Arsan membuka gerbang rumah dan memasukkan mobilnya kedalam garasi, dia kemudian masuk kedalam rumah dengan tangan yang membawa makanan yang sebelumnya dia beli saat di perjalanan pulang.
Dengan senyum tulus dia memasuki rumah, menelusuri ruang tamu hingga ruang makan, menyiapkan makanan untuk mereka berdua.
Dia tidak melihat Rain, mungkin istrinya sedang di kamar beristirahat sampai dia mendengar seseorang yang muntah-muntah dari arah kamar mereka.
Arsan langsung mengetahui jika itu adalah Rain, dengan perasaan cemas dia segera menaiki tangga menuju kamar mereka berada.
Tepat saja, Rain sedang terduduk lemah di bawah wastafel, terduduk lemah dengan wajah pucat dan tangan kanan memegang perutnya sedangkan tangan kiri menjadi penopang.
Arsan mendekat, menyentuh bahu Rain yang bergetar lembut. Istrinya sedang menangis, bahkan kini suara isakan mulai terdengar lagi di sela-sela Rain yang kembali mual-mual.
Rain mulai berdiri dengan tubuh bergetar, dia kembali muntah namun kini Arsan membantu Rain menopang tubuhnya, memijat tengkuk Rain dengan lembut serta menahan rambut Rain yang terurai indah.
Rain terlalu lemah bahkan untuk sekedar mendorong Arsan menjauh dari dirinya. Bahkan Rain hanya dapat pasrah ketika Arsan menarik lembut tubuhnya untuk bersandar pada dada bidang lelaki itu.
Dari cermin lebar di depannya, Rain bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuh kecil dan lemahnya bersandar pada dada bidang milik Arsan yang kuat dan kokoh.
Rain juga melihat tangan Arsan yang kini mengambil minyak angin, mengoleskannya di tangan dan dengan lembut menghaluskannya di atas perut membuncit milik Rain.
Wanita itu tidak dapat menolak atau bahkan berteriak marah. Jika sebelumnya dia bahkan tidak ingi Arsan mendekatinya, tapi kali ini dia merasa nyaman ketika tangan besar Arsan mengelus perutnya dengan hangatnya minyak angin.
" Masih mual?" tanya Arsan pelan.
Rain yang beberapa waktu lalu memejamkan matanya perlahan mengangguk meski tidak yakin lalu mulai mengambil jarak dari Arsan.
Seketika tanpa di sadari keduanya merasakan kehilangan karena jarak itu, namun Rain tidak peduli. Dia memilih membasuh mukanya pelan dan mengikat rambutnya asal di hadapan Arsan.
Bertingkah seakan tidak ada Arsan dan seakan kejadian beberapa detik lalu tidak terjadi di antara mereka.
Arsan meneguk Seliva nya kasar, melihat wanita di hadapannya mengikat rambut dan memperlihatkan leher mulusnya membuat sesuatu dalam diri Arsan terganggu.
Sungguh, dia selalu tidak bisa mengendalikan diri setiap di samping Rain namun dia harus segera menenangkan dirinya. Ya, demi kebaikan bersama tentu saja.
"Kamu belum makan? Aku sudah membeli makanan untuk kita" ucap Arsan yang merupakan ajakan serta tawaran di saat yang bersamaan.
"Aku, tidak ingin" jawab Rain singkat dan hendak pergi namun Arsan menahan pergelangan tangannya.
"Meski tidak ingin, tapi kamu membutuhkannya" ucap Arsan lembut.
"Jang sok perhatian!" Rain melepaskan tangan Arsan di tangannya lalu benar-benar pergi menuju ranjang dan tertidur si atasnya.
Mendapatkan penolakan ini tidak membuat Arsan menyerah, dia justru memilih mengambil makanan dan memaksa Rain untuk makan meski dengan sedikit paksaan dan amukan dari Rain.
Salah satu hal yang membuat Rain sedikit lunak pada akhirnya adalah kata keluar dari rumah yang Arsan janjikan.
Arsan berjanji untuk mengajaknya keluar rumah jika Rain mau makan setidaknya lima suapan dari lelaki itu, akhirnya Rain yang sudah jenuh di rumah menyetujuinya dengan terpaksa.
***
Di sinilah sekarang mereka berada, di mall tempat yang Arsan pilih untuk membeli segala yang mungkin mereka butuhkan.
"Kamu bebas membeli apa saja, " ucap Arsan namun tak ada tanggapan dari Rain.
Wanita itu berjalan lebih dulu dan meninggalkan Arsan yang kini di belakangnya mengikuti dengan tanpa memprotes sedikitpun.
