ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟻
𝓑𝓪𝓳𝓲𝓷𝓰𝓪𝓷 𝓣𝓮𝓷𝓰𝓲𝓴 𝓣𝓪𝓷𝓪𝓱 𝓙𝓪𝔀𝓪𝓻𝓪
Bulan tujuh 2023, menjadi penghujung hubunganku dengan pemuda Tanah Jawara ini rupanya, sungguh delapan bulan bersamanya hanya bahagia beberapa bulan di awal; dasar bajingan tengik! mulutnya saja manis macam tempayan madu, setinggi monas dan sedalam lautan hingga janji-janjinya tenggelam; suaranya sekadar menyangkut ditenggorokan nian. Tiada guna! tiada bukti! tiada rasa syukur! tiada tahu diri! seenak jidat kepalanya itu meninggalkan anak gadis orang setelah dibuat tenggelam, sialan!
Radan dan kawanku bilang, usahlah berlarut dalam pesakitan pemuda tak tahu diri yang berkata enggan menghalangi masa depannya dengan perempuan, malangnya mengincar perempuan lain ditempatnya Praktik Kerja yang kami lakukan sebagai rangkaian sekolah kejuruan. Apakah Anak teknik mesin tiada yang bisa dipercaya!
Mau tahu bagaimana kesan terakhir kami? maafkan untuk diriku yang masih mengemis diakhir hubungan ini, jika kawanku tahu aku pasti bakal diperdom. Pemuda bajingan tengik itu sempat memutuskan kontak kami sepihak; whatsAppku diblokirnya, DM Instagramku tak dihiraukannya. Salahku meledak-ledakkan amarah yang di mana bajingan tengik macam dia tak akan mau tahu dan peduli, mungkin saja tiada rasa bersalah, yang penting dia puas dan senang.
Betapa sakit hatinya aku; begitu membara macam batu Marapi. Bahkan kata-kata yang dia keluarkan begitu bajingan. Kami membangun hubungan dan dia berkata tidak ingin disetir siapapun, macam aku memintanya menyerahkan surat tanah saja.
Hentikan saja celotehan tentang bajingan tengik itu. Aku pun telah bercerita panjang kali lebar dengan Radan yang di mana pemuda itu memang juga jadi tabungan curhatanku; dia akan menanggapinya dengan bijaksana, memintaku dengan halus untuk mengevaluasi hubungan dan pribadi kami, aku sudah melakukan usulnya dan kini dia rungsing sendiri ketika aku dicampakkan oleh mantan kekasihku yang tengik itu.
"Jangan sungkan untuk cerita, nanti aku ke Tangerang, silahkan cerita sepuasnya, mau nangis pun gak apa," ujar Radan dengan wajah sendunya; kerap kali aku dapati ketika aku bercerita tentang keresahanku.
Agustus depan aku juga hendak melaksanakan praktik kerja industri di salah satu instansi pemerintah Bea dan Cukai yang ada di kawasan bandara. Harap-harap bara api yang terus menyala ini dapat padam dengan kegiatan baruku—macam bajingan tengik itu yang melupakan aku karena bakal ada perempuan-perempuan teknik mesin lain dari berbagai daerah. Bahkan pemuda tengik itu berkata dengan gamblang: kita gak ketemu beberapa bulan, di sana bakal ada perempuan-perempuan dari sekolah lain, gak tau aku bisa bertahan atau engga.
Ingin sekali aku tarik bibirnya itu, label bajingan tengik memang cocok untuknya. Bagaimana aku tidak tantrum dan marah-marah terhadap bajingan tengik itu! ucapannya saja tidak bisa menjaga perasaanku apalagi tindak-tanduknya sudah jangan diterka-terka lagi. Ketika aku marah dia akan merasa paling pusing menghadapi perempuan tiada bisa mengerti macam aku, dia akan menghilang, pergi nongkrong bersama kawannya, belum lagi kawannya itu akan bilang: jadi perempuan jangan rewel lah, cowokmu itu butuh hiburan juga.
Hei! biar sini kupantek kepala kau semua! aku mana pernah sengaja melarang atau mengganggu kesenangan orang lain, pacarku sekalipun, biarkan dia dan kesenangannya asal pandai dia pilah-pilih waktu, janganlah dia berjanji dan ingkar. Memang sialan, jika tak pandai menepati janganlah banyak bicara. Tong kosong nyaring bunyinya.
Sekasar apapun makianku saat ini, sebetulnya ketika masih menjadi pacarnya aku dihadapan dia macam anak kucing. Menuruti dan menghargai apa saja katanya. Ketika bertengkarpun aku tetap menggunakan tutur yang baik hingga rasanya aku kurang puas sekali, apalagi melihat respon keengganannya. Ketika sudah tak ada hubungan lagi, kumaki saja tak peduli dia mau tahu atau tidak.
Beberapa hari terakhir frekuensi komunikasiku dengan Radan juga sangat meningkat, lebih dari biasanya. Apa saja pemuda itu kabarkan padaku, ceritanya begitu panjang dan menyenangkan; dua bulan lalu kalau tidak salah dia kirim pesan bahwa rambutnya sudah dia buat mullet dan nampak tampan menurutnya—sebetulnya menurutku juga.
Hari ini pemuda itu belum ada kabar, aku menggerakkan gawai dengan gelisah, menerka apa yang pemuda itu tengah lakukan di bumi lancang kuning sana. Perlahan aku diam, menyadari mengapa aku harus memikirkan itu, bukankah seharusnya aku dilanda kegalauan karena baru saja diputus cinta.
Notifikasi dari salah satu kontak kawan Radan, namanya Kahfi, terlihat mengirim video, sempatlah aku heran urusan apa ini. Sampai aku menghela napas maklum setelah melihat wajah Radan menjadi cover dari video; kuputar video berdurasi beberapa detik itu, Radan yang menyampaikan pesan bahwa dia akan pergi ke kampus untuk ujian, gawainya kehabisan daya dipakai bergadang bersama kawannya semalaman sehingga menggunakan gawai si Kahfi.
Apalah dia, pemuda berambut mullet dan identik dengan behelnya nampak begitu manis ketika menyampaikan pesan itu membuatku merasa geli dan terpesona diwaktu bersamaan.
"Rupanya bibit cinta mulai tumbuh dihati Anjali." Koh Sadewa rupanya mengamati dari belakang seraya tersenyum penuh arti.
"Mandi sana!" Aku mendorong tubuhnya yang polos tanpa atasan itu, entah kenapa dia gemar sekali tanpa baju padahal tidak ada yang bisa dipamerkan, roti sobekpun tak ada bentuknya barang segaris.
"Dari awal aja Ci, ini pake drama jatuh cinta dulu sama bocah labil sampe jatuh ngusruk," ejeknya. Aku juga merasa tersinggung sebab aku pun masih bocah.
"Kalo aku jatuh cinta beneran sama Radan gimana?" kataku.
"Aman aja, kalo kokoh yang cinta sama Radan sih gak aman." Kokoh tidak melaksanakan perintahku, malah membuka toples biskuit.
"Jadi mengakui perasaan gak?" lanjutnya.
"Aku gak tau, orang baru aja putus, tapi entah kenapa aku merasa gak begitu sedih karena adanya Radan." Jari telunjukku membuat pola abstrak di meja.
"Awalnya kamu emang udah tertarik sama Radan, tapi kamu bilang gak suka sama orang jauh katanya, pas masuk SMK ketemu yang lain, meskipun sebetulnya hatimu itu memang sudah lama memilih Radan, tapi egomu yang memaksa hati untuk meredam perasaan," celotehnya.
"Aku masih gak yakin, takut-takut cuma perasaan kagum semata," kataku.
"Ya sudah, rasain aja dulu, gak perlu terburu-buru, seperti Radan yang gak tergesa memaksa perasaan kamu," sahut Koh Sadewa.
"Radan masih dengan perasaan yang sama?" Aku melirik Koh Sadewa.
"Kalo perasaannya berubah, sikapnya juga berubah, mungkin sikap baiknya gak akan hilang tapi untuk apa dia bela-bela datang kasih hadiah, ngabarin perempuan yang bukan siapa-siapanya. Kokoh juga laki-laki, tau perasaan dan tujuan laki-laki lain, makanya Kokoh lebih percaya sama Radan."
Aku juga sebetulnya tahu, perasaan Radan masih seperti tahun-tahun lalu. Laki-laki itu, entah terbuat dari apa hatinya, mengharapkan aku, gadis yang jauh dari jangkauannya, tidakkah di sana ada perempuan yang lebih cantik, dewasa dan lebih dekat.
Mamanya pernah bilang lewat whatsApp, Radan masih nampak macam bocah hingga lebih cocok denganku, sementara perempuan-perempuan yang mengagumi putranya itu nampak lebih dewasa. Sebenarnya aku telah tahu dari kawannya Radan, bahwa ada gadis cantik nan manis adik kelas Radan masa SMA yang mengutarakan perasaannya, tapi Radan betulan menolak begitu saja.
Radan ini tergolong bidadara yang punya banyak pengagum, dia memang begitu memesona, bagi beberapa orang tatapan Radan yang terasa begitu tajam dan menenggelamkan itulah bagaimana dia bisa menghipnotis para gadis-gadis dengan tatapannya yang membuat kesan menantang untuk dimiliki.
Apakah ini waktunya untuk membalas cinta Radan?
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...