24-sedih

227 27 10
                                    

Upload lagihh soalnya author lagi bahagia, oshi author lolos woyyyyy! Semangatin bubub author ya! Kasih tau dia kalau dia keren banget? Ya kan? Ya kan? Bilang iya nggak?👊 Aarghhh author mau guling-guling dulu, upload lagi nanti juli wkwkwkwk

Langkah kaki Lukas bertempo begitu cepat, wajah yang kentara khawatir banyak sekali disaksikan ratusan pasang mata, air matanya beberapa kali menetes karena gagal ditahannya, bahkan detak jantungnya mulai berdebar tak karuan.

Tak ada waktu untuk mengatur nafasnya, Lukas langsung masuk ke dalam suatu ruangan. Pandangannya kosong ketika dirinya menatap Shani yang menangis dalam pelukan mamanya dan semua orang pun menoleh ketika menyadari kedatangan Lukas.

Adik pertama Shani mendekatinya. "Sekarang giliran Lo, Lu. Tenangin Cici gue, lalui ini bareng-bareng" pintanya lalu keluar dan diikuti Arman.

Devita memberinya kode untuk menggantikan posisinya, tapi pikiran Lukas tak ada di ruangan ini. Butuh waktu untuk Lukas merespon ini semuanya. Dari belakang Ola kembali dan menepuk pundaknya. Kesadaran Lukas kembali.

Ia berjalan menghampiri Shani untuk menggantikan posisi mama Devita. Duduk di ranjang tempat Shani, memeluk Shani, membiarkan Shani menangis.

Pikiran Lukas sekarang terbawa membayangkan apa yang Shani alami, apa yang terjadi sampai harus seperti ini. Semua terus berputar dalam dugaan Lukas.

Flashback...

Setelah bertemu Daniel, Shani terus menguatkan dirinya ketika rasa sakit dengan begitu sangat kuat sedang menyiksanya. Bahkan seorang satpam perusahaan papanya pun sadar betul ada yang salah dengan dirinya dan Shani tetap masih bisa membohonginya.

Dengan berjalan sedikit tertatih-tatih, keringat mulai membasahi pelipis Shani akibat rasa sakit yang luar biasa. Berkali-kali Shani mulai menarik nafasnya, begitu dihembuskan bersamaan itu rasa sakitnya kian semakin menyiksa.

Begitu sampai di jalan ia mulai mencari taksi, bersamaan dengan adanya taksi dari kejauhan Shani merasakan ada yang aneh dengan pahanya. Dengan kondisi mata memburam akibat menahan rasa sakit, ia melihat ada cairan merah mengalir perlahan di sana. Dengan itu ia melewatkan taksi yang lewat.

Melihat darah segar mengalir membuat tubuh Shani bergetar hebat, ingin segera menghubungi Lukas tapi ia paham bahwa Lukas sedang ada meeting dan tak enak jika harus mengganggunya. Berujunglah ia menghubungi adik-adiknya, mungkin Ola dulu yang akan ia hubungi karena jadwalnya yang lebih fleksibel.

Panggilan pertama tak diangkat, baru dipanggilan kedua Ola mengangkatnya. "Halo, Cici ada apa?" suara Ola terdengar jelas menyapanya.

Shani tersenyum tipis. "Jemput Cici bisa, Dek di perusahaan papa?" tanyanya.

"Sekarang, Ci?"

"Iya, Dek"

"Oke, Cici aku otw dari apartemen Cici ya... Maaf nanti kalau lama, soalnya dilihat-lihat lagi macet parah"

"I-iya..." mulai tak bisa Shani menyembunyikan rasa sakitnya, buru-buru ia matikan panggilannya.

Melihat panggilannya sudah terputus, Ola mengernyit heran memandangi layar HP-nya. Seperti ada yang salah, pikirnya.

Tak berselang lama setelah mematikan panggilannya, di bawah teriknya matahari tubuh Shani ambruk dengan kondisi darah segar yang dilihatnya tadi masih terus keluar.

Melihat ada seorang perempuan jatuh, orang-orang terdekat langsung mendekati Shani. Ketika melihat ada darah, orang-orang yang dominan laki-laki itu langsung berinisiatif membawa Shani ke rumah sakit.

Begitu sampai di rumah sakit terdekat, Shani langsung dibawa ke ruang IGD. Bersamaan dengan itu seorang perawat menghampiri beberapa orang yang mengantar Shani,

The William Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang