#22 : Round 2

4.7K 427 26
                                    

Harry terbangun dari tidur singkatnya. Semalaman Harry tidak bisa tidur. Semenjak percakapannya dengan Taylor sebelum Taylor tidur, Harry benar-benar terus memikirkan ucapan Taylor. Semuanya tidak akan sama lagi. Kalimat itu benar-benar menyakitkan untuk Harry. Seakan-akan dialah penyebab semuanya berubah.

Harry hanya tertidur kurang dari tiga jam. Harry bangun pada pukul tujuh pagi dan sudah tak mendapati Taylor di manapun di dalam kamar. Semalam, Taylor tidur memunggungi Harry, seakan tak mau berhadapan langsung dengan Harry. Biasanya, Taylor pasti tidur dalam pelukan Harry dan dalam posisi itu pula, biasanya Harry dapat tertidur dengan nyenyak.

Pemuda berambut keriting kecokelatan membersihkan tubuhnya sebelum berjalan ke luar kamar, menuruni tangga dan menemukan sang nenek tengah duduk tenang di ruang makan. Grandma sempat melirik Harry sekilas sebelum kembali meneruskan sarapannya pagi ini, yaitu roti bakar.

Harry menghela nafas pasrah. Harry tahu, neneknya pasti masih marah besar. Kesahalan Harry memang sudah termasuk kesalahan fatal. Harry dapat melihat jelas jika Grandma sangat menyukai Taylor. Grandma pasti sangat menyayangi Taylor dan dia benci perbuatan Harry kemarin.

"Pagi, Grandma."

Harry memutuskan untuk berusaha bersikap normal, menyapa Grandma seraya menarik kursi di sampingnya. Grandma tampak mengabaikan Harry dan Harry berusaha memaklumi. Hanya keheningan yang ada di antara nenek dan cucu tersebut, sampai akhirnya Anne muncul, membawa beberapa potong roti bakar baru di sebuah piring besar.

"Selamat pagi, Harry." sapa Anne kepada Harry, seraya meletakkan piring berisikan beberapa roti bakar itu di hadapan Harry. Harry tersenyum tipis. "Selamat pagi, Mom. Hm, apa kau melihat Taylor?" tanya Harry yang membuat Anne mengangkat satu alisnya.

"Taylor? Aku tak melihatnya. Aku baru saja turun ke ruang makan, sama sepertimu." Anne menarik kursi di samping Harry dan duduk di sana. Harry mendesah kecewa. "Oh, okay, terima kasih." Harry meraih salah satu roti bakar dan memakannya perlahan.

"Jadi, kuambil kesimpulan, kau berhasil meyakinkan Taylor untuk bertahan? Jadi, dia tidak akan kembali ke Nashville, kan?" tanya Anne, berusaha bicara tenang walaupun, dia sadar, pembicaraan ini benar-benar sensitif.

Harry tersenyum tipis dan menggeleng. "Aku tak tahu. Taylor bilang dia tak akan pergi semalam dan sekarang aku tak tahu di mana dia. Aku tak tahu harus bagaimana." Grandma melirik sekilas Harry yang terlihat sangat lemas.

"Sudahlah. Semuanya akan baik-baik saja. Untuk hari ini, beristirahatlah. Kau terlihat kacau. Untuk urusan kantor, aku akan menghubungi Robin untuk membantu." Ujar Anne. Harry menganggukkan kepala pasrah.

Grandma masih terus menatap ke arah cucu kesayangannya tersebut. Sebenarnya, dalam hati Grandma juga merasa bersalah telah bersikap dingin pada Harry. Tapi, egonya tak terkalahkan. Sepertinya hampir seluruh Styles punya ego yang cukup tinggi, untuk tak mau terlihat lemah di hadapan orang lain. Styles adalah penguasa.

Grandma berdeham singkat, membuat Harry dan Anne menoleh ke arahnya. Tanpa menatap ke arah Harry dan Anne, Grandma berkata, "Taylor kuminta untuk berbelanja di supermarket tadi pagi." Grandma menarik nafas dan menghelanya perlahan sebelum menambahkan, "Aku sudah meminta Adam untuk menemaninya."

Harry menggertakkan giginya mendengar itu.

*****

"Taylor,"

Taylor yang tengah mendorong troli kembali menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang, ke sosok pemuda jangkung yang sedari tadi seakan merengek kepadanya. Taylor memutar bola matanya.

"Apa lagi, Adam?" tanya Taylor, dengan nada sarkastik. Adam melangkah mendekat dan mendengus. "Kau berjalan terlalu cepat. Apa kau tak mendengarkan ucapanku tadi?" tanya Adam, terlihat sedikit kesal.

No Control 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang