8. Pertengkaran

31 3 0
                                    

"Kenapa kamu hancurin hidup aku?"

Tangan Arsan membeku dengan tubuh menegang panik melihat Rain yang mulai menangis histeris di hadapannya.

"Ra, aku-"

"Kenapa hancurin hidup Aku? Kenapa harus aku yang kamu nodain kenapa?" suaranya serak bertabrakan dengan suara isakan wanita itu.

Rain mundur semakin menjaga jarak dari Arsan, dia berpegangan pada apapun di sekitarnya ketika tubuhnya hampir limbung.

Arsan menatapnya khawatir, namun dia takut Rain akan terluka ketika dia mendekat, Arsan hanya berdiri kaku di hadapan Rain yang kini bersandar di lemari pendingin.

"Kenapa hancurin mimpi aku? Aku gak mau nikah, aku gak mau hamil" jerit Rain yang mulai memukuli perutnya yang sedikit membuncit.

Arsan langsung mengambil langkah lebar, memeluk Rain mencoba menghalau pukulannya yang bisa menyakiti Rain dan bayi mereka.

Bukan hal biasa Rain seperti ini, Arsan yakin Rain mengalami hal buruk atau kembali mimpi buruk hingga dia melakukan hal seperti ini.

"Jangan di pukul, nanti perutnya sakit" bisik Arsan dengan satu tangan mengelus lembut perut buncit Rain.

"Kenapa aku? Kenapa aku yang mengalami ini? Aku gak mau, aku gak bisa jadi istri, a-aku gak bisa jadi ibu, aku gak akan bisa" Rain mulai lemah, tubuhnya tak lagi bertenaga namun Arsan kini menahan tubuh Rain yang hampir luruh ke lantai .

Lelaki itu mengelus perut serta punggung Rain untuk menenangkan istrinya itu. Arsan tidak tau hal apa yang di alami Rain hari ini, dia akan mencari tau nanti ketika Rain sudah lebih baik.

"Aku gak bisa, tolong keluarin bayi ini, aku gak bisa, Arsan." Pinta Rain putus asa dengan wajah yang sudah basah karena air mata.

Arsan menggeleng, dia mengelus pipi Rain lembut, membingkai wajah frustasi istrinya dan menatap dengan penuh keyakinan.

"Dia ingin hidup, Ra. Dia ingin bertemu dengan kita ketika waktunya telah tiba. Tolong terima dia, tolong biarkan dia hidup bersamamu, menyatu dalam dirimu untuk beberapa waktu lagi, Ra. Tolong, bayi kita menginginkan itu" ucap Arsan meyakinkan Rain.

"Tapi, aku gak bisa. Dia akan menderita dengan ibu sepertiku, aku tidak akan lupa jika kehadirannya yang sudah menghancurkan mimpiku" Rain menggeleng kuat, dia ingin mendorong Arsan untuk menjauh namun lelaki itu memilih memeluk Rain erat namun tak menyakiti.

Arsan membenamkan wajah Rain di dadanya, mengelus punggung istrinya itu hingga mulai tenang.

Rain tertidur. Istrinya memang selalu tertidur setelah menangis dengan hebat.

Arsan menggendong Rain, membawanya ke kamar mereka dan merebahkannya di tempat tidur.

"Sulit, Ra. Tapi aku tidak akan mengizinkanmu untuk menyerah atau menyakiti kalian" ucap Arsan sembari mengelus rambut Rain penuh kasih sayang.

***

"Rain kenapa, Arsan? Dia pukul perutnya lagi?"

Arsan mengangguk pelan sembari membereskan makanan yang di bawakan oleh ibunya dari rumah.

"Kamu itu gimana sih jadi suami? Sudah ibu bilang, Rain itu pasti tertekan dengan keadaannya, Arsan. Jadi kamu harus lebih banyak memperhatikannya lagi"

"Iya, bu. Arsan mengerti" ucap Arsan seadanya.

"Kamu ini terlalu cuek, apa kamu seperti ini juga pada Rain?" tanya ibu Arsan menelisik.

Arsan menggeleng pelan, mana mungkin dia bersikap dingin pada istrinya sendiri. Yang ada di antara keduanya hanya akan ada kesunyian jika sama-sama diam.

"Bu, ketika ibu hamil, apa ibu sering ngidam?" tanya Arsan penasaran.

