Hari-hari di rasa begitu berat namun juga menyenangkan bagi Arsan, pekerjaan di kantor, kesibukan mengajar, dan kembali ke rumah menemui Rain dan kandungannya yang kini memasuki usia sepuluh minggu. Kandungan istrinya kini sudah lebih besar dan menonjol dengan tubuhnya juga ikut membesar.Ya, Arsan tentu berlebihan dengan itu namun dia sudah melihat banyak perubahan di fisik Rain setiap harinya, istri kecilnya itu, sangat menggemaskan.
Jangan mengatakan gendut untuk wanita hamil, itulah yang Arsan dapatkan dari sahabatnya yang kini sudah memiliki dua anak.
Menikah dengan Rain adalah sebuah hidup baru bagi Arsan, dan menjadi calon ayah di usia dua puluh tujuh tahun, adalah hal yang tidak bisa di bayangkan oleh Arsan.
Dari dulu, moto hidupnya adalah belajar dan bekerja hingga dia bisa meneruskan bisnis ayahnya dan menjadi dosen muda di tahun ini, dia memang belum lama menjadi dosen namun sangat menyukainya karena itu yang di inginkan oleh Arsan.
"Gimana pernikahan kalian?"
Pertanyaan itu sering Arsan dapatkan dari teman temannya atau orang-orang di sekitarnya. Seperti saat ini, dia sedang makan siang bersama tiga temannya yang sudah mengetahui awal mula pernikahannya bersama Rain.
"Baik" ucap Arsan dengan santai meneguk cappucino miliknya
Lelaki itu berdecak tidak puas dengan jawaban yang di berikan oleh Arsan. "Gue yakin kalau lo baik, tapi maksud gue, gimana Rain? Dia kan terpaksa nikah sama lo" ucap Gavin yang membuat Arsan menatapnya tajam.
"Kenapa khawatir sama istri gue" ucap Arsan tak suka dengan menekan kata istri di kalimatnya.
Gavin tertawa puas begitupun dua teman Arsan lainnya, Danial dan Kala.
"Udah gue bilang, dia sensitif soal istrinya, bro" ucap Danial menepuk bahu Gavin yang masih tertawa puas mengejek.
"Nanya doang, Ar. Gak usah cemburu, muka lo jelek kaya ta* " ucap Gavin puas melihat Arsan yang menatapnya tajam.
"Jadi, ngapain nanyain Rain, dia baik ko" ucap Arsan kembali biasa saja ketika membahas istrinya.
"Dia masih benci sama lo?" kali ini Kala yang bertanya.
Arsan menghela nafas pelan, dua minggu dia hidup bersama Rain, memang ada perubahan pada istrinya itu, tapi Arsan masih melihat dengan jelas kilatan marah, benci, dan takut pada netra indah istrinya setiap kali mereka bertatapan.
"Dia memang kelihatan masih benci sama gue" ucap Arsan pelan, terlihat sangat frustasi dengan helaan nafs berat dan putus asa.
Arsan rasa, Rain cukup sulit untuk di luluhkan. Padahal teman teman istrinya itu bilang jika Rain adalah orang yang paling mudah memaafkan dan di luluhkan tapi kenapa sangat sulit untuknya meraih Rain.
"Lo gak cape? Bahkan waktu lo lebih banyak untuk istri lo ketimbang kerja, ngajar, dan bahkan gak pernah lagi ngumpul sama kita? Lo gak cape, Ar?" tanya Gavin sungguh-sungguh.
"Gue gak capek, Rain begitu juga karena gue. Lo tau kan " ucap Arsan menghela nafas pelan.
Baru mereka yang bertanya apakah Arsan lelah atau tidak. Selama dua minggu ini dia selalu menyimpannya sendiri, kekecewaan atas penolakan Rain, sakit hati dengan sikap Dingin Rain, bahkan dia selalu berusaha membagi waktu agar lebih banyak bersama Rain.
Tapi, istrinya itu tidak berubah sedikitpun. Sebenarnya, apa dia tidak lelah? jawabannya tentu Arsan lelah, namun dia tidak ingin menyerah, tentu sampai dia mendapatkan alasan kuat untuk menyerah.
"Adek gue satu sekolah sama Rain, katanya isteri lo itu emang gak terlalu aktif di sekolah, tapi teman-temannya yang orang sibuk di sekolah membuat banyak orang juga mengenal Rain, katanya istri lo itu terlihat pendiem tapi dia juga ceria dan banyak tingkah kalau sama teman-teman sekelasnya." ucap Danial menceritakan apa yang dia dapatkan.
"Adek lo itu adik kelasnya Rain, ya? berarti sekarang dia sudah lulus sekolah dong?" tanya Kala penuh arti
"Diem lo nyet, jangan macam-macam sama adek gue!" ucap Danial penuh peringatan.
"Enggak ko, cuma satu macam, kakak ipar" ucap Kala cengengesan.
Danial menatapnya tajam untuk beberapa saat sebelum mereka kembali pada inti pembicaraan.
"Rain memang pendiam, tapi dia cukup ceria sebelum kami ketemu. Maka dari itu, gue memaklumi setiap tingkahnya sekarang" ucap Arsan pelan.
Mereka mengangguk maklum, meski di antara mereka tidak ada yang mengenal Rain seperti apa, tapi mereka berempati atas apa yang terjadi pada wanita itu.
" Pantas sih dia trauma dan marah, soalnya yang nikah sama dia kan Arsan Mahatma Al-habibi " ucap Kala tanpa alasan membuat mereka menatapnya bingung.
"Abaikan, lo udah ajak Rain cek kandungan lagi?" tanya Gavin penasaran.
Arsan tersenyum mengangguk, dia selalu senang ketika mengingat bayi mereka dan menemani Rain cek kandungan meski pada akhirnya dia harus menunggu di luar ruangan menunggu Rain serta Thalia di dalam ruang periksa.
Rain memang tidak mau dirinya ikut masuk, tapi setidaknya wanita itu mengizinkan Arsan untuk ikut dan memberikan Arsan hasil pemeriksaan seperti poto usg bayi mereka.
"Mereka baik-baik saja, tapi Rain masih di bilang stres. Gue gak tau, padahal gue sebisa mungkin gak memaksakan banyak hal yang membuat Rain stres. Gue juga sering nemenin Rain agar gak kesepian di rumah" jelas Arsan.
"Itu dia". jawab ketiganya kompak.
Arsan menatap satu persatu sahabatnya untuk bertanya, apa hal yang sebenarnya salah dari ceritanya.
"Dia stres karena di sekitar lo"
Tak
Bugh
Satu jitakan di dahi dan satu pukulan di bahu Kala dapatkan dari Gavin dan Danial yang menatapnya kesal.
"Gue pikir kita sepemikiran, ternyata lo bego!" ucap Danial kesal.
"Mungkin Rain bosan di rumah terus, ajak dia jalan jalan atau apa, kek. Istri gue juga gitu waktu hamil, sering ajak keluar rumah katanya bosen di rumah terus. Kalian butuh waktu berdua, quite time " nasihat Gavin yang sangat Arsan resapi dengan baik.
"Hubungan suami istri juga bisa meredakan stres, loh" ucap Danial menaik turunkan alisnya jahil.
"Ck. Gue gak kaya lo yang hiper" ucap Arsan kesal.
"Lo gak pernah hubungan itu sama Rain sejak nikah?" yok Danial begitupun kedua temannya.
"Enggak, lo tau kan gimana kami nikah" jawab Arsan santai meski dalam hati dia menggerutu tidak suka dengan jenis pertanyaan seperti ini.
"Lo kuat? Tinggal se atap dan tidur seranjang sama Rain? Lo kuat?"
Ketika di tanya seperti itu, Arsan ingin menjawab dia tidak kuat. Sungguh dia adalah lelaki normal yang mudah terpancing oleh godaan istrinya sendiri. Rain hanya diam tak pernah menggoda dirinya tapi dengan melihat Rain saja dia sudah tergoda.
Memang ya, yang halal itu sulit di tolak namun Arsan selalu berusaha mengendalikan dirinya, seperti saat ini, dia melihat Rain yang berkeringat di depan kompor, memasak untuk makan malam mereka.
Meski Rain cukup cuek, namun dia tidak pernah membiarkan Arsan untuk kelaparan, ya dia bersyukur karena Rain mengizinkannya memakan masakan istrinya itu yang meski baru belajar masak namun bagi Arsan masakan Rain adalah masakan yang sangat lezat di mulutnya.
"Ra, istirahat saja. Kamu terlihat sangat lelah," ucap Arsan mendekati Rain yang masih bergeming di tempatnya.
"Ra, kamu sudah lelah di rumah" ucap Arsan lagi.
Rain kini menatap lelaki itu dengan tatapan berbeda, matanya sedikit memerah dengan hidung yang juga sedikit memerah.
Istrinya menangis.
Itulah yang Arsan tangkap dari keadaan Rain saat ini.
"Kenapa?" tanya Arsan pelan dengan tangan yang siap mengelus rambut Rain.
Wanita itu menggeser hingga tangan Arsan melayang di udara tidak bisa menyentuh rambutnya sedikitpun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake??
DiversosKecelakaan yang membuat seorang perempuan hamil, apakah pertanggungjawaban perlu? "Aku tidak ingin hidup dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidupku." "Perlahan kamu akan menerima aku dan anak kita"