Evan mengikuti langkah Kirani menuju ke unitnya. Wanita itu membuka pintu dan membeku di ambang pintu ketika melihat bahwa Harry tidak sendirian di dalam apartemennya. Dia menelan ludah dengan susah payah sembari membuka tangan untuk menyambut Harry yang menghampiri untuk memeluknya. Evan menyusul berdiri di belakang wanita itu dan bertanya-tanya dalam hati tentang tamu yang datang di apartemen Kirani.
Sang mantan ayah mertua berdiri sambil menyapa Kirani dengan sinis, "Hallo Kirani." Lalu dia berdecak, "enak sekali kehidupan kamu sekarang yaa...." Pria itu kemudian melihat ke arah Evan, "kamunya asik pacaran, dan anak kamu dibiarkan sendirian saja di rumah. Saya bisa jadikan Ini sebagai bukti di pengadilan kalau Harry tidak diurus dengan baik sama kamu, ya kan?"
Pikiran Kirani mulai kalut, dia tidak boleh meremehkan mantan mertuanya ini. Buktinya mereka bisa menemukan di mana pun Kirani berada. Wanita itu hanya memeluk Harry tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
"Siapa mereka?" Evan berbisik sangat pelan.
"Keluarga mendiang suamiku," jawab Kirani.
"Kamu itu... bisanya cuma foya-foya aja pakai duit Wisnu! Pacaran tapi lupa kalau punya anak! Kalau kamu enggak mau urus anak Wisnu, biar Harry ikut sama kita! Uang itu dikasih keluarga pelaku untuk keperluan Harry bukan untuk biayain kamu pacaran!" cerocos mantan ibu mertua tanpa disaring.
Evan menghela napasnya sekali. Lalu mendekati wanita paruh baya yang baru saja menuding Kirani itu, "Kalian masuk rumah orang lain tanpa seizin si pemilik rumah. Apa kalian tahu ada pasal yang mengatur tentang hal ini? Kami bisa saja mengadukan soal ini dan menjerat Anda sekalian dengan hukum pidana juga denda. Selagi kami baik, kami mohon Anda berdua pergi dari sini...."
Sang mantan ayah mertua malah maju mendekati Evan dengan gestur menantang. "Ck, enggak usah sok gertak-gertak. Kamu tau enggak siapa wanita ini, huh?!" semburnya sambil melirik Kirani. "Kalau kamu jadi suaminya nanti, kamu juga bisa mati di tangannya, lalu dia akan menguasai harta kamu. Dia itu wanita yang hanya memikirkan dirinya sendiri!"
Postur yang lebih tinggi membuat Evan lebih leluasa untuk balas mengintimidasi pria paruh baya yang tidak tahu diri itu. Lalu Evan menipiskan jarak antara mereka, sehingga mantan mertua Kirani itu harus agak mendongak untuk melihat wajahnya. "Saya tidak keberatan sama sekali dengan hal itu," tandas Evan tegas.
"Apa kamu juga tahu kalau wanita itu membawa kabur uang ganti rugi peninggalan suaminya untuk dirinya sendiri. Liat dia sekarang, dia enak-enakan tinggal di apartemen mewah, sementara adik iparnya saja masih mengontrak rumah!"
Kirani menampakkan ekspresi terkejut dari keterangan yang dilontarkan mertuanya, "Bukankah rumah Mas Wisnu sudah diberikan untuk—" Kirani tidak melanjutkan kalimatnya.
"Kamu pikir duit dari mana untuk bayar cicilannya hah?" Sang ayah mertua menyahut lagi. "Rumah itu sudah kami jual!"
Evan tidak bisa lagi menahan diri mendengar caci maki yang keluar dari mulut kedua orang tua itu untuk Kirani. Kemudian dia mendorong pria setengah tua itu ke pintu. "Saya sudah memberi kesempatan untuk Anda berdua keluar baik-baik, tapi maaf saya pikir kesabaran saya juga ada batasnya!" ancam Evan, galak. Dia menggunakan ponselnya untuk menelepon seseorang. "Lantai 8, unit J," katanya pada lawan bicara di telepon.
"Heh, kamu itu ya... baru jadi pacarnya aja, sudah berani mengusir kami?" Mantan Ibu mertua melangkah mendekati Evan, lalu dia menunjuk Kirani dengan kasar, "dengar ya Kirani, dari uang tunjangan yang kamu dapatkan setiap bulan itu ada juga hak kami, sebagai orang tua dan adik korban! Jangan harap kamu bisa hidup tenang dengan memakan hak orang lain!" hardik wanita itu.
Evan tidak tahan lagi untuk tidak menggunakan kekerasan dalam rangka mengusir kedua orang tidak tahu diri itu. Dia juga mendorong si wanita keluar dari apartemen Kirani. Dua orang petugas keamanan datang dan membawa keduanya menjauh dari unit. "Maaf Pak Evan, kami sudah lalai," kata salah satunya.
"JANGAN PERNAH BIARKAN KEDUANYA MENGINJAKKAN KAKI LAGI DI SINI!" perintahnya seolah-olah dia yang memiliki gedung ini.
"Siap Pak!"
Evan menutup pintunya ketika mereka semua sudah menjauh. Harry langsung berpindah untuk memeluk Evan. "Terima kasih Om Evan udah bantuin Mama," ucapnya tulus dan polos.
Kepala Harry diusap Evan, "Om akan lempar mereka dari jendela kalau mereka berani datang lagi dan memaki Mama kamu," selorohnya sambil tertawa.
"Seandainya Om Evan beneran jadi Papa Harry, pasti kakek dan nenek takut untuk datang dan marah-marah lagi ke Mama. Soalnya setiap kali mereka datang, selalu saja maki-maki Mama. Bukannya bertanya kabar Harry, cucunya, tapi selalu bicara tentang uang... uang... uaaang teruuus!" ocehnya dengan logat anak kecil.
Kirani sudah tidak punya kekuatan untuk melarang Harry berceloteh. Dia sedang memutar otaknya, dengan cara lain untuk menghindar dari teror mereka. Namun, Harry baru saja bersekolah, pindah lagi sepertinya bukan pilihan yang tepat untuk anak itu.
Harry sudah masuk ke kamarnya dan tidak lama dia sudah tertidur pulas. Anak itu bilang merasa tenang jika Evan ada di sini, karena itu dia melarang Evan pulang. Evan menghampiri Kirani di ruang tamu, duduk di sebelahnya dan mereka terdiam beberapa saat.
"Kirani...."
Dengan perlahan tubuh Kirani miring dan mencari sandaran di dada Evan, wanita itu ternyata menangis tersedu sambil memeluk Evan dengan erat. Rasa sesak di dada yang mencuat membuat Kirani seolah harus menangis demi menghindari ledakan amarah yang hampir sulit dikontrolnya lagi. Hanya untuk sesaat saja, katanya dalam hati. Sudah lama Kirani tidak pernah menangis dan bersandar pada siapa pun setelah kehilangan Wisnu. Namun, kali ini ada Evan yang datang menawarkan sandaran itu dan Kirani berpikir dia memang membutuhkannya.
"Biarin aku pinjam dada kamu sebentar aja, Van...."
Evan cukup canggung menghadapi sikap Kirani yang tiba-tiba melunak seperti saat ini, terlebih dia juga sibuk menutupi dentuman jantungnya yang keras agar tidak terdengar, "Hh? Pinjam s-selamanya juga bo—leh," balasnya, sambil ragu-ragu untuk memeluk wanita itu.
Decakan keras keluar dari bibir Kirani, dia juga melancarkan cubitan mautnya ke perut Evan yang keras. "Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan ya...," cetusnya sambil melepaskan diri dari pria itu setelah merasa cukup mengeluarkan tangisnya selama beberapa detik. Kirani takut terlalu nyaman jika harus berlama-lama berada dalam pelukan Evan yang hangat.
Pria itu mengaduh sebentar sambil memegangi perutnya. Evan menatap Kirani lama, lalu perlahan kepalanya mendekat dan hampir saja mencium bibir wanita itu, jika Kirani tidak menghindar. Wanita itu menggeleng lemah sambil menunduk. Lalu dia berdiri, "Terima kasih untuk hari ini, Van. Sekarang sudah malam sebaiknya kamu pulang," katanya tiba-tiba.
Evan menarik napas panjang seraya mengangkat bokongnya dari sofa, boleh jadi hari ini dia tidak berhasil mencium Kirani. Namun, Evan bertekad akan terus berusaha mendapatkan maaf dan hati Kirani demi melindungi wanita itu dan anaknya. "Aku pulang kalau begitu."
Mengantarnya sampai ke pintu, Kirani hanya melambaikan tangan dan langsung menutup pintunya. Wanita itu tidak mengingkari kalau jantungnya baru saja berdebar mengingat Evan hampir saja menciumnya tadi. Satu hal yang harus Kirani ingat adalah bahwa Evan bukan untuknya.
Bukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIRANI, JANDA CANTIK ITU
RomanceKirani Luna tidak menyangka akan jatuh cinta pada pria yang menyebabkan anaknya menjadi anak yatim. Hidupnya tidaklah mudah bahkan setelah bertemu dengan pria bernama Evan Barry Onneil yang begitu lengket dengan anaknya. Bagaimana Kirani mengatasi...