Keluarga Wisnu memang tidak sepenuhnya merestui pernikahan Wisnu dan Kirani saat itu, hanya karena Kirani berasal dari keluarga miskin dan seorang yatim piatu. Wisnu membawa istrinya tinggal bersama orang tua setelah menikah dengan alasan mereka bisa berhemat sebelum membeli rumah, ditambah orang tuanya memiliki rumah yang cukup besar. Namun, setengah tahun tinggal bersama mertua membuat Kirani tertekan dan Wisnu merasa bersalah karena hal itu. Terlebih dia harus meninggalkan Kirani setiap hari untuk bekerja. Seringkali dia mendapat keluhan dari ibunya perihal sikap istrinya di rumah.
Berangkat dari hal tersebut dan demi menghindari pertikaian antara ibu dan istrinya, akhirnya Wisnu memutuskan untuk membeli rumah kecil yang cukup untuk ditempati mereka berdua sebagai pengantin baru. Setengah tahun setelah tinggal terpisah, Kirani hamil dan melahirkan Harry sembilan bulan kemudian. Dan sebelas bulan setelah itu Wisnu pergi meninggalkan Kirani dan Harry untuk selama-lamanya.
Kirani memandangi rumahnya untuk terakhir kali sebelum mengangkat kakinya dari sana. Dia tidak menyangka jika hari ini dia harus merelakan rumah tersebut diambil keluarga Wisnu. Rumah yang masih menyisakan cicilan itu pernah menjadi rumah impian Kirani dan Wisnu, banyak kenangan indah di dalamnya. Namun, pergi dari rumah ini mungkin adalah yang terbaik, sehingga Kirani tidak akan terus dibayangi kenangannya bersama mendiang suaminya. Satu hal yang meringankan Kirani melepas rumah ini adalah kenyataan bahwa ternyata rumah yang dihadiahi untuknya dari Wisnu bukanlah atas namanya, melainkan atas nama ibu mertuanya. Karena itu mereka bisa memena-mena mengusirnya.
Mata Nina sudah basah oleh air mata ketika dia membantu sahabatnya itu membawakan barang-barang ke atas mobil bak yang akan mengantarkan Kirani dan Harry menuju tempat barunya. Tidak tega membiarkan Kirani pindah sendirian, Nina pun ikut serta untuk membantu Kirani di tempat yang baru.
"Udah nangisnya Nin. Nanti kering air mata kamu tuh," ujar Kirani berusaha menghibur Nina yang sudah harus kembali lagi ke rumahnya.
Nina adalah tetangga Kirani yang belum menikah. Usia mereka hanya terpaut satu tahun, Kirani lebih muda. "Ck, aku mikirin siapa nanti yang bantuin kamu jagain Harry, Ra?" ujarnya.
"Doain aku, semoga tetangga di sini sebaik kamu juga yaa...." Kirani memeluk Nina dengan Harry dalam gendongannya. "Sering-sering ke sini yaa Nin, Harry pasti kangen."
Nina makin menangis sambil menciumi bocah kecil dalam gendongan Kirani. "Kalau aku libur kerja, aku pasti nengokin kamu dan Harry, Ra."
"Makasih Nin... kamu udah selalu bantuin aku. Terutama setelah Mas Wisnu enggak ada."
"Kamu udah aku anggap sodara aku sendiri Kirania... jangan sungkan minta tolong sama aku ya," ucap Nina tulus.
Kirani mengangguk tersenyum.
Saat ini Kirani benar-benar hanya mengandalkan tunjangan kerugian dari keluarga pelaku itu. Dia bisa membayar sewa rumah, membeli makanan, susu dan popok untuk Harry dari uang tersebut. Janda beranak satu itu bahkan tidak mendapatkan apa-apa dari mendiang suaminya—karena ternyata ahli waris yang tertulis dalam polis asuransi Wisnu bukanlah dirinya ataupun Harry—anaknya, melainkan lagi-lagi nama ibunya. Bahkan dia masih belum bisa melupakan ekspresi bahagia ibu mertuanya ketika wanita itu mengetahui hal tersebut. "Sudah kubilang Wisnu itu anak soleh dan berbakti sama ibunya. Dia itu sebenarnya tahu kamu wanita seperti apa, Kirani."
Uang tunjangan kerugian yang dijanjikan keluarga pelaku benar-benar dikirimkan setiap tanggal satu saat bulan berganti. Kirani bahkan bisa menabung dan membeli sebuah kendaraan roda dua setelah satu tahun. Untuk menambah pemasukan, Kirani mulai berjualan online—supaya dia tetap bisa ada di rumah menemani Harry. Hasilnya sungguh lumayan, bisa menabung untuk keperluan tambahan—seperti mengajak Harry membeli mainan kesukaannya atau pergi ke arena bermain.
Nina menikah satu tahun berikutnya dan harus ikut pindah bersama suaminya ke luar pulau. Kirani dan Harry merasa kehilangan karena jarak yang cukup jauh telah memisahkan mereka. Di usia Harry yang keenam tahun, nomimal yang diterima dalam rekening bank Kirani bertambah menjadi 20 juta. Kirani mengirim pesan.
"Harry masih belum sekolah, dana yang kemarin sudah lebih dari cukup."
"Silakan gunakan untuk keperluan yang lain." Jawaban dari pesannya.
Kirani berpikir, bahwa keluarga pelaku ini benar-benar kaya raya dan cukup dermawan. Jika boleh dihitung-hitung dia sudah menerima tunjangan yang cukup besar selama lima tahun ini, 15 juta dikali 5 tahun. 5 juta x 12 bulan sama dengan 60 juta, kemudian dikalikan 5 tahun, totalnya menjadi 300 juta. Walau jumlah itu tidak bisa dibandingkan dengan keberadaan Wisnu bersamanya, tapi tidak dia pungkiri bahwa Kirani tidak kesulitan sedikitpun dari segi materi setelah kepergian Wisnu. Apalagi dia bukanlah wanita yang boros.
Yang tidak Kirani sangka-sangka adalah kedatangan ayah dan ibu mertuanya secara tiba-tiba—setelah lima tahun berlalu—di suatu pagi. Mereka bertanya soal nominal tunjangan yang diterima Kirani dari keluarga pelaku. Mata keduanya memindai isi rumah Kirani sekarang. Ada televisi, lemari pendingin, dispenser, sofa dan beberapa mainan Harry. "Berapa yang kamu dapet dari keluarga pembunuh itu, huh? Bisa-bisanya dimakan sendiri uangnya. Kamu menukar nyawa Wisnu dengan ini semua?!" tuding Sang Ibu Mertua tajam.
"Ini barang-barang yang saya bawa dari rumah Mas Wisnu waktu itu—Ma." Rasa canggung tercipta begitu saja ketika Kirani harus menyebut kata 'Ma' barusan. Karena dia merasa ikatan antara menantu dan mertua itu sudah terputus sejak suaminya meninggal.
"Mamaaa...." Suara Harry terdengar dari arah kamar. Sepertinya anak itu terbangun dari tidurnya.
"Itu di luar motor siapa?" Ayah mertuanya bertanya saat Kirani melewatinya menuju ke kamar untuk menghampiri Harry, "motor baru lho itu," lanjutnya sambil mengintip ke arah pekarangan rumah.
"Motor mahal itu kan Pa? Berarti Kirani dapat duit banyak dari kematian Wisnu, anak kita. Pantas saja dia enggak ribut soal rumah sama asuransi, karena yang dia dapat lebih besar dari itu semua, Pa!" Sang Ibu Mertua lagi-lagi membuat skenario sendiri.
Kirani menarik napasnya panjang. Dia berusaha untuk sabar dan tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak enak di dengar. Setelah memberikan Harry susu kesukaannya Kirani keluar dan menemui mereka lagi di ruang tamu. Namun, janda cantik itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Diamnya tidak berarti membuat mereka berhenti mencela dan memaki Kirani. "Denger ya Kira! Bukan cuma kamu yang dirugikan. Wisnu itu anak kami, bukankah seharusnya kami juga dirugikan atas kematian Wisnu?? Dan itu artinya kami juga berhak dong menerima uang ganti rugi itu? Ya kan Pa?"
Kirani mengusap dada sambil beristigfar dalam hati. Pasangan ini benar-benar cocok karena kesamaan pikiran. Mereka merasa tidak puas kalau mantan menantu dan cucu yang tidak diakuinya itu tidak hidup menderita, bahkan malah terlihat baik-baik saja tanpa anaknya. "Jadi Mama Papa mau apalgi dari Kirani sekarang?" Rasanya lidah Kirani terasa kelu kalau harus menyebut mereka dengan panggilan mama dan papa.
"Permisiiii...." Suara di depan pintu mengejutkan ketiganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KIRANI, JANDA CANTIK ITU
RomantikKirani Luna tidak menyangka akan jatuh cinta pada pria yang menyebabkan anaknya menjadi anak yatim. Hidupnya tidaklah mudah bahkan setelah bertemu dengan pria bernama Evan Barry Onneil yang begitu lengket dengan anaknya. Bagaimana Kirani mengatasi...