si Sadewa.

"Sok asik banget aduh dia ini siapa," ringis Radan seraya melepaskan jeratan Sadewa dibahunya.

"Udah tuh kopinya bawa masuk." Aku bergedik, geli hati. Radan membawa gelas kopi dan susu sementara Koh Sadewa membawa gitar dan gelas kopinya.

Ruang tamu menjadi persinggahan kami. Aku menyalakan televisi mencari acara yang seru. Radan berada tepat disebelah, rasanya rugi jika manusia setampan dia lebih banyak dibuat nganggur sehingga aku menyandarkan kepala dibahunya; laki-laki itu selalu saja wangi membuat orang betah.

"Baru juga jadian, udah senderan terus," sindir Koh Sadewa.

"Gak apa-apa ya, kan nanti kita jarang ketemu lagi." Radan mengusap lembut rambutku. 

Koh Sadewa mulai memetik gitar, menyanyikan lagu Minang, Patah Bacinto-Ratu Sikumbang. Macam sedap betul saja suaranya yang sumbang itu; beberapa kali tercekat membuat aku dan Radan kebagian ketawanya saja. Beberapa kali juga Koh Sadewa mengganti judul lagu–masih tetap lagu Minang, sementara Radan mengoreksi jika ada salah-salah dalam pelafalannya.

"Kalo dengar kamu bicara tuh candu," celetukku sambil menikmati elusan dipelipisku oleh Radan.

"Candu kaya mana?"

𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang