SETENGAH JIWA

80 5 0
                                    

Tangisan Harry dianggap sebagai rasa kehilangan seorang anak atas kepergian ayahnya. Anak kecil itu menjadi rewel di gendongan Kirani yang juga sedang menangis tersedu—sambil menatap kosong ke arah liang lahat yang mengebumikan tubuh suaminya. Nina yang peka pada kondisi Kirani langsung mengambil alih Harry dan membawanya anak itu menjauh. Jiwa Kirani sedang terguncang, dan Harry juga merasakan hal tersebut, itulah yang membuat bayi itu menjadi rewel dalam gendongan ibunya. Buktinya tangisan anak itu berhenti ketika berpindah tangan pada Nina.

Kirani mendapat ucapan belasungkawa dari para pelayat yang datang. Ibu mertua Kirani masih menangis sambil mengutuk pelaku tabrak lari yang menyebabkan sang anak pergi lebih dulu darinya. "Saya enggak ikhlas pokoknya kalau pelakunya belum ditangkap!" Wanita itu terus mengumpat, sambil sesekali menyeka wajahnya dengan sapu tangan. Belum lagi ayah mertua yang juga ikut memanas-manasi hati seorang ibu yang sedang berduka karena kehilangan anaknya itu. Ditambah adik ipar perempuan Kirani yang tidak mau ketinggalan ikut mengutuk pelaku dan menyalahkan Kirani atas kejadian yang menimpa kakak laki-lakinya.

Nina masih memeluk Harry dalam gendongannya, malah bayi itu terlihat mengantuk dan sepertinya akan segera tidur. Dari kejauhan dia melihat sahabatnya—Kirani, sedang berpamitan untuk pulang, tapi keluarga Wisnu menahannya. Prihatin dengan yang terjadi pada sahabat sekaligus tetangganya itu, Nina menghampiri Kirani. Hatinya ikut sakit mendengar tuduhan-tuduhan keluarga suami Kirani terhadap perempuan yang baru saja berubah status menjadi janda itu.

"Kalau saja Wisnu enggak menikah sama kamu, dia pasti masih hidup sekarang...." Ibu mertuanya mulai lagi dengan penyesalan-penyesalan yang tidak perlu diungkapkan. Kemudian jarinya menunjuk wajah Kirani, "dan kalau saja kamu enggak memaksa Wisnu untuk keluar dari rumah, dia pasti masih hidup sekarang! Ini salah kamu Kirani!" Ibu mertuanya hampir saja memukul Kirani kalau sang ayah mertua dan kerabat yang lainnya tidak menahan wanita itu.

Nina berdiri di samping Kirani dan bermaksud menarik wanita itu menjauh dari keluarga suaminya. Namun, kaki Kirani tidak bergerak, wanita itu malah menatap ibu mertuanya dengan tarikan napas yang panjang. "Kalau memang semua ini salah saya, lalu Papa dan Mama mau saya gimana?" tanyanya menyiratkan keputusasaan yang mendalam. "Haruskah saya ikut mati juga bersama Mas Wisnu? Baru Papa Mama bisa berhenti menyalahkan saya?"

"Sudah Ra... ayo kita pulang aja...." Nina mencoba sekali lagi menarik tangan Kirani. "Enggak enak tuh diliatin banyak orang kita ribut di sini," bisiknya.

Kirani menoleh ke kanan dan kiri. Dia tahu beberapa pasang mata memang memperhatikan interaksi dirinya dengan keluarga Wisnu. Dipastikan mereka semua bisa membaca situasi yang ada, di mana hubungan mertua dengan menantu yang tidak harmonis dan kurang baik. Kirani pasrah dicap sebagai menantu durhaka di depan semua kerabat suaminya. Mertuanya sendiri yang sudah menciptakan karakter itu pada dirinya.

"Ra, enggak ada manfaatnya ribut sama mereka. Suami kamu baru aja dimakamin Ra. Istigfar...," bujuk Nina sekali lagi dan akhirnya berhasil membuat Kirani melangkah pergi dari hadapan ayah dan ibu mertuanya diiringi dengan tatapan aneh para pelayat. Ada yang menatapnya kasihan, ada juga yang berpikir kalau semua ini memang benar salah Kirani.

Namun, Kirani tidak peduli lagi. Dia mengambil Harry dari tangan Nina dan berjalan cepat menuju mobil Nina. Setelah duduk bersandar di dalam mobil barulah tangisnya pecah. Wanita satu anak itu memikirkan kesulitan yang mungkin akan dia hadapi ke depannya, itu saja sudah membuat dadanya sesak. Nina sudah menyalakan mobilnya, tapi belum bergerak. Dia memeluk Kirani dan ikut menitikkan air mata. "Ada aku Ra... aku akan bantu kamu sebisa aku. Yang sabar ya...."

"Aku enggak ta—hu harus gimana, Nin. Aku butuh Mas Wisnu."

"Hei. Yang aku tahu kamu itu wanita yang kuat Ra! Mas Wisnu pernah bilang gitu ke aku. Aku yakin dia enggak suka kalau kamu langsung putus asa begini... kamu bisa bangkit lagi, percaya itu demi Harry, Ra."

Tangis Kirani semakin pecah lagi ketika mendengar nama Harry disebut. Anak lelakinya itu tertidur pulas di pelukannya tanpa tahu apa yang terjadi. Sebuah kecupan mendarat di kepala Harry. Lalu Kirani melihat ke arah Nina dan tersenyum tipis, "Makasih Nin," ucapnya dari hati terdalam.

Nina mengangguk sambil melajukan mobilnya pelan meninggalkan lokasi pemakaman. Dia membiarkan Kirani memejamkan mata sampai tiba di depan rumahnya. Baru saja wanita itu hendak menyentuh tangan Kirani untuk membangunkannya, tapi Kirani sudah membuka matanya terlebih dulu. Dia menoleh ke kanan kiri dan baru menyadari bahwa saat ini sudah sampai di rumahnya sendiri.

Ada sedikit keraguan untuk masuk ke dalam rumah ketika Kirani menyadari bahwa suaminya tidak akan ada lagi di rumah itu. Beberapa tetangga yang mengetahui kedatangan Kirani mulai menghampiri dan mengucapkan duka cita, serta minta maaf tidak bisa melayat ke rumah mertua Kirani. Air mata kembali menemani Kirani ketika dia harus mengulang-ulang kronologis kejadian yang menyebabkan kematian suaminya.

***

Kirani beruntung tinggal di lingkungan yang harmonis, di mana para tetangga silih berganti membawakan makanan dan buah-buahan untuk dirinya dan Harry. Dua hari berlalu sejak perginya Wisnu—suami Kirani, dan wanita itu berhasil melewatinya dalam keadaan waras. Tentu saja kewarasannya harus diperhatikan, terlebih teror dan tuntutan dari keluarga suami datang terus-menerus. Telepon dan rentetan pesan masuk bertubi-tubi, bahkan Kirani tidak sempat membalasnya.

"Jangan lupa bahwa di rumah itu ada hak saya dan Mamanya Wisnu ya! Jangan kamu makan sendiri harta anak saya," kata sang ayah mertua saat menelepon Kirani tadi malam.

Padahal dia sebelumnya berpikir bahwa ayah mertuanya mau minta maaf atau merasa menyesal tadi sudah menuduhnya macam-macam, tapi yang terjadi sungguh di luar ekspektasinya. Orang tua suaminya itu malah meributkan masalah harta peninggalan anaknya yang tidak seberapa dan meminta bagian.

"Astagfirullah Pa. Tanah kuburan Mas Wisnu belum juga kering, kenapa Papa harus meributkan masalah harta warisan?" sahut Kirani spontan.

Tanpa disangka sahutannya malah menyulut emosi sang ayah mertua. "Enggak usah memutarbalikkan kondisi! Mau udah kering kek, belum kering kek... masalah ini emang harus dibahas secepatnya sebelum semua harta Wisnu kamu kuasain! Dan asal kamu tahu ya, Papa sudah laporin kasus tabrak lari Wisnu ke polisi. Mereka juga akan memeriksa kamu, apa kamu ada kaitannya atau enggak dengan kematian Wisnu!"

Emosi Kirani tidak tertahan. Dia masih menghargai ayah mertuanya sebagai orang tua dari almarhum suaminya, karena itu dia tidak menyahut lagi melainkan mematikan ponsel dan menangis sejadi-jadinya. Tidakkah mereka berpikir dengan kelangsungan hidup cucunya—Harry? Bayi itu masih membutuhkan banyak hal untuk tumbuh kembangnya. Lagipula keluarga mendiang suaminya juga bukan orang yang kekurangan secara materi, malah bisa dibilang mereka sangat berkecukupan. Punya kendaraan roda empat dan roda dua, punya rumah yang cukup besar yang bisa ditempati, punya beberapa petak rumah yang disewakan juga.

"Mas Wisnu enggak punya apa-apa Nin. Kami bahkan masih harus mencicil rumah ini sampai lunas—untuk mendapatkan sertifikatnya dan menjadi hak milik sendiri. Tapi sekarang aku enggak tahu uang dari mana untuk membayar cicilannya. Eeh papanya Mas Wisnu malah menuntut bagian juga, aku harus apa Nin?" Kirani mencurahkan perasaannya pada Nina.


KIRANI, JANDA CANTIK ITUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang