"Ra, kalian ke sini?" Thalia menyambut kedatangan Rain dan Arsan dengan gembira.
Ibu dua anak itu terlihat habis berbelanja dengan beberapa tas belanjaan di tangannya.
"Rain merindukan kakak, katanya" ucap Arsan membuat Thalia tersenyum bahagia dan menatap Rain yang kini tertidur di dalam mobil.
"Rain masih seperti itu, ya. Selalu tidur di perjalanan dan susah di bangunkan" Thalia terkekeh kecil namun Arsan dapat melihat setetes air mata di ujung kakak iparnya itu.
"Sebenarnya, Rain tidak terlalu banyak berubah, dia masih Rain yang orang-orang kenal sejak dulu" ucap Arsan
"Rain pasti sangat merepotkan kamu, Arsan. Jika kamu kelelahan, dia bisa tinggal di sini saja"
Thalia menatap adik iparnya dengan iba, menjadi suami bagi Rain yang cuek dan membencinya bukan hal yang mudah. Membayangkannya saja membuatnya kasihan terlebih Thalia bisa melihat raut lelah di wajah Arsan.
"Tidak repot, kak. Rain sangat baik dan penurut. Hubungan kami sedikit lebih baik dari yang terlihat" ucap Arsan tentu semuanya kebohongan.
Hubungan mereka tidak baik, bahkan sangat buruk jika orang lain yang menilai hubungan mereka, tapi bagi Arsan, hubungan mereka mulai membaik.
"Istirahatlah, kalian pasti lelah"
Rain terbangun dan mendapati dirinya masih di dalam mobil sedangkan Arsan dan Thalia terlihat sedang mengobrol di luar.
Rain segera turun dari mobil menghampiri keduanya. Rain ingin istirahat di kamar yang dulu dia tempati di rumah Thalia.
"Rain boleh tidur di rumah kakak, kan?" tanya Rain setelah menyalami kakaknya.
Thalia tersenyum lalu mengangguk " Tentu, itu kamar kamu, Ra" ucap Thalia lembut.
"Rain ke dalam" ucap Rain lalu masuk mengabaikan dua orang yang masih berdiri di depan rumah.
Keduanya menatap maklum, baik Thalia maupun Arsan, mereka tau jika Rain belum sepenuhnya bisa memaafkan mereka, belum berdamai dengan keadaan dan belum bisa menerima jika kini dia bukan lagi Rain yang dulu.
" Arsan, maaf. Rain tidak seperti itu sebelumnya" lirih Thalia merasa bersalah pada suami adiknya ini.
" Tidak perlu minta maaf, kak. Ini semua bermula dari Arsan dan biarkan Arsan menerima akibatnya sembari memperbaiki keadaan kami" ucap Arsan yang memang tidak ingin menyalahkan siapapun terutama sikap Rain yang terlihat tidak sopan.
" Kakak tenang karena ternyata kamu lelaki yang baik, Arsan. Kakak selalu mencemaskan Rain karena dia anak gadis yang...., kamu tau sendiri bagaimana perangainya, bukan?"
Arsan mengangguk mengerti, tidak ada kakak yang tidak menyayangi adiknya, begitu juga Thalia yang sangat menyayangi Rain.
Kala itu, mungkin Thalia yang memaksa Rain untuk menikah dengan Arsan, mengabaikan perasaan adiknya yang masih tertekan dan belum menerima keadaannya yang sekarang, tapi Arsan tau alasan kakak iparnya ini berbuat seperti itu.
Thali, dia hanya tidak ingin Rain menjadi bahan pembicaraan, dia tidak ingin Rain dipandang sebelah mata oleh orang orang yang tidak mengetahui kejadian yang sebenarnya.
Arsan tau, mungkin terdengar egois namun Thalia tidak mau Rain menanggung semuanya sendiri, dia tidak mau Rain menggugurkan kandungannya karena itu dosa dan akan menyakiti Rain nantinya, dia juga tidak bisa membayangkan Rain membesarkan bayinya sendiri. Meski bisa saja Thalia merawat bayi adiknya namun dia tau Rain seperti apa.
" Kak, Arsan nemuin Rain dulu, ya" ucap Arsan lalu masuk kedalam rumah menyisakan Thalia yang masih enggan beranjak.
Wanita dewasa itu menghela nafas susah payah, mengingat adiknya selalu membuat Thalia tidak bisa berbuat apapun selain menangis.
Dalam hatinya, dia tidak mau Rain menikah dalam ketidak setujuan, dia tidak mau Rain hidup dengan orang yang dia benci. Bukan hanya Rain, Thalia sebenarnya tidak mau Rain hidup bersama lelaki yang sudah menghancurkan hidup Rain, namun ini pilihan yang harus di jalani. Rain dan Arsan harus menikah, hidup bersama membesarkan anak mereka.
