11. Sedikit kebahagiaan

39 4 0
                                    

"Kamu ingin tinggal berapa hari di rumah kak Thalia, Ra?"

Arsan tidak ingin hanya diam saja, dia akan terus mengajak Rain untuk berbicara meski istrinya ini selalu menjawab singkat.

"Ra.."

"Belum tau," jawab Rain yang kini bersandar menatap keluar jendela dengan tangan yang mengelus perutnya yang sedikit membuncit, semakin bertambah usia kandungan, semakin terasa juga perubahannya.

"Jangan terlalu lama, ya." pinta Arsan.

Lelaki itu sesekali menatap kearah Rain yang sedang menatap jalanan.

Tangan kirinya bergerak mengelus perut Rain membuat wanita itu tersentak dan menatap Arsan dengan tatapan tajam.

"Aku hanya merindukan bayi kita, Ra. Tidak boleh kah?" tanya Arsan pelan.

"Tapi ini perutku!!" ucap Rain tidak terima.

" Tapi kamu istriku, milikku" ucap Arsan yang membuat Rain terdiam, enggan membantah fakta jika mereka memang sudah terikat dan Arsan berhak adas dirinya.

"Jika boleh, aku akan-"

"lanjutkan perkataan yang jelek jika ingin seperti waktu itu" ucap Arsan membuat Rain bungkam.

"Ra, pernikahan itu bukan mainan, tolong terima status kita yang sekarang. Aku yakin kita bisa bersama menjalani kehidupan yang lebih baik"

Arsen menghela nafas pelan sebelum dia menepikan mobilnya dan keluar meninggalkan Rain yang termenung di tempatnya.

Bagi Rain, pernikahan memang bukan mainan, seperti apa yang Arsa katakan, tapi dia tidak menginginkan pernikahan, Rain tidak menginginkan memiliki anak di luar nikah dan dari lelaki yang sudah menghancurkan hidupnya.

Tapi meski begitu, Rain tidak ingin dirinya menikah lebih dari satu kali, dia memegang prinsip nikah satu kali seumur hidup dan nyatanya kini dia sudah menikah dengan Arsan, lantas bagaimana dengan prinsip hidupnya dan cita-cita Rain?

"Sungguh, haruskah aku menerima Arsan? Aku sudah banyak berdosa salah satunya hatiku. Tuhan, aku tidak ingin semakin banyak yang tersakiti" lirih Rain dengan putus asa.

Haruskah dia berusaha menerima dan menjalani pernikahan dengan lelaki yang tidak dia cintai atau menunggu lelaki yang dia cintainya?

"Sudah seperti ini, kamu yakin jika dia akan menerima semua keadaan kamu yang sekarang? Apa dia akan menerima anakmu? apa orang tuanya akan menerima kalian bersama?"

Sekelebat ingatan percakapannya dengan salah satu sahabatnya terngiang di kepalanya dan sangat mengganggu Rain, Akhirnya, bercerai ataupun tidak, Rain tetap tidak akan bisa menyentuh lelaki yang di cintainya.

"Kamu belum makan, Ra. Ini, saya yang masak tadi izin ke abangnya" Arsan menghancurkan kegelisahan Rain yang kini teralihkan pada sekotak nasi goreng yang terlihat menggugah selera.

"Makan yang tenang ya, perjalanan masih jauh" ucap Arsan lalu mulai menjalankan kembali mobil miliknya menuju tempat tujuan mereka.

Rain kini menatap nasi goreng di pangkuannya, dia memang lapar namun sangat enggan rasanya untuk mengunyah, dia menghela nafas pelan, menatap Arsan yang masih fokus berkendara.

Lelaki itu, Rain juga belum melihatnya makan, apa dia tidak kelaparan?

Rain menghalau pikirannya, bagaimana mungkin dia bisa mengkhawatirkan Arsan, ini pasti karena bayi di dalam kandungannya. Rain menyakini pikiran terakhirnya, mungkin bayi ini memang ingin dekat dengan Arsan, kan.

"Bayinya rewel" keluh Rain.

Arsan langsung menoleh dan mengelus perut  Rain yang sedikit mengembung dengan lembut namun kini dia masih fokus pada jalan di hadapannya.

Mistake??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang