(16) Menapak Bumi Lancang Kuning

21 9 2
                                    


ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟷𝟼

𝓜𝓮𝓷𝓪𝓹𝓪𝓴 𝓑𝓾𝓶𝓲 𝓛𝓪𝓷𝓬𝓪𝓷𝓰 𝓚𝓾𝓷𝓲𝓷𝓰

Di sinilah aku berada, menapak jejak di ranah kelahiran kekasihku, kepulauan Riau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Di sinilah aku berada, menapak jejak di ranah kelahiran kekasihku, kepulauan Riau. Menatap sendu rumah bercat krem yang terdapat beberapa orang di sana, bapak-bapak tengah memasang tenda di halaman rumah yang luas dan asri dengan pohon juga tanaman di sekeliling.

"Mari masuk," ujar Harun. Dia sepupu Radan, berperawakan kecil dengan kulit yang lebih gelap. Pemuda itu yang diperintahkan oleh Ayah Radan untuk menjemput kami di bandara.

Aku dan Koh Sadewa melangkah perlahan, rasanya suasana nampak menegangkan dan hampa.

"Ante, Anjali sama Abangnya sudah datang," kata Harun pelan.

Aku menatap Ibun dengan tatapan senduku, melihatnya yang tengah lesehan sambil menatap bingkai foto di dalam genggamannya di temani oleh Arsan dan Tante Reli-adik kandung Ibun. aku baru pertama kali menemuinya secara langsung, tidak pernah terbayang pertemuan pertama kali akan terlaksana dalam keadaan seperti ini.

Ibun duduk tegak melihatku, dia tersenyum tipis melihatku. "Kemari, Nak."

Aku segera memeluknya erat, turut menumpahkan tangis yang sejak tadi kutahan.

"Radan Nak ... Radan .... " isaknya.

Aku tak dapat merespon apapun selain tangis. Terlalu sesak dan membingungkan untukku bersuara. Tante Reli mengusap bahu aku dan Ibun.

"Radan terluka aja kan Bun?" tanyaku.

Ibun meraih ponselnya di atas sofa dengan tangan gemetar dan menunjukkan beberapa foto padaku, gambar Radan dengan wajah pucatnya di brankar rumah sakit setelah diidentifikasi.

"Ayah dan Paman Radan sudah sampai di sana, ini kiriman dari Ayah Radan, sudah teridentifikasi dan betulan Radan, putra pertama kami," ujarnya, air mata itu kembali merembas.

Bingkai foto dipangkuan Ibun sudah penuh dengan tetesan air mata, foto masa kecil Radan. Senyum manisnya masih menampakkan gigi gingsul dengan setelan baju sekolah SMP.

Suasana nampak lengang hanya isakan tangis yang terdengar, semua raut wajah nampak sendu dan diam. Harun tiba membawa air minum di tengah-tengah kami dan turut duduk bersama.

...⁠ᘛ⁠⁐̤⁠ᕐ

Mulai sejak sore hari, kediaman Radan begitu ramai, aku hanya dapat merunduk bersama Ibun, sama-sama merasakan nyatanya pesakitan ini. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tubuhku begitu kaku, Ibun mengeratkan genggamannya padaku ketika suara sirine mulai menusuk gendang telinga sampai mengiris hati.

"Ayah sudah pulang bersama Radan Bun," kata Arsan.

Ibun nampak menatap Arsan cepat dan segera menuju ke halaman depan diikuti oleh aku, Arsan dan Tante Reli. Kami bertiga berdiri tepat di depan pintu, lurus dan bersamaan dengan pintu mobil ambulance yang dibuka menampilkan peti lengkap dengan kain penutupnya.

Orang-orang turut membantu petugas dan ayahnya Radan menurunkannya. Ibun memeluk Arsan dengan erat melihat itu. "Itu Radan ya?" lirihnya.

Air mataku juga tak dapat lagi terbendung, aku dan Arsan membawa Ibun masuk ke dalam, peti jenazah pun tengah di angkat masuk ke dalam rumah. Kami berdiri di sudut dekat lemari, di atas karpet berukuran lebar yang sudah disiapkan untuk kedatangan jenazah Radan, aku menyentuh lengan Ibun yang sudah gemetar tak karuan, tak ubahnya sama seperti aku, Arsan dan semua yang ada di sini.

Aku luruh ke bawah, juga Ibun yang kini memelukku erat, dia memalingkan wajahnya tak sanggup melihat jenazah putranya yang diangkat dari dalam peti. Suara riuh orang-orang ini, serta tangisan, ayahnya Radan kini sudah menangis tersedu, mungkin sejak awal dia menahan kesedihannya.

Tubuhku benar gemetaran, ketika melihat dengan kepalaku sendiri, pemuda yang kemarin memamerkan rambut baru dan giginya yang sudah rapi tanpa behel, pemuda yang kemarin berjanji akan memberi bunga, pemuda yang berjanji akan menemuiku ke Tangerang imlek depan, kini terbujur tanpa sorot kehidupan, tanpa senyum manis khasnya, tanpa tatapan dalamnya.

Ibun menyentuh wajah Radan dengan tangan yang gemetar hebat, dia terisak begitu sesak sebelum menjauhkan dirinya, takut-takut air matanya menetes memberatkan putranya.

"Si sulung sudah pergi ya ... Radan," lirih Ibun melirik Arsan, anak bungsunya. Arsan nampak tak kuasa juga melihat keluarganya nampak begitu rapuh.

Arsan terduduk di sebelah jasad kakaknya, juga dengan tangis yang tak kalah menyesakkan. Sebelumnya dia sanggup menahan tangis itu, sekarang ditatapnya jasad kakaknya sendiri yang sehari-hari bercanda dengannya diam tanpa embusan napas lagi.

"Kau bilang mau sering nongkrong bareng aku Bang? katanya mau ajak aku ke tempat-tempat liburanmu itu?" Arsan kini nampak putus asa.

Ayahnya Radan tak kalah kacau, dia menatap sendu putra sulungnya, yang di setiap perjalanan bisnis selalu membuntutinya. Pria itu tak mengatakan apa pun, tapi nampaknya di benak dia selipkan banyak kata-kata untuk putranya. Orang-orang disekitar juga turut diam, merunduk, membiarkan duka keluarga ini mengalir turut merasuki relung mereka.

Rumah seluas ini nampak sesak dengan banyaknya orang, Radan dan keluarganya dipandang begitu baik oleh pada tetangga, keluarga yang ramah dan ringan tangan, semua juga turut kehilangan putra terbaik seperti Radan.

Koh Sadewa entah sejak kapan sudah berada di sebelahku, dengan raut wajah yang begitu sendu serta jejak tangis masih tersisa di sudut matanya, menatap Radan yang nampak tenang begitu dalam.

Aku tau, dia juga terkejut dan kehilangan teman bercandanya, Radan dan Sadewa terhitung telah kenal sejak kecil, sebelum Radan akrab denganku mereka sudah menjadi kawan main berdua. Teman menikmati hangat kopi dan bermain gitar.

Aku merunduk, menikmati denyut pesakitan di dalam dada, tak kucegah lagi setiap tetesan air mata. Jauh di dalam dadaku ingin menangis meraung tumpah segala resah, yang terjadi malah denyutan itu seakan melumpuhkan seluruh tubuh, hanya mataku yang terus merembas turun dalam diam.

"Aku rasa kamu cinta terakhirku."

"Aku tidak akan merubah perasaanku sampai kapanpun."

Suara Radan mengalun indah di telinga, kuingat lagi senyum manisnya, kuingat lagi terakhir dia memelukku dengan begitu erat di kamar tamu rumahku, kurekam dengan jelas kegiatan memasak kami di dapur rumahku.

Inikah yang dia maksud ketika mengatakan: "Kamu cinta terakhirku."

Betulan kupuaskan menatap wajah pasi Radan, pemuda tampan itu terpejam dengan damai, layaknya sedang tertidur lelap, hanya saja dingin tubuhnya sudah begitu terasa. Inikah alasan pemuda itu kemarin ingin rapi-rapi ... dari memangkas rambut, melepas behel, bahkan merapihkan barang-barangnya, bahkan berniat memberikan baju kegemaran nya untuk Asran.

"Radan dimakamkan besok, di pemakaman keluarga." Kudengar pamannya Radan berbicara, sepertinya kepada tetangga yang bertanya.

Benarkah, Radanku sudah tiada .... bukankah ini terlalu mendadak dan sulit diterima. Dia masih tersenyum kemarin siang, mengucapkan tiga bulan hubungan kami, di atas Marapi. Oh Marapi ... kau renggut cintaku.

𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang