"Kalau sudah makan, kamu pulang" ucap Arsan membuat Zila menatapnya dengan sengit.
"Abang gak berhak usir aku, kak Rain udah izinin untuk menginap ko" jawab Zila enteng.
Arsan menghela nafas berat lalu menatap Rain yang acuh pada dirinya dan masih makan dengan tenang.
Melihat Rain yang sudah biasa saja dam bisa makan sendirian membuat Arsan sungguh merasakan kehilangan dan semakin merasakan jarak di antara mereka berdua.
"Ra...," panggil Arsan pelan.
Rain mendongak menatap Arsan dan Zila bergantian, dia tau Arsan tidak akan menerima Zila dan Zila yang akan tetap memaksa menginap. Jika di minta untuk memilih membela salah satunya tentu Rain sudah jelas akan memilih siapa.
"Aku dan Zila akan tidur bersama" hanya dengan kata-kata itu saja sudah menjadi jawaban yang jelas untuk keduanya.
"Abang bisa tidur di ruang kerja abang, aku tau dari kak Rain kalau di sini cuma ada satu kamar" ucap Zila santai membuat Arsan mendengus kesal pada adiknya itu.
"Hanya malam ini. Ingat itu" ucap Arsan lalu pergi dengan rasa kesal meninggalkan dua perempuan yang abai di meja makan.
"Kak Rain kok mau sih nikah sama bang Arsan? Bang Arsan itu nyebelin loh, kak. Jarang ngomong, cuek, dan lihat aja tadi, galak." Zila mencibir Arsan yang pergi.
Gadis remaja itu sibuk mengoceh menceritakan hubungan keduanya yang seperti tikus dan kucing yang tiada hari tanpa pertengkaran.
Sedangkan Rain hanya diam mendengarkan sesekali menyahuti dengan rasa tidak percaya. Semua yang di bicarakan oleh Zila sangat bertolak belakang karena Rain sudah merasakan bagaimana sikap baik dan perhatian Arsan kepada dirinya.
"Harusnya..., abang kamu yang di tanya seperti itu, Zil" balas Rain.
Wanita hamil itu tertawa pelan sembari mengelus perut buncitnya sedangkan dalam hati dan pikirannya terus berkecamuk banyak hal yang mengganggu hidupnya.
"Hemm, abang ganteng sih, banyak duit juga." Pikir Zila sembari menatap lurus kursi bekas Arsan duduk.
"Tapi dia gak cocok jadi pasangan, kak. Hais, dia lelaki menyebalkan yang ada di dunia" gerutu Zila di tempatnya.
Rain membiarkan Zila dengan segala kekesalan gadis itu, jika di tanya kembali mengapa dia mau menikah dengan Arsan, jawabannya sangat jelas.
Dia tidak pernah mau menikah dengan Arsan, Rain tidak mau membawa orang lain masuk kedalam hidupnya yang berantakan. Rain tidak mau membawa orang lain ke dalam hidup dan diri Rain yang sesungguhnya, itu akan menyakitkan siapapun itu.
"Kak, rumah ini harusnya ada tiga kamar deh" Zila menatap sekeliling, semua sisi rumah kakak dan kakak iparnya yang sederhana dan nyaman untuk Zila.
"Harusnya, tapi Arsan membuat dua ruangan itu tidak bisa di gunakan sebagai kamar" ucap Rain dengan santai namun cukup membuat Zila memutar bola matanya kesal.
Seharusnya Zila sudah bisa menebak siapa yang membuat rumah ini memiliki stu kamar. Tapi, kehadirannya di sini akan membuat Arsan kesal dan memberikan satu ruangan untuk dirinya tinggal.
Zila tau apa yang harus dia lakukan.
"Kak, aku tinggal di sini, ya" Zila meminta izin pada Rain yang kini sedang mencuci piring.
Meminta izin pada Arsan seperti mengharapkan air di padang pasir, tapi pada Rain sangatlah mudah karena kakak iparnya ini sangat pengertian.
"Tinggal lah, aku tidak akan melarang. Ini rumah abang kamu" ucap Rain dengan senyum lembut.
Zila tersenyum puas dan bersandar dengan nyaman di kursi meja makan. Libur sekolah akan di mulai dari besok dan itu semakin membuat Zila bersemangat.
"Kak, tapi meski bang Arsan menyebalkan, dia itu lelaki yang bertanggung jawab loh" ucap Zila sembari memainkan gelang di tangannya.
"....Aku tau" jawab Rain pelan.
"Meskipun dia menyebalkan, jangan tinggalkan dia ya, kak. Zila hanya kasihan kalau bang Arsan terluka" ucap gadis remaja itu pelan.
Rain tersenyum lembut bukan karena perkataan Zila yang memintanya untuk tidak meninggalkan Arsan tapi karena perhatian gadis itu yang menyayangi abangnya meski mereka terlihat tidak akur satu sama lain.
"Aku tidak akan bisa meninggalkan dia, Zil. Jikapun berpisah, itu adalah keputusan Arsan" jawab Rain yang membuat Zila sedikit merasa tenang untuk kakak lelakinya itu.
Zila memang tidak terlalu mengerti permasalahan antara Rain dan Arsan, namun dia ingin pernikahan Arsan dan Rain berjalan dengan bahagia dan tanpa batas.
"Kak, kapan kakak cek kandungan? Zila ikut ya" tanya gadis itu penuh harap kini menatap Rain dengan tatapan berbinar.
"Besok" jawab Rain kaku.
Sebenarnya dia enggan memeriksa kandungannya yang kini sudah berusia delapan belas minggu, dia takut dan gelisah setiap melihat janinnya dan mendengarkan detak jantungnya yang seakan ingin hidup bersama Rain.
Membayangkannya membuat Rain selalu ingin menangis karena dia tau dia tidak akan jadi ibu yang baik, bayi itu mungkin menginginkan hidup tapi jika memiliki ibu sepertinya apakah akan menjamin jika dia akan terus menginginkan hidup?
"Ibu pernah hamil lagi loh, kak" ucap Zila kembali memecah keheningan sesaat di antara mereka.
Rain menyelesaikan pekerjaannya dan bersandar menatap Zila yang menghela nafas pelan. Zila sepertinya tidak suka kesunyian dan itu cukup menghibur untuk Rain yang mulai merasa sepi.
"Waktu itu Zila senang banget mau punya adik. Ya, tapi gak jadi karena keguguran dan ibu gak bisa hamil lagi. Zila sedih kak, jadi waktu tau Zila bakalan punya keponakan, Zila senang banget"
Rain menatap binar bahagia Zila saat menatap perut buncit miliknya. Entah mengapa mendengar cerita ibu mertuanya dari Zila membuat perasaannya kacau tidak menentu.
Memiliki anak pasti merupakan keinginan semua perempuan dan kehilangan anak juga pasti sangat menyakitkan serta tidak bisa memiliki anak lagi, itu bisa membuat perempuan kecewa pada diri sendiri. Lantas bagaimana perasaannya ketika kini dia akan punya anak? Rain tidak bisa menjawab apakah dia sudah menyayangi janinnya atau masih membenci kehadirannya. Semuanya nampak abu-abu bagi Rain.
"Kak, nanti Zila jadi orang pertama yang tau nama sama jenis kelaminnya ya, biar ibu dan ayah iru" ucap Zila meminta dengan seringai lebar.
Rain hanya tersenyum tipis dengan tangan mengelus perutnya yang buncit. Perasaanya sedikit tenang ketika memikirkan Zila yang akan menyayangi bayi di perutnya ini.
'Kamu begitu di cintai banyak orang, ketika kamu lahir nanti kamu akan mendapatkan banyak cinta dan kasih sayang meski tanpa aku' gumam Rain dalam hatinya.
"Sepertinya Arsan tidak akan melakukan itu" ucap Rain menggoda adik iparnya.
Benar saja, Zila langsung merengek tidak terima bahkan ketika mereka sudah menaiki tangga dan memasuki kamar Rain dan Arsan.
"Kakk" rengek Zila di sebelah Rain.
Keduanya memasuki pintu bersama namun kehadiran sosok lelaki membuat keduanya menatap malas lelaki itu.
"Kita bisa tidur bersama" ucap Arsan terlihat tenang dengan senyum lembut tanpa merasa bersalah sama sekali"
Zila memprotes namun akhirnya hanya bisa pasrah dengan keputusan lelaki keras kepala itu. Jadilah posisi Rain tidur di antara kedua kakak beradik itu.
"Ra, sebaiknya saya yang di tengah. Zila itu enggak bisa kalem kalau tidur" ucap Arsan.
Belum kering mulutnya ketika berbicara, kaki Zila sudah naik nyaris mengenai perut buncit Rain.
Rain terdiam kaget namun makin kaget ketika Arsan mengangkat tubuhnya sedikit menggeser sedangkan lelaki itu pindah menjadi di tengah.
"Tidur ya, Ra. Semoga besok saya masih bisa melihat wajah kamu terutama senyum kamu" bisik Arsan lalu memeluk Rain cukup erat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake??
RandomKecelakaan yang membuat seorang perempuan hamil, apakah pertanggungjawaban perlu? "Aku tidak ingin hidup dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidupku." "Perlahan kamu akan menerima aku dan anak kita"