(11) Hari Memulai Rindu

20 6 1
                                    


ʙᴀɢɪᴀɴ  𝟷𝟷

𝓗𝓪𝓻𝓲 𝓜𝓮𝓶𝓾𝓵𝓪𝓲 𝓡𝓲𝓷𝓭𝓾

𝓗𝓪𝓻𝓲 𝓜𝓮𝓶𝓾𝓵𝓪𝓲 𝓡𝓲𝓷𝓭𝓾

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bang Dan .... " Aku melirik Radan yang tengah mengemasi barangnya dengan sendu, pemuda itu menghentikan kegiatannya dan memilih memegang kedua bahuku serta menatap netraku lekat.

"Iya, Sayang?"

"Aku, mungkin akan rindu," kataku. Menatap netranya dengan lekat.

"Aku senang mendengar kabar itu." Radan terkekeh sambil membingkai wajahku.

"Kamu gak sedih ya?" Aku menatapnya berang. Aku mengusap sudut mataku yang berair. Ketika Radan di sini pemuda itu begitu memanjakan dan mengerahkan seluruh kasih sayangnya.

Pemuda tampan itu menarikku masuk ke dalam dekapannya, usapan lembut aku rasakan dipunggungku, serta kecupan beruntun di pucuk kepala.

"Tau dari mana aku gak sedih? aku bakal jauh lebih kangen sama kamu, namanya juga hidup Sayang, kita gak cuma dapet senengnya, aku bakal kangen berat sama bocil kesayangan aku ini," ujar Radan. Pemuda itu menggerakkan tubuh kami ke kanan dan ke kiri. Sementara aku menikmati pelukan yang amat menenangkan itu.

"Kalo kamu di sana kepincut perempuan lain gimana?"

Radan terkekeh, mengecup dahiku sekilas. "Aku sudah bilang Sayang, perasaanku ini gak akan berubah sampai kapanpun, cintaku udah habis dikamu, aku gak yakin bisa mencintai perempuan lain, kalaupun bisa gak akan sebesar cinta untukmu."

"Kamu kapan temuin aku lagi?"

"Imlek tahun depan sayang, kita LDR lima bulan, gak sampe setengah tahun kok." Radan mengusap pipiku.

"Hampir Sayang, itu hampir setengah tahun." Aku menggenggam tangannya yang berada di pipiku, mengusapnya lembut sambil merunduk.

"Aku gak akan berhenti ngabarin kamu, kita akan telpon setiap waktu, aku selalu ngabarin kamu, pap akan lancar terus, kamu juga terus hubungin aku, oke? aku paham komunikasi itu penting Sayang."

"Aku punya sesuatu buat kamu." Aku berlari kecil ke kamarku untuk mengambil sebuah kotak untuk diserahkan kepada Radan.

Pemuda itu tersenyum senang menerima hadiah dariku, setiap tahun kami memang bertukar hadiah, lebih tepatnya karena Radan sering memberikan aku hadiah maka Mama bilang aku harus membalasnya.

"Baju, parfum sama sarung tangan," kataku.

"Terima kasih ya Sayangku." Radan kembali menarikku ke dalam pelukannya dengan begitu erat.

"Bang Radan," panggilku.

"Hmm?"

"Den sayang bana jo Bang Radan," bisikku malu-malu.

"Sebesar apa?"

"Sebesar ... sampai aku mau jatuh sejatuh-jatuhnya asal bersama kamu." Aku melepas pelukan, beralih menyentuh kedua rahang tegasnya, netra legam kami bersitatap membagi energi cinta dan puja.

"Biar luka jatuhnya kita obati sama-sama ya?" Radan terkekeh begitu juga aku yang mengangguk cepat.

"Tapi aku maunya ajak kamu terbang tinggi dan kita tidak akan pernah jatuh lagi ke bumi."

Aku tertawa dan menepuk rahang tegas nan memesona itu. "Baru sadar Bang Radan ganteng banget."

"Iya dulu kemana aja kamu, aku seganteng dan semanis ini gak keliatan." Radan menaik-turunkan alisnya.

Dia memasukan kotak yang aku beri ke dalam tasnya, aku juga membantu membereskan barang-barangnya yang di nakas seperti sisir, parfum dan sabun cuci muka miliknya. Jam tangan yang selalu dia pakai juga berada di nakas, aku segera meraihnya.

"Radan tanpa jam tangan ada yang kurang," kataku sambil meraih tangan putih pemuda itu yang terlihat gagah dengan urat yang nampak.

"Sengaja aku gak pake, biar dipakein sama kamu," ujarnya. Dia meraih scruncie berwarna biru dipergelangan tanganku.

"Ikat rambutmu aku simpan ya?"

Aku tersenyum dan mengangguk setuju.

"Wangi kamu banget." Radan mengenakan ikat rambut itu dipergelangan tangannya sendiri.

"Radan, gak usah pesen grabcar ya, Om anterin sampe bandara." Suara papa yang muncul dari depan pintu membuatku dan Radan kompak menoleh.

"Terima kasih, Om."

"Aku mau antar kamu," lirihku.

"Kamu harus istirahat di rumah Ci." Perkataan Radan mutlak.

"Udah Pa, jangan diganggu mereka lagi menyiapkan energi untuk LDR." Aku dan Radan kembali menoleh, melihat Papa dan Kokoh yang memandang kami dari depan pintu membuatku jadi malu, tak berselang lama mereka berdua berlalu menyisakan aku dan Radan.

Radan sudah siap dengan barang-barang yang telah dikemas. Satu langkah lagi, kami akan mulai merenggangkan jarak, mengisi tabungan rindu yang suatu saat akan kami tumpahkan dengan pertemuan kembali.

Netraku terus bergulir mengikut pergerakannya, sampai pemuda itu menyadari tatapanku, dia kembali tersenyum  kemudian menyamakan tingginya denganku, telapak tangan kanannya menyentuh kepalaku memberinya usapan lembut.

"Aku akan kembali dan kamu akan menungguku tiba, kembali bersua menyiarkan cinta pada semesta, pegang kata-kataku, seperti janjiku yang tidak pernah abai."

Aku memeluknya, merasakan getaran yang sudah yakin kusebut cinta. Merasakan tubuhnya yang sudah lebih berisi dari sebelum-sebelumnya. Radan, memelukku erat, rasanya tak akan pernah ingin aku lepas.

"Sampai jumpa pilihan semestaku, di manapun aku berada, aku akan selalu bersinar di dalam hatimu." Pemuda itu membisikkan tepat di samping telingaku.

"Aku akan menampung seluruh rindu ini tak peduli berapa lama, sampai kamu tiba datang memunguti serpihan rinduku." Aku turut berbisik.

𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang