ʙᴀɢɪᴀɴ 𝟶𝟾𝓙𝓪𝓵𝓪𝓷 𝓜𝓪𝓵𝓪𝓶
Merogoh kocek dua digit pulang pergi membuat Radan memilih tinggal satu minggu di rumahku, menikmati satu minggu pertama kami sebagai pasangan kekasih, agak aneh menurutku, pertama kali dalam sejarah aku bisa mengamati wajah kekasihku setiap pagi sampai malam. Saat ini aku mengamati interaksi Radan dan Papa, sepertinya membicarakan tentang ekspor kayu gaharu sebagai pokok bisnis, Radan memang diikut sertakan dalam kegiatan mereka.
Radan itu termasuk pemuda yang produktif, tapi masih menyempatkan waktu untuk bergumul bersama kawan-kawannya. Pemuda itu begitu penurut dengan setiap kata orang tuanya yang mengajari dia berbisnis dari sekarang. Dia di ajar untuk menanam banyak ilmu, ilmu dari tempatnya menempuh pendidikan resmi ataupun dari kehidupan sehari-hari.
Aku kini menyapu lantai belakang rumahku beralih mengamati Mama yang menenteng ember plastik kecil berisi sisa-sisa nasi yang akan diberikan untuk sepasang soang dan tiga ayam kampungnya. Tak lama Radan tiba, menggantikan Mama untuk berinteraksi dengan sejenis unggas kesayangannya, Mama nampak senang sekali menyerahkan pekerjaan itu pada Radan.
Seiring Mama pergi untuk melakukan pekerjaan lain, Radan pun terlihat meleparkan sisa-sisa nasi itu, satu ayam kampung Mama bernama Kate-betulan eja sesuai pelafalan Indonesia- ayam yang satu itu memang agak menyebalkan menurutku, dia kerap kali bersikap seenaknya, seperti kali ini, ayam itu berkokok macam bernyanyi, entah sejenis apa ayam itu, sialnya terus menghadap Radan tanpa mau memakan makanannya seperti yang lain.
"Itu makan itu! kurang lauk? mau pake daging ayam kah?" Radan mengernyit melihat si Kate yang malah berputar-putar di sekitarnya sambil mengepakkan sayap beberapa kali membuat Radan berjongkok dan mengusap ayam itu, yang tanpa aba-aba lantas menyerobot ember kecil dengan nasi yang masih bersisa di tangan Radan membuat pemuda itu terkejut.
"Mau makan langsung dari ember rupanya, gak level kah makan tebaran nasi di tanah tu? dasar belagu," gerutuh Radan.
Aku terkekeh, entah kenapa rasanya gemas sekali melihat pemuda dengan celana chino pendek hitam dan kaos abu-abunya tengah berinteraksi dengan para unggas. Dia tak hanya disenangi oleh manusia tapi juga dari kalangan hewan, beberapa hewanku kerap terlihat akrab bersamanya seperti si kucing dan ayam-ayam yang sama sekali enggan berdekatan denganku, sepertinya mereka lebih mendapat kenyamanan dari pemuda itu.
"Bangdan!" panggilku.
"Iya Dek Sayang?" Sialan betul aku begitu malu dengan panggilan barunya itu.
"Makan dulu," kataku.
"Kamu sana, aku udah tadi bareng sama Papamu, apa mau aku temani?" Dia menaik-turunkan alisnya, juga lantas bersiap membereskan ember dan membersihkan tangannya.
"G-gak perlu!" Aku segera berbalik ketika pemuda itu malah berlari ke arahku.
"Aku tau, kamu sengaja bilang gitu aslinya mau ditemenin kan?" Radan menahan tanganku, senyumnya merekah tapi nampak mengesalkan karena membuat jantungku tak aman.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐄𝐥𝐞𝐠𝐢 [𝐝𝐮𝐤𝐚] 𝐂𝐢𝐧𝐭𝐚
Teen Fiction𝐋𝐚𝐧𝐭𝐮𝐧𝐚𝐧 𝐧𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐧𝐠𝐢𝐭𝐤𝐚𝐧 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐭𝐢𝐧𝐠𝐠𝐢 𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐬𝐞𝐦𝐞𝐬𝐭𝐚 𝐁𝐮𝐧𝐠𝐚 𝐭𝐞𝐥𝐚𝐡 𝐤𝐮𝐡𝐚𝐧𝐭𝐚𝐫 𝐤𝐞 𝐩𝐮𝐬𝐚𝐫𝐚 𝐜𝐢𝐧𝐭𝐚 𝐌𝐞𝐧𝐠𝐢𝐫𝐢𝐧𝐠 𝐤𝐞𝐩𝐞𝐫𝐠𝐢𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐧𝐠 𝐩𝐞𝐦𝐞𝐧𝐚𝐧𝐠 𝐣𝐢𝐰𝐚 𝐊𝐚𝐭𝐚...