" Maafin kakak, Ra. Jika saja kakak waktu itu menjemputmu, semuanya akan tetap seperti dulu."
Arsan memasuki kamar Rain dan bukannya mendapati Rain yang tidur, dia malah melihat Rain yang terbengong menatap cermin dengan tatapan kosong.
"Ra, kenapa gak tidur?" Arsan menatap Rain yang berdiri di depan cermin.
" Kamu..., pulang aja. Aku ingin di sini" ucap Rain pelan bahkan terdengar seperti bisikan bagi Arsan.
Lelaki itu menghela nafas pelan, mendekati Rain dan berdiri di belakang istinya itu. Keduanya menatap cermin, menatap perut Rain yang sedikit membuncit di kehamilannya yang masih berusia dua bulan.
Rain yang menggunakan daster lengan pendek dan bentuk daster yang membentuk tubuh membuat perutnya terlihat lebih kembung lagi. Ya, ini bukan hanya karena buncit namun karena ada bayi di dalamnya.
"Aku di sini, Ra. "
"Kerja, kampus, itu prioritas kamu, Arsan. Aku, adalah urusanku!" tegas Rain.
Kini tatapan keduanya beradu di cermin, hening beberapa saat hingga lengan kekar Arsan memeluk bahu dan perut Rain. Lengan lelaki itu mengelus perut Rain sedangkan tatapan keduanya masih beradu di cermin.
"Kamu dan bayi kita, itu prioritas saya, Ra" ucap Arsan dengan suara rendah berbisik di telinga Rain.
"Tidak bisakah kau membiarkanku tenang? Aku hanya ingin tanpamu, Arsan!" suara Rain bergetar namun Arsan bahkan tidak berkutik.
Lelaki itu mengecup dahi Rain dan menggendongnya keatas ranjang istrinya itu.
"Aku akan melakukan apapun yang aku inginkan, Ra. Salah satunya membuatmu tetap di sampingku"
"Aku benar-benar membencimu. Arsan." Rain menggeram marah namun Arsan tidak merespons apapun selama beberapa detik, dia fokus pada hal yang dia ingin lakukan.
" Bencilah aku, Ra. Jika itu membuatmu tetap di sampingku"
***
Arsan fokus pada laptop di pangkuannya, dia duduk bersandar di atas ranjang sedangkan Rain masih tertidur meringkuk memunggungi Arsan sejak beberapa jam lalu. Wanita hamil itu terdiam, dia tidak tidur bahkan matanya sembab karena menangis. Tidak ada yang akan tau karena kamar ini kedap suara jadi meski Rain menangis menjerit itu tidak akan sampai kakaknya dengar.
Sedangkan Arsan sesekali menatap istrinya dengan perasaan tak tenang, meski dia mengatakan akan melakukan apapun yang dia inginkan, dia tetap merasa bersalah pada Rain. Segala hal tentang mereka selalu Arsan putuskan sendiri bahkan mengabaikan persetujuan dari Rain.
Dia memang keterlaluan namun entahlah dia merasa hanya ini cara yang bisa dia lakukan untuk hubungan mereka lebih dekat dan mengikat Rain sepenuhnya.
Meski kenyataannya mereka sudah menikah, namun dia masih tetap khawatir suatu saat nanti Rain meninggalkan dirinya.
"Ra, kamu lapar tidak? mau di bawain buah?" tawar Arsan.
Lelaki itu mengelus kulit bahu Rain lembut namun Rain tidak merespon sedikitpun. Arsan mengerti, dia mengecup rambut Rain dan bangkit, mengenakan kaos santai miliknya lalu keluar dari kamar Rain berencana mengambil makanan untuk mereka berdua.
Sedangkan itu, selepas kepergian Arsan Rain langsung membuka selimut sampai tidak lagi menutupi wajahnya, matanya merah karena menangis. Dia mengelus dadanya yang serasa sedikit sesak karena terlalu lama menangis.
"Kamu memberiku kehidupan, namun aku menginginkan kematian, Awan, aku merindukanmu" Rain menangis tanpa suara, mengingat masa lalu memang menyakitkan namun apa boleh buat, semuanya sudah menjadi masa lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake??
RandomKecelakaan yang membuat seorang perempuan hamil, apakah pertanggungjawaban perlu? "Aku tidak ingin hidup dengan lelaki yang sudah menghancurkan hidupku." "Perlahan kamu akan menerima aku dan anak kita"