ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟸
𝓜𝓪𝓵𝓪𝓶 𝓗𝓪𝓷𝓰𝓪𝓽 𝓑𝓮𝓻𝓼𝓪𝓶𝓪 𝓡𝓪𝓭𝓪𝓷
Pangeran Bumi Lancang Kuning itu tiba di Tanah Jawara, tepatnya di rumahku jam satu siang. Agaknya pemuda itu sumringah nian menenteng barang bawaannya, ia menyapa kedua orang tuaku sebelum tatapan tajam nan teduh itu tertuju ke arahku.
"Hai, apa kabar Ci Anjali?" Aku menatapnya sambil tersenyum tipis dan mempersilahkan ia masuk. Sementara ayahnya duduk di teras rumah bersama kedua orang tuaku.
"Kabarku baik. Langsung masukan barangmu ke kamar tamu," kataku. Rumahku ini sudah macam penginapan pribadi bagi dia dan aku layaknya budak penunggu penginapan, setiap kabar pemuda itu akan datang mama akan berteriak padaku untuk membereskan kamar tamu melarang adanya noda barang setitik pun.
"Baik, Nona." Dia terkekeh.
Tahun ini dia agak beda, lebih dewasa dari segi fisik; lebih tampan mungkin. Rambutnya model belah tengah, beberapa waktu lalu ia mencoba model cepak yang sialnya model apapun akan selalu cocok untuknya; tidak ada celah untukku mengejek.
"Apa kita jalan-jalan hari ini?" Pemuda riang itu muncul di hadapanku membuatku menghela napas.
"Abang kan baru saja tiba, apa gak lelah?" aku hendak ke dapur membuat teh untuk teman bincang orang tua kami di teras. Pemuda itu mengikuti langkahku, sesekali menyentuh ujung rambutku yang mulai panjang.
"Abang sebentar di sini, harus memanfaatkan waktu sebaik mungkin," katanya.
"Bukannya libur? berapa hari Abang di sini? sampai Imlek kan?" Aku meraih tiga gelas beling dan Radan cukup peka mengambilkan aku bungkus teh dan gula. Ia sudah hafal tata letak barang yang ada di rumah ini.
"Iya sampai Imlek."
"Itu lama." Aku mengerling menatapnya.
"Itu sebentar, gak cukup buat aku puas liat kamu." Radan menatapku lekat.
"Kita gak akan jalan-jalan, kita akan di rumah saja," putusku. Radan mengangguk paham, dia meraih dua gelas dan membuka bungkus kopi hitam.
"Kamu bawa teh ke depan, ini untuk kita biar aku yang buat," katanya. Aku mengangguk kecil. Radan gemar membuat kopi untuk kita nikmati berdua di halaman belakang rumah yang penuh serayu.
"Kopi buatan barista Radan sudah siap," ujarnya. Aku tiba di dapur untuk mengambil camilan dan Radan membawa dua gelas kopi itu ke halaman belakang. Baru saja melewati pintu, angin langsung berhambur menyapa kami, ini adalah tempat kegemaranku dan Radan; meja kayu berbentuk kotak buatan Papa dan kursi yang terbuat dari batang kayu pohon asam yang dulu tumbuh kekar di halaman samping rumah.
"Ada cerita apa? masih sama pacarmu itu?" tanyanya antusias.
Aku mengangguk tanpa senyum; mataku bergerak gelisah. Baru tiga bulan aku menjalin kasih dengan pemuda sini; kenalan sekolahku. Rasa-rasanya kini hubunganku dengan dia amatlah kacau, aku si gadis manja ini tidak mampu melewati hari tanpa kabar, sementara pemuda itu agaknya mulai bosan.
"Ada masalah?" Radan kembali bertanya.
"Kami tidak baik belakangan." Aku menyesap kopiku.
"Bagaimana?"
"Dia bilang, dunianya bukan hanya aku dan aku menghalangi waktunya." Aku melempar pandanganku; kucing gendut corak tiga milik mama bernama Nyintul atau Nyai Bintul-mamaku selalu menamai peliharaannya aneh-aneh, dia mengosokkan kepalanya dengan kakiku seraya berlalu duduk di kursi seberang aquarium berisi ikan-ikan gapi incarannya.
"Dia sangat sibuk?" tanya Radan.
"Aku pikir kita semua punya kesibukkan, aku juga begitu tapi rasanya dia berbeda, gak seperti pertama dia menyatakan cinta." Aku menunduk.
"Aku mengerti, bisakah aku katakan padanya betapa aku ingin dicintai olehmu? dan dia malah sembarang begitu." Radan menghela napas.
"Ekhem!" Aku memutar bola mataku mendengar dehaman itu.
"Eh, baru bangun, Koh? mari minum kopi," sapa Radan.
"Iya silahkan, kapan sampe, Dan?"
"Baru aja sampai, Koh."
"Anjali lagi gelisah galau merana, sukurin aja gitu, ada batuan kalimaya dia malah milih kalimaya beneran." Kokohku memang menyebalkan, ia tertawa kencang seraya berlalu masuk ke dalam menyisakan aku dan wajah cemberutku.
"Janganlah diambil hati, kaya gak tau kokohmu aja." Tangan putih Radan mengusap tangan kuning langsatku, menenangkan. Terkadang aku begitu panar, betapa putihnya kulit pemuda itu, aku sampai sangsi bahwa aku keturunan cina. Maklum, namanya pun kami disebut Cina Benteng. Adat sampai rupanya kami sangat menyatu kental dengan pribumi.
"Radan! suruh dia putusin aja!" Kokohku teriak dari dalam.
"Bagusnya, kalau-kalau dia gak tau cara menghargai, jangan siksa diri sendiri, sangat disayangkan perempuan se-rancak kamu ini dikasih sakit tiada hingga," kata Radan.
"Akan aku pikirkan." Sebetul-betulnya, mama, papa dan kokoh pun enggan menyetujui hubungan aku dan dia, lebih tepatnya mama dan papa belum mengetahui, mereka hanya mengetahui kedekatan aku dengan Radan.
***
Kedatangan Radan dan ayahnya ke sini berlangsung penuh kebersamaan, Radan yang humoris bersatu dengan Kokohku yang tengil serta jokes bapak-bapak dari papaku dan ayahnya Radan membuat suasana selalu ramai.
"Bolehlah ajak ibunya Radan sesekali ke sini," kata Mama.
"Ah iya, bagaimana nanti ya semoga ada kesempatan, dia selalu gak mau ikut takut merepotkan katanya," sahut ayahnya Radan.
"Bukan masalah, ya sesekali aja kok gak sering," sahut mamaku lagi.
"Iya, biar ramai." Kini papaku menyahut.
"Kalah kau Radan!" Kokohku berteriak seraya melempar kartu UNO ditengah kami.
"Huuuu!!!" Kokohku sibuk menuangkan bedak tabur dan diusapkan ke wajah Radan membuatku menghembuskan napas kasar sebelum ikut tertawa. Sialan betul memang kokohku itu; Radan nampak tak terima hingga balas membumbui wajah kokohku dengan bedak membuat mereka bergulat perang bedak. Aku dan orang tua kami hanya bisa geleng-geleng kepala, mereka sama-sama sudah besar, apalagi kokohku, usianya sudah dua puluh tiga tahun! mereka berdua sejak dulu memang gemar bercanda.
"Tidur udah malem! malah berantem kaya kucing!" cetus Mamaku.
"Masih juga jam delapan, Ma! astaga! kita mau nonton film menyeramkan malem ini," kata kokohku.
"Menyeramkan, menyeramkan, muka kau juga menyeramkan," sela Radan.
"Muka kau lebih seram tu!"
"Kau lebih seram, seram dan suram pula tuh!" Radan terkekeh.
"Aduh berisik! mau nonton gak nih?" kataku frustasi seraya bangkit mengambil laptop.
"Hotspot!" pekikku, melirik ke arah kokohku. Sementara dia mengarahkan kedua tangannya kepada Radan.
"Udah nyala," ujar Radan.
"Besok kebetulan malem Minggu, kita jalan gak sih?" usul kokohku.
"Bolehlah," sahut Radan.
"Ikut gak, Ci? nanti kita di traktir Radan." Kokoh menyenggol bahuku. Pemuda itu sungguh tak tahu malu, seharusnya sebagai sebagai tamulah Radan kita perlakukan, bukan malah Radan yang memperlakukan kita sebagai tamu.
"Urusan gampang itu," sahut Radan. Ia merebahkan tubuhnya sambil bermain dengan kucing jantan mamaku yang berwarna cokelat, benar-benar cokelat, namanya Kopi-mamaku yang memberi nama.
"Jadi kau ni kopi atau kucing?" Kucing satu itu sangat penyabar, diperlakukan seperti apapun ia hanya diam kecuali ia telah melewati hari yang buruk. Seperti saat ini Radan memeluknya begitu erat, bahkan menjadikannya bantal, Kopi tetap sabar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...