"Kamu mau beli baju?" tanya Arsan.
Rain hanya diam terlihat sangat enggan untuk menjawab, dia lebih memilih untuk terus memilih pakaian yang sekiranya akan nyaman di kenakan saat perutnya mulai membesar.
Rain memilih beberapa pakaian dan akhirnya berjalan ketempat bagian-bagian kecil lainnya.
Seketika Rain berhenti dan menatap tajam Arsan yang malah kebingungan dengan tingkah Rain.
"Kenapa? Aku akan membelikan semuanya, aku akan mengikuti-"
"Jangan mengikuti ku!" ucap Rain penuh penekanan.
Arsan menatap heran dan melihat tujuan Rain yang sesungguhnya. Tempat pakaian dalam, seketika itu dia tersenyum jahil dan mendahului Rain, melihat berbagai jenis yang menurutnya cukup menarik.
Meski Arsan sebenarnya malu namun dia bertingkah seolah itu hal biasa saja.
"Ini cocok untukmu" Arsan menunjuk sepasang benda di patung yang membuat Rain memelototinya tajam lalu pergi meninggalkan Arsan yang tertawa kecil melihat sikap Rain.
" Lebih cantik kamu saat malu daripada saat kamu terpuruk, " ucap Arsan pelan.
Kebersamaan mereka memang belum terlalu lama sebagai suami dan istri, namun seiring berjalannya waktu, Rain mulai kembali hidup. Kini wanita hamil itu sudah lebih banyak mengeluarkan suara serta ekspresi tidak seperti beberapa waktu lalu yang hanya tersisa tatapan suram dan berteman dengan diam.
Arsan langsung berjalan menuju kasir, lebih baik dia menunggu Rain untuk memilih pakaiannya sendiri daripada istrinya itu merasa tidak nyaman.
Setidaknya dia bisa melihat ekspresi lain dari Rain, itu sudah cukup untuk kali ini.
Rain membawa beberapa pakaian yang dia inginkan, Arsan bukannya tidak ingin membantu Rain membawa pakaiannya tapi istrinya yang tidak ingin dan akan memilih pakaian lain jika Arsan menyentuh pakaian yang sudah di pilih oleh Rain, kelewatan memang.
Ya, tidak terlalu banyak perubahan, nyatanya Rain masih tidak bisa menerima kehadiran Arsan. Bahkan kini di kasir pun, Rain tidak menatap Arsan dan membayar dengan uangnya sendiri.
"Biar aku yang membayarnya, Ra" Arsan menyerahkan kartu pada pegawai namun dengan cepat Rain menepisnya membuat kartu itu jatuh di dekat kaki Arsan.
"Ra..."
"Kita tidak sedekat itu," ucap Rain ketus mengoreksi cara Arsan memanggil namanya yang terdengar begitu akrab.
"Kita dekat, Ra. Lebih dekat dari orang lain bahkan kita su-"
"Diam" Rain menatap tajam dan tidak mempedulikan raut wajah Arsan yang mulai sayu.
Nyatanya Rain memang tidak bisa menerima kehadirannya. Tidak, Rain belum bisa bukan tidak bisa. Lagian mereka baru menikah tidak lama ini bukan, mereka baru menikah beberapa hari jadi Arsan memiliki banyak waktu untuk membuat Rain menerimanya dan memiliki banyak waktu untuk Rain kembali seperti dulu yang hidup dan baik.
Arsan tidak boleh menyerah, Rain itu mudah luluh seperti yang di katakan Thalia dan beberapa teman wanita Rain padanya, buktinya tadi saja Rain berekspresi lain kan?
Arsan mungkin harus banyak mencari tau tentang Rain dari kakak dan sahabat wanita itu, dia harus melakukannya untuk kelangsungan hubungan mereka.
"Baiklah, tapi setelah ini apapun yang kita beli, harus menggunakan uangku," ucap Arsan lalu mengambil kartunya yang jatuh dan kartu milik Rain yang baru saja di gunakan untuk membayar belanjaan.
Harus ini yang Arsan lakukan, menahan milik Rain agar keseluruhannya dia yang membayarnya. Dan Rain tidak akan protes karena dia lelah untuk sekedar berdebat.
***
Padahal kalau Nola di posisi Rain, Nola mau di belanjain,😓
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake??
RandomKecelakaan yang membuat seorang perempuan hamil, apakah pertanggungjawaban perlu? "Aku tidak ingin hidup dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidupku." "Perlahan kamu akan menerima aku dan anak kita"