"Aku masih tak mengerti, kenapa kau mau menjauh dari suamimu saat kau tengah hamil? Dulu, waktu kau masih di dalam kandunganku, yang selalu aku inginkan adalah berada di dekat ayahmu." Andrea Swift meletakkan secangkir teh di meja yang ada di samping tempat duduk kayu yang tengah Taylor duduki.
Taylor tersenyum kepada sang Ibu dan berkata, "Terima kasih atas tehnya, Mom." Andra menghela nafas dan menganggukkan kepala. "Kuharap, Harry cepat menjemputmu." Ujar Andrea.
Taylor mengangkat satu alisnya. "Jadi, kau tak suka jika aku di sini?" tanya Taylor, cemberut. Andrea menggeleng. "Bukan tidak suka, Taylor. Jika boleh, malah aku ingin menyarankan supaya kau dan Harry tinggal di sini. Aku juga ingin tahu perkembangan kehamilanmu." Andrea menahan nafas.
"Apa kau tak takut berjauhan dengan suamimu?" tanya Andrea, memasang wajah menakuti. Taylor terkekeh dan menggelengkan kepala. Sebenarnya, Taylor sama sekali belum menceritakan tentang perselingkuhan Harry dan Emily. Taylor lebih memilih bungkam kepada orangtuanya, mengingat perselingkuhan itu juga terjadi karena disengaja.
Andrea menepuk pelan bahu Taylor. "Tuh, kan. Kau pasti memikirkan dia, kan? Aku sudah menduga sejak awal. Kau tidak akan bisa bertahan lama tanpanya. Oleh karena itu, aku sarankan kau menghubungi dia dan memintanya untuk datang ke sini."
Taylor menggeleng. "Mom, tenanglah. Harry nanti pasti akan datang. Setelah urusannya selesai."
"Urusan apa?" tanya Andrea, penasaran.
Taylor tersenyum tipis. "Aku tidak bisa memberitahumu, Mom. Tapi, yang harus kau tahu, aku dan Harry...kami saling mempercayai."
*****
Harry tak tahu sampai kapan dia akan berhenti memainkan peran ini. Sudah hampir seminggu dia menjadi sosok Harry yang kasar dan tak punya sopan santun di depan orangtuanya. Sudah hampir seminggu pula Taylor pergi dan benar-benar membuat Harry merindukannya.
Harry duduk menyandarkan punggung di ruang kerjanya. Harry menarik nafas dan menatap ke pigura kecil yang ada di atas mejanya. Pigura itu berisikan fotonya dan Taylor. Selfie. Harry membulatkan mulutnya sementara Taylor mengernyitkan dahi.
Senyuman muncul di bibir Harry. Harry mengelus foto Taylor dan berbisik, "Aku merindukanmu." Seperti orang gila, Harry mengecup foto tersebut. "Aku ingin segera bertemu denganmu." Harry menghela nafas.
Kegiatan Harry itu terhenti oleh sebuah ketukan pintu. Harry meletakkan pigura fotonya kembali dan berkata tegas, "Masuk."
Tak lama kemudian, seseorang masuk ke dalam ruangan. Harry menatapnya tajam. Adam. Ya, Adam-lah yang masuk ke dalam ruangan. Adam memang sudah mendapatkan ruang kerja baru, tepat di samping ruangan Harry. Untuk kali ini, Harry yang meminta Adam datang ke ruangannya.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Adam, tanpa basa-basi kepada Harry.
"Kau mensabotase mobilku pagi ini," jawab Harry, tenang. Adam mengangkat satu alisnya. "Apa maksudmu dengan mensabotase, Harry Edward Styles?" Adam melipat tangan di depan dada.
"Jangan berpura-pura. Kau melakukan sesuatu pada pedal remku. Aku punya bukti yang cukup kuat atas tindakanmu itu."
Adam memejamkan mata dan menghela nafas. "Baik, baik. Aku mengaku. Ya, aku memang melakukan sesuatu pada rem mobilmu. Aku lupa jika di rumah banyak sisi TV. Seharusnya aku melakukannya dengan lebih hati-hati. Dengan penyamaran mungkin?"
"Aku bisa melaporkanmu pada polisi. Kau bisa masuk penjara dan urusan selesai." Harry berujar tak kalah santai dari Adam. Adam mengangkat satu alisnya. "Lakukan saja jika kau mau."
Harry menggeleng. "Tidak. Aku tak mau membuat Grandma semakin banyak pikiran. Dia sudah tua dan seharusnya aku memberikannya kenangan-kenangan indah sebelum dia menghadap Sang Pencipta." Adam memicingkan mata. "Kau mendoakan supaya Grandma mati, hah?!"
Harry mengangkat satu alisnya. "Tidak, sama sekali tidak." Harry kembali duduk tegak. "Aku sangat menyayangi Grandma dan aku ingin dia bahagia." Adam hanya diam. Matanya tajam menatap Harry.
Tangan Harry mengetuk-ketuk permukaan meja selama beberapa kali. Harry melipat tangan di atas meja sebelum berkata, "Jelaskan padaku, apa tujuanmu sejak awal terhadap keluargaku." Adam tampak terkejut mendengar pertanyaan itu namun, sesaat kemudian, senyuman miring muncul di bibirnya. "Sudah kuduga. Kau dan Taylor, kalian berdua sudah mengetahui semuanya. Makanya, kau meminta Taylor pergi ke Nashville, supaya dia tidak terlibat, kan?"
Seringai muncul di bibir Harry. "Ya. Kau benar. Silahkan duduk. Sepertinya, akan banyak yang harus kita bicarakan." Harry menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya. Adam memang masih berdiri di hadapan Harry yang duduk, sejak dia datang.
Adam menarik kursi itu dan duduk dengan tenang. Matanya masih tak terlepas dari Harry, begitupun Harry. "Jadi, kau bisa menjelaskan rencanamu untuk menghancurkan keluargaku."
Adam menggeleng. "Tidak banyak rencana. Aku hanya ingin mendapat kedudukan tinggi di Styles Enterprise, sama sepertimu. Sekarang, aku mendapatkannya." Adam tersenyum sinis. Harry mengangkat satu alisnya. "Lalu, kenapa kau masih berniat mencelakaiku?" tanya Harry.
Adam mengedikkan bahunya. "Aku tak tahu. Sepertinya, aku selalu punya insting untuk menyelakaimu sejak dulu. Aku hanya muak melihatmu. Mungkin, jika kau enyah dari dunia, hidupku jauh lebih baik dari sekarang. Aku akan menjadi pemimpin Styles...."
"Kau tidak berminat pada bisnis." Harry memotong dengan cepat. Adam terkekeh. "Itu dulu, sebelum aku tahu, keuntungan apa saja yang bisa kudapatkan dari bisnis. Aku bisa membeli apapun yang kuinginkan dan mungkin...aku bisa mendapatkan Taylor."
Mendengar itu, mata Harry kembali berkilat. Entah, rasanya Harry ingin sekali membunuh pemuda ini setiap kali dia mengucapkan nama Taylor dan impian bodohnya. Harusnya dia sadar, dia tak akan bisa meraih impian bodohnya terhadap Taylor tersebut.
"Kau sangat menyukai istriku, eh?" pancing Harry. Adam tersenyum. "Sejak melihatnya, aku memang tertarik padanya. Dia dan aku pasti akan menjadi pasangan terpanas."
"Dalam mimpimu, Adam Styles." timpal Harry yang dibalas Adam dengan dengusan.
"Aku sudah punya bukti semuanya. Semua yang sudah kau lakukan. Aku bisa saja melaporkan ke polisi tentang semua ini." Harry membuka lacinya dan mengeluarkan sebuah handycam dari sana. Harry menyalakan handycam itu. Adam membulatkan mata saat melihat video di handycam itu. Bukankah itu...Samuel?
Samuel menundukkan kepala di video itu. Dengan suara bergetar, dia berkata, "Ya, aku memperkosa Gemma. Aku mencampurkan obat tidur di minumannya dan setelah dia tertidur, aku bermain dengan tubuh tak sadarkan dirinya. Pada awalnya, aku tak ingin melakukan itu. Gemma...Gemma gadis yang sangat baik. Aku menyukainya. Aku menyayanginya. Tapi, di lain sisi, kau benar-benar butuh uang. Pria itu memberiku banyak uang setelah berhasil melakukan hal yang dia inginkan: menghancurkan Gemma. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku."
Harry mematikan handycamnya. Mata Adam membulat. "Ba-bagaimana kau..."
"Aku masih punya video pengakuan Emily. Sebelum aku memecatnya, aku memaksa dia berterus terang tentang segalanya. Ternyata, dia juga bekerja sama denganmu, kan?" Adam menundukkan kepala. Harry tersenyum puas.
"Kau menghancurkan hidup kakakku, membuat sedih Ibuku, memberikan kenangan buruk kepada Grandma dan kau nyaris menghancurkan hubunganku dan Taylor. Sangat baik. Kau benar-benar seseorang yang terencana." Harry bertepuk tangan sambil tersenyum sinis.
Adam mengangkat kepalanya dan balas tersenyum sinis. "Aku tak menyangka kau bisa mengetahui semuanya. Tak salah memang kau jauh lebih cerdas daripada aku." Adam bangkit berdiri, Harry menatapnya penuh waspada, cemas jika Adam mau berbuat nekat di sini.
"Tapi, bisakah kau menunda memberikan video itu kepada polisi, karena kau harus bisa lolos terlebih dahulu dari permainan terakhir. Jadi, berhati-hatilah."
Senyuman devil muncul di bibir Adam sebelum melangkah ke luar. Meninggalkan Harry yang sudah naik pitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
No Control 2
FanfictionApapun akan Harry Styles lakukan untuk membuat Taylor Swift bertahan, di sisinya. The Second Book of No Control. Before you read this one, make sure you've already read No Control. Chapter 21 - 30, dan Bonus diprivat.