Masalah Gemma memang belum selesai sepenuhnya tapi, hari ini, Harry sudah dan Taylor kembali ke London. Harry tak bisa meninggalkan Styles Enterprise lebih lama lagi. Harry tak mau menumpuk pekerjaan. Semakin dia mengambil banyak libur dari perusahaannya sendiri, semakin banyak pekerjaan yang menantinya.
Taylor duduk di sofa ruang tamu rumah besarnya dan Harry. Sesekali menatap ke luar rumah dengan tatapan kosong. Tangannya juga sesekali mengelus lembut perutnya yang masih datar, belum membuncit sebagaimana ibu hamil lainnya.
Taylor tersenyum, mengingat apa yang ada di dalam perutnya. Ada sebuah kehidupan di sana. Anaknya dan Harry. Taylor mulai membayangkan bagaimana rupa anaknya saat dia lahir nanti? Apakah akan lebih mirip Harry atau Taylor? Apakah seorang laki-laki atau perempuan? Rasanya, masih sangat lama menunggu waktu itu tiba.
Sudah hampir satu jam Taylor duduk tenang di sofa, sampai akhirnya suara deru kendaraan terdengar. Taylor tersenyum dan segera bangkit berdiri, berjalan untuk membukakan pintu.
Harry tampak berjalan dengan seragam kantornya. Melihat Taylor yang sudah berdiri di depan pintu, Harry tersenyum dan mempercepat langkah kakinya. Harry langsung memeluk Taylor erat, membenamkan kepalanya di bahu Taylor, menghirup aroma tubuh wanita yang sangat dia cintai itu. Taylor balas memeluk Harry.
"Kau pulang sangat cepat hari ini," ujar Taylor setelah Harry melepaskan pelukan dan merangkulnya memasuki rumah. Harry tersenyum. "Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, makanya aku pulang cepat. Lagipula tak banyak yang harus kukerjakan."
"Bukankah kau bilang kita harus cepat-cepat kembali ke London karena kau tidak mau menumpuk pekerjaan?" tanya Taylor, menghentikan langkahnya. Harry terkekeh dan menganggukkan kepala. "Tentu saja. Tadinya, kupikir akan banyak pekerjaan yang kutinggalkan tapi, tadi setelah aku memeriksa, tak banyak. Jadi, aku ada banyak waktu untuk kita berdua."
Mereka berdua menghentikan langkah di ruang tengah dan duduk berdampingan di sofa. "Berdua?" Taylor mengangkat alisnya, menggoda.
Harry kembali terkekeh dan tangan kekarnya bergerak, mengelus lembut perut Taylor. "Maaf, maaf. Maksudnya bertiga. Kau, aku dan Styles junior." Taylor terkekeh mendengarnya.
Belum lama mendapat waktu bersama, ponsel Harry berdering. Harry buru-buru meraih ponsel yang ada di saku celananya dan mengangkatnya. Taylor memperhatikan Harry dengan teliti.
"Ya, Mom?" Harry tampak diam, mendengarkan ucapan seseorang yang berada jauh di sana atau bisa dikatakan sebagai Mom-nya sendiri. Harry melirik Taylor sekilas sebelum kembali berkata, "Baiklah, baiklah. Besok aku akan ke sana." Harry mengakhiri panggilan tersebut dengan satu helaan nafas.
Taylor menatap Harry penasaran. "Ada apa?" tanya Taylor.
"Gemma. Dia mengurung diri di kamar. Tak ada yang bisa membujuknya ke luar." Harry berujar lesu. Taylor mengelus lembut lengan Harry. "Jadi, besok kita akan ke Chesire lagi?" tanya Taylor. Harry menganggukkan kepala.
"Yeah. Urusan kantor, sepertinya untuk sementara akan diambil alih oleh salah satu orang kepercayaanku." Harry menjelaskan. Taylor mengangguk.
"Untuk saat ini, yang terpenting adalah Gemma. Dia pasti sangat tertekan. Dia butuh semangat kita." Ujar Taylor, menyandarkan dagunya di bahu Harry. Harry mengangguk pelan sebelum menyandarkan kepalanya di atas kepala Taylor.
*****
Lagi, Harry dan Taylor melangkah memasuki kediaman keluarga Styles di Chesire. Tangan Harry menggenggam erat tangan Taylor, memasuki rumah tempatnya besar tersebut.
Sesampainya di dalam rumah, keduanya di sambut oleh Anne Styles dan juga Grandma, yang sama-sama memasang wajah cemas. Anne segera berhambur memeluk Harry sambil berkata, "Harry, syukurlah kau datang."
"Bagaimana dengan Gemma?" tanya Harry, setelah Anne melepaskan pelukannya.
Anne menggeleng. "Dia sudah dua hari belakangan tidak ke luar kamar. Sejak pembicaraan kita tentang pernikahannya. Aku takut dia kenapa-napa, Harry. Dia terlihat sangat kacau."
"Aku akan membujuknya." Ujar Harry, melepaskan genggaman tangannya dari Taylor, seraya tersenyum tipis kepada istrinya tersebut. "Aku akan segera kembali," Harry mengecup singkat pipi Taylor sebelum berjalan cepat menaiki tangga, menuju ke kamar Gemma. Anne mengikuti dari belakang.
Taylor menghela nafas dan di saat itu pula, Grandma tersenyum kepadanya. "Duduk, Taylor. Kau pasti lelah selama perjalanan tadi," ujar Grandma dengan ramah, seraya duduk di sofa dan menepuk sisi sofa kosong di sampingnya. Taylor tersenyum dan menganggukkan kepala, duduk di samping Grandma.
"Terima kasih sudah mau menemani Harry," ujar Grandma tiba-tiba, mengelus rambut Taylor. Taylor terkekeh kecil. "Tentu saja, Grandma. Aku istrinya. Aku harus selalu menemaninya. Itu sudah ikrarku saat kami menikah." Grandma tersenyum lebar.
"Aku senang Harry menikah denganmu," kata Grandma lagi. Taylor hanya dapat tersenyum tipis.
"Sebenarnya, jika tidak ada masalah seperti ini, mungkin hidupku akan lebih tentram. Apalagi jika kau dan Harry memiliki anak. Masa tuaku pasti akan bahagia, tanpa banyak beban seperti ini." Taylor terdiam mendengar penuturan Grandma. Satu yang dapat Taylor simpulkan dari perkataan Grandma.
Harry belum memberitahu perihal kehamilan Taylor kepada Grandma, atau bahkan seluruh keluarganya.
*****
"Gemma,"
Harry memanggil Gemma dengan lembut. Harry tengah berdiri di depan pintu kamar Gemma saat ini. Sudah belasan kali dia mengetuk sambil terus memanggil nama kakaknya tersebut namun, Gemma tak kunjung membalas.
"Gem, jika kau tidak membuka pintu juga, aku akan mendobrak paksa. Aku serius." Ancam Harry, mulai kesal karena Gemma tak merespon panggilannya sama sekali.
Harry menoleh ke belakang. Sang Ibu menatapnya pasrah. Harry menghela nafas sebelum akhirnya, memutuskan untuk menggunakan seluruh tenaganya untuk mendorong pintu kamar Gemma. Dalam satu kali dorongan, tampak belum berpengaruh apapun. Namun, pada dorongan kedua, akhirnya pintu terbuka.
Harry dan Anne langsung memasuki kamar Gemma.
"Gemma!"
Keduanya berteriak terkejut saat mendapati Gemma sudah berbaring di lantai dengan banyak darah di sekujur tubuhnya.
Harry berhambur ke arah Gemma, memeriksa denyut nadi kakaknya itu. Masih ada, walau sangat lemah. Sedangkan Anne masih mematung, menatap sang putri yang terlihat cukup mengenaskan.
"Mom! Panggil ambulans!" perintah Harry dengan cepat, seraya mengangkat tubuh Gemma ke ranjang. Anne mengangguk dan segera ke luar dari kamar, menghubungi ambulans.
Harry memeriksa pergelangan tangan Gemma. Sangat lemah. Harry menepuk pipi Gemma berkali-kali sambil berkata, "Gem, sadarlah. Kenapa kau melakukan hal sebodoh ini, sih?!"
Tak lama kemudian, Taylor dan Grandma muncul dari luar kamar. Keduanya menatap keadaan Gemma dengan sangat terkejut, terlebih lagi Taylor yang langsung lemas. Grandma mendekati ranjang, Taylor masih berdiri mematung.
"Harry! Apa yang terjadi pada Gemma?!" tanya Grandma, panik.
Harry menggeleng, masih berusaha membangunkan Gemma. "Aku tidak tahu. Aku terus memanggilnya tapi, dia tak menjawab. Saat pintunya kudobrak, sudah seperti ini." Harry menjelaskan dengan cepat. Grandma menatap Gemma khawatir.
Anne muncul sesaat kemudian, sambil berkata panik, "Ambulans sudah datang!"
Saat itu pula, Harry mengangkat tubuh sang kakak, membawanya ke luar kamar, menuju ambulans yang berada di depan rumah mereka. Taylor masih diam di dalam kamar Gemma, mematung melihat darah yang berceceran di lantai.
Ponsel Taylor bergetar. Taylor meraihnya. Mata kucing Taylor membulat saat membaca pesan yang tertera di sana.
Ronde pertama: sukses.
----
Sejujurnya kasian sama Gemma.-. Tapi, tenang, ini baru permulaan untuk konflik Haylor. Wkwk ada hubungannya kok.
Thanks udah baca ya...
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control 2
FanfictionApapun akan Harry Styles lakukan untuk membuat Taylor Swift bertahan, di sisinya. The Second Book of No Control. Before you read this one, make sure you've already read No Control. Chapter 21 - 30, dan Bonus diprivat.