#9 : Unexpected

5.3K 470 40
                                    

Perjalanan dari Chesire ke London memang tidak memakan banyak waktu tapi, tetap saja melelahkan untuk Taylor. Apalagi, keesokan harinya, Harry sudah harus mulai bekerja kembali, padahal mereka sampai di London larut malam.

“Apa kau yakin kau ingin berangkat ke kantor besok? Kau bisa beristirahat sehari saja. Kita baru sampai,” ujar Taylor, sesampainya di rumah. Harry tampak membawa kopernya dan Taylor kemudian meletakkan koper itu di sudut ruangan. Harry menghela nafas. “Semakin lama aku meninggalkan kantor, semakin banyak pekerjaanku yang tertunda. Semakin banyak yang harus kukerjakan, semakin jarang aku berada di rumah.”

Taylor ikut menghela nafas sebelum tersenyum tipis. “Tapi, jangan terlalu memaksakan diri, okay? Jika kau lelah, tidurlah. Jangan lupa makan siang.” Nasehat Taylor. Harry mengangguk dan berjalan menghampiri sang istri. Harry merangkul Taylor.

“Bisa kita ke kamar dan tidur sekarang? Aku sangat mengantuk. Kita bicara lagi besok,” pinta Harry. Taylor mengangguk dan membiarkan Harry membawanya ke dalam kamar yang sudah tiga hari belakangan tidak mereka tempati.

Harry dan Taylor mengganti pakaian mereka dengan piyama, sebelum naik ke tempat tidur dan berbaring menatap satu sama lain. Hanya berbaring, tanpa memejamkan mata. Keduanya menatap satu sama lain dalam pikiran satu sama lain.

“Tay,” panggil Harry tiba-tiba.

“Ya?” tanya Taylor.

“Aku benar-benar serius dengan ucapanku tadi. Aku ingin memiliki anak. Darah daging kau dan aku. Apa kau tidak menginginkannya?” Tangan kekar Harry membelai lembut wajah istrinya. Taylor tak menolak belaian Harry sama sekali.

“Harry, percayalah. Saat aku menerima lamaranku, di saat itu pula aku mempercayakan masa depanku denganmu. Termasuk membangun keluarga bahagia yang terdiri atas kau, aku dan beberapa orang anak. Aku juga menginginkan anak, sama sepertimu.” Taylor menahan ucapannya. Matanya menatap mata Harry dalam-dalam. Dia menarik nafas dan menghelanya perlahan. “Tapi, aku belum yakin apakah aku siap menjadi seorang Ibu atau belum. Aku takut, aku tak akan menjadi Ibu yang baik.”

Harry tersenyum tipis. Tangannya masih membelai Taylor lembut. “Kau pasti akan menjadi Ibu yang baik, aku yakin.”

Taylor hanya diam, Harry bisa menatap kecemasan dalam iris matanya. Harry menarik selimut yang menutupi setengah tubuhnya dan Taylor sehingga sekarang, selimut itu menutupi ujung kaki hingga leher dia dan Taylor. Harry sempat tersenyum lebar kepada Taylor sebelum berkata, “Selamat malam, Love. Mimpi yang indah. Aku mencintaimu.” dan Harry mematikan lampu tidur di kamar mereka, tanpa menunggu Taylor membalas ucapannya.

*****

Keesokan harinya, tak seperti biasanya, Harry bangun lebih awal. Harry melirik jam weker di atas meja sisi kanannya. Harry menghela nafas. Jam di sana masih menunjukkan pukul lima pagi. Apa yang membuat seorang Harry Styles bangun sepagi itu? Biasanya, Harry bangun pukul tujuh pagi. Paling awal, pukul enam. Yang jelas, Taylor selalu lebih awal bangun daripada Harry.

Harry mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk. Mata hijaunya menatap Taylor yang tengah tertidur pulas. Harry tersenyum. Harry selalu menyukai wajah tertidur Taylor. Setidaknya, ada keuntungan pula bangun pagi.

Harry mengecup singkat kening Taylor sebelum beranjak dari ranjang. Harry berjalan ke luar kamar, menuju ke ruang kerjanya. Di rumah megahnya ini, Harry tak mempunyai pelayan. Taylor tak mau mempunyai pelayan. Taylor ingin mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Tapi, untuk berjaga-jaga, Harry mempekerjakan lima orang untuk menjaga rumahnya, dari luar.

Harry membuka pintu ruang kerjanya dan langsung menyalakan lampu saat sampai di dalam. Harry melihat meja kerjanya yang tampak masih rapih. Ada beberapa berkas di atas meja.

No Control 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang