Keesokan paginya, sama saja seperti kemarin. Lagi-lagi, Harry tak mendapati Taylor di manapun saat dia terbangun dari tidur yang sama sekali tak nyenyak. Seperti kemarin, sebelum mencari Taylor, Harry memutuskan untuk membersihkan tubuhnya dan merapikan diri.
Harry tak tahu apa dia harus pergi ke kantor saat ini atau tidak. Rasanya sangat malas pergi ke kantor. Biasanya, Taylor yang memberi semangat Harry tapi, kali ini berbeda. Taylor masih sangat marah padanya. Bahkan, Harry masih mengingat jelas tatapan Taylor kemarin kepadanya. Tatapan penuh kebencian dan amarah tapi, Harry masih dapat melihat secercah cinta di iris biru langit Taylor tersebut.
Harry berjalan ke luar kamar, menuruni tangga dan menghentikan langkahnya di ruang tengah. Sebenarnya, Harry ingin melangkah menuju ke dapur untuk sarapan namun, Grandma dan Anne langsung menahan langkah Harry, membuat pemuda itu terkejut. Kemarin, Grandma masih sangat marah padanya.
"Jelaskan pada kami." Anne langsung bertanya tanpa basa-basi, melipat tangannya di depan dada. Anne dan Grandma menatap tajam ke arah Harry yang tak mengerti apa yang kedua wanita ini bicarakan.
"Aku tak mengerti. Apa kalian melihat Taylor?" tanya Harry, seraya melirik ke sekeliling, berharap dapat menemukan pujaan hatinya tersebut.
Anne mendengus. "Harry, jawab pertanyaanku terlebih dahulu! Jelaskan pada kami, semua yang sudah kau rahasiakan!" tuntut Anne, Harry menghela nafas dan mengedikkan bahunya. "Aku tak mengerti maksud pertanyaanmu, Mom. Bertanyalah yang jelas."
"Ini tentang Taylor. Istrimu hamil dan kau merahasiakan semuanya dari kami? Astaga," Anne menggeleng-gelengkan kepala, prihatin. Harry mengernyit. "Tunggu. Dari mana kalian tahu? Jadi, Taylor sudah memberitahu kalian?" tanya Harry.
Anne menggelengkan kepala. "Taylor sama keras kepalanya denganmu. Dia tak mengatakan sepatah katapun pada kami. Adam yang memberitahu." Mata Harry membulat saat mendengar nama itu terucap. Tangan Harry mengepal. "Adam?"
"Ya. Dia yang memberitahu semuanya." Grandma berdecak sebelum menambahkan, "Aku cukup kecewa kau merahasiakan banyak hal dari kami, Harry. Taylor hamil dan kau sudah tahu itu sejak lama, lalu kau berselingkuh darinya. Ide yang bagus. Apa kau tak tahu apa efeknya jika saja Taylor bukan orang yang kuat?" tanya Grandma sinis. Harry menundukkan kepala. "Maafkan aku."
"Hanya itu yang bisa kau ucapkan? Ya, aku mengerti. Aku tak tahu apa yang salah dengan pola ajarmu, Anne. Bagaimana bisa kedua anakmu benar-benar membuat kepalaku pening?" Grandma menyindir Anne sebelum berlalu menuju ke kamarnya begitu saja, meninggalkan Anne dan Harry, hanya berdua.
Anne menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Anne berjinjit dan merangkul pundak sang putra, menuntunnya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.
"Kau ingin sarapan apa, Harry? Aku akan meminta pelayan membuatkannya," ujar Anne. Harry menggelengkan kepala. "Aku tidak lapar, Mom."
Anne menatap Harry lirih. Anne tahu betul bagaimana perasaan putranya saat ini. Dulu, Anne pernah mengalami hal yang sama. Selalu disalahkan atas apapun yang sudah dia lakukan. Rasanya sangat buruk. Seperti tak ada lagi alasan untuk hidup. Tapi, dulu Anne punya Des, yang selalu mendukungnya.
Sedangkan sekarang? Harry melakukan kesalahan fatal pada seseorang yang seharusnya menjadi pendukung setianya. Beda kasus memang. Anne miris mengingat semuanya.
Apa ini karma atas perlakuan buruk Anne pada Taylor dulu, sehingga kini Harry yang merasakannya?
Anne mengelus lembut pundak Harry. "Jangan khawatir. Taylor pergi bersama Adam, mereka lari pagi bersama." Harry mendesah kecewa. Anne paham bagaimana perasaan Harry. Harry sangat posesif. Pasti sekarang pikirannya mulai macam-macam tentang Adam dan Taylor.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control 2
FanfictionApapun akan Harry Styles lakukan untuk membuat Taylor Swift bertahan, di sisinya. The Second Book of No Control. Before you read this one, make sure you've already read No Control. Chapter 21 - 30, dan Bonus diprivat.