ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟼𝓡𝓪𝓭(𝓪𝓷) 𝓳𝓪𝓵𝓲 2023
Tangerang, 2 September 2023 ....Binar mentari begitu cerah, suasana yang nyaman ditemani serayu. Kupandang dengan tatapan kagum dan tidak habis pikir pemuda berambut mullet dipadukan dengan topi cokelat susu yang kini tengah memandangku dengan tatapan baswaranya. Anak laki-laki ceria yang beberapa tahun lalu kutemui masih nampak bocah, kini sudah dewasa dan berubah tampan. Tidak kusangka aku betulan jatuh cinta pada sorot tajam namun teduh itu. Dia tumbuh menjadi pemuda dengan selera yang bagus terutama dalam hal pakaian; gaya vintage begitu melekat pada dirinya, entah kenapa apa yang dia kenakan akan memiliki nilai keestetikan tersendiri.
Siang ini pemuda ranah Riau itu tiba di kediamanku, kali ini sendiri tanpa ayahnya dengan tujuan yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya; urusan bisnis itu beralih menjadi urusan hati.
Kemudian sore harinya sekitar pukul tiga sore, dua cangkir kopi menjadi penghangat bincang. Tatapan Radan begitu dalam dan senyumnya nampak sedang memuji suatu keindahan, sementara itu guna menghilangkan debaran jantung yang tiada bisa tenang ini pandanganku tertuju pada anak-anak kambing yang biasa bermain di lapangan halaman belakang rumah, atau kepada sepasang angsa peliharaan mama yang berjalan beriringan dan berhenti untuk sekadar memandangi kami berdua; suara mereka saling menyahut, nampaknya sedang berbincang kecil.
"Bisakah senyum dan pandangan konyol itu diredam sedikit? aku pegal melihatnya." Aku tak kuasa lagi. Sebetulnya aku ini gadis penuh harga diri sekali di depan dia, enggan mengakui bahwasanya sampai sebetul-betulnya gadis ini mulai terbawa arus pesona pemuda ranah Sumatera itu.
Pemuda beralis tebal dengan ukiran rahang tegas itu terkekeh dan menjawab, "Hidup ini singkat, senyum dan tataplah keindahan selagi mampu." Tatapan bola mata hitam legamnya membuatku tak berkutik. Bagaimana bisa tatapan itu terlihat tajam dan teduh diwaktu bersamaan.
"Jadi apakah perbincangan kita di WhatsApp berlanjut?" tanyanya. Menghiraukan aku yang kepalang salah-tingkah.
"Abang kan laki-laki, jelas sudah siapa yang memimpin," kataku ketus.
"Jikalau aku yang memutuskan, aku akan menyebutmu kekasih saat ini juga." Radan menatapku seraya senyum tipis.
"Aku rasa Abang gak mau kembali ke Riau tanpa pencapaian apapun kan?" Aku meliriknya. Pemuda berkaos kuning dan celana levis itu terkekeh menampilkan deretan gigi rapihnya yang dikepung behel.
"Jadi jawaban dari perjuanganku selama empat tahun terjawab hari ini? maaf tidak membawakan hal yang manis." Radan menopang dagu dengan tangannya. Senyum manis dan tatapan teduh itu, bagaimana bisa aku baru menyadarinya sekarang.
"Abang sudah cukup manis." Aku berceletuk dengan tatapan yang tetap datar.
"Apa Nona tanah Jawara ini baru saja menggoda?"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...