Ibunya Arsan terdiam sejenak, menatap putranya dengan lembut lalu mengelus bahunya pelan.

"Waktu ibu mengandung kamu, ibu gak pernah ngidam apapun. Kamu sangat baik ketika berada di kandungan ibu" ucapnya pelan.

Arsan terdiam memahami, ternyata memang tidak semua yang mengandung selalu mengidam banyak hal bahkan hal-hal aneh.
Arsan sempat bingung dan bahkan mengira jika Rain memendam keinginannya karena istrinya itu tidak pernah meminta pada Arsan.

"Apa Rain mengidam?" tanya ibu Arsan penasaran.

"Tidak, Rain tidak pernah meminta apapun pada Arsan" ucap Arsan cepat.

"Tidak apa, mungkin belum, ibu pulang dulu, ya" ucap nya bersiap-siap untuk pergi.

"Kenapa gak nginap? ini sudah malam, bu" tawar Arsan.

"Adikmu buat masalah, tau kan? Lagian taksinya sudah di depan"

Arsan tak bisa menahan ibunya untuk tinggal, lagipula tidak ada kamar lain dan Arsan tidak mau harus tidur di ruang tamu atau ruang tv, dia tidak mau jauh dari Rain karena hanya waktu tidurlah dimana Rain tidak akan mendorongnya menjauh.

"Aku dengar suara ibu"

Arsan langsung berbalik mendapati Rain yang kini turun dari tangga menghampirinya dengan mata bengkak sehabis menangis.

"Iya, tapi sudah pulang" ucap Arsan sembari menarik kursi mengarahkan Rain untuk duduk di kursi yang dia siapkan.

"Kenapa? Bahkan gak ketemu aku?" tanya Rain dengan dahi yang berkerut.

"Zila buat ulah lagi, udah gak usah di pikirin, kamu makan ya" ucap Arsan laku menyuapi Rain perlahan.

Selain waktu tidur, Arsan juga sangat menyukai waktu ketika mereka makan. Rain selalu bisa makan dari suapan tangannya dan itu membuat Arsan merasa senang. Dia senang karena itu adalah masa-masa dimana mereka memiliki jarak yang cukup dekat.

"Soal ucapanku yang tadi, aku serius" ucap Rain pelan sembari meneguk air putih miliknya.

Arsan terdiam dengan tangan yang memegang sendok dengan kuat. Dia tidak mau mendengar apa yang di katakan Rain selanjutnya.

"Aku gak mau hamil. Aku gak bisa nerima kenyataan ini. Aku gak bisa nerima hal yang selalu aku hindarin"

"Apa alasannya?"

"....?"

"Apa alasan yang bisa aku terima. Berikan alasan kuat hingga kamu bahkan gak bisa nerima anak kamu sendiri, Rain" Arsan menatap Rain tajam.

Dia selalu bisa menahan diri namun Rain terlalu keras kepala hingga tidak bisa menerima anak mereka sendiri.

"Aku gak bisa dan gak siap untuk itu. Terlebih kamu yang memperkosaku, ini bukan keinginan aku" ucap Rain masih kekeh dengan pendiriannya.

"Kamu menyesal?" tanya Arsan geram.

"Iya, aku menyesal. Dari awal aku menyesal pulang sendirian, aku menyesal telat minum obat itu, aku menyesal karena gagal menggugurkan anak ini dan aku menyesal diam ketika kamu menikahi ku. Aku menyesal atas semua hal yang terjadi!" Rain berteriak mengutarakan penyesalannya di hadapan Arsan. Mata wanita itu memerah kembali menatap Arsan yang kini menatapnya dengan tajan pula.

"Lalu apa sekarang? Kau sudah menikah denganku, Rain. Kau hanya perlu menerima itu dan menyayangi anak kita!" ucap Arsan tegas. Dia bangkit berdiri menarik tangan Rain pelan.

"Tidur, sudah malam jangan melindur" ucap Arsan yang berusaha menekan kekesalan dan amarah di hatinya.

"Aku gak mau, aku gak bisa. Aku ingin anak ini keluar dari rahimku, Arsan!!" tegas Rain yang malah membuat Arsan semakin tidak dapan menahan amarahnya.

"Diam jika tidak ingin menyesal, Rain" peringatan dari Arsan yang kini mulau tersulut emosinya sendiri.

Mistake??Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang