ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟷𝟻𝓣𝓪𝓷𝓰𝓰𝓪𝓵 3/2 𝓙𝓪𝓶 3 𝓢𝓸𝓻𝓮
3 Desember 2023 ...
Bumi Tangerang nampak mendung, curah hujan tipis, 24° Celcius. Aku melirik sepasang angsa yang terburu berlari menghindari rintik hujan yang kian membesar, angsa lelaki itu nampak melindungi pasangannya, memastikan pasangannya baik-baik saja. Mereka berteduh di bawah terpal yang sudah disiapkan oleh Mama.
"Dingin gini, enaknya ngopi," celetuk Koh Sadewa.
"Iya, bikin sana," kataku, enggan bangkit dari posisi duduk yang nyaman ini. Koh Sadewa mengerling sejenak, tapi setelahnya menuruti kataku.
Kuamati hujan yang jatuh ke bumi, mencipta aroma pethricor yang menenangkan, akan lebih menenangkan dan menyenangkan jika menikmati cuaca mendung gerimis bersama Radan ditemani kopi hitam untuk menghangatkan badan, tapi pilihanku untuk menghangatkan badan tetap pada dekapan Radan.
Koh Sadewa tiba di sebelahku, menyerahkan secangkir kopi, aku hanya melirik sekilas kemudian kembali melihat handphone. Berharap notif pesan dari Radan kedapatan masuk ke WhatsAppku. Sejak percakapan terakhir kemarin, nomor Radan hanya ceklis satu, yang artinya dia belum kedapatan sinyal.
"Baru gak dikabarin berapa waktu aja udah gelisah gitu," cetus Koh Sadewa.
"Bagaimana lagi, biasanya kan setiap detik selalu ada pesan teks, foto atau video bahkan telepon dari dia," sahutku.
"Namanya juga di gunung, kartu Radan susah dapet sinyal kali." Aku menghela napas mendengar Koh Sadewa, iya aku tau, Radan tidak menghubungi karena kehilangan sinyal, masalahnya adalah rasa rinduku ini tak mau peduli tentang alasan bentangan jarak yang sangat terasa ini walau baru satu hari tak di kabari.
"Ini udah jam tiga sore, mereka turun gunung jam berapa ya?" gumamku.
"Ya gak tau," sahut Koh Sadewa.
Aku menunggu kabar dari Radan sambil menyapu lantai, mataku terus melirik jam dinding yang mungkin bisa jadi merasa risih setiap lima belas menit sekali kutengok. Sudah jam 17.34.
Handphoneku di meja makan berdering, aku segera terlonjak meraihnya, hanya Radan yang terlintas meneleponku, tapi setelah kutatap nama kontak yang tertera aku mengernyitkan dahi.
"Bang Arsan, tumben telepon, ada apa ya? ... atau HP Radan mati jadi dia pake HP adiknya?" Aku bermonolog sejenak sebelum mengangkat telepon itu.
Gaduh, itulah kesan pertama ketika kuangkat panggilannya.
"Halo? Bang Arsan, ada-apa?" tanyaku. Jantungku berdetak tak karuan ketika mendengar gaduh dan suara ibunya Radan yang terdengar panik.
"Anjali, aku mau kasih kabar, Radan dan teman-temannya kena musibah, di sana gunung yang mereka daki itu erupsi," ujar Bang Asran dengan suara yang gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...