"Kita adalah diksi rumpang pada barisan kalimat yang tak pernah rampung kemudian terbengkalai." ─ Freen to Rebecca.
....
Berisi catatan singkat masa lalu Freen Sarocha, dosen muda di salah satu universitas kota kembang.
"Aku merindukanmu, apakah benar kamu tidak merindukanku?"
"Apakah sebelumnya aku pernah mengatakan aku tidak merindukanmu? Aku merindukanmu, selalu..."
"Apakah kamu sedang bercanda seperti tadi?"
Aku memeluk Becca dari belakang. Perlahan, wanita itu meletakan cucian piring dan gelas yang sudah dibilas ke pinggir whastafel. Sebenarnya dia sedikit tersontak dengan perlakuanku yang tiba-tiba itu. Aku, wanita berwajah dingin yang pernah singgah dihatinya dulu lalu membiarkannya menghadapi segalanya sendiri, kini menyatakan kerinduan yang sangat kepadanya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beruntunglah aku. Selain cantik, Becca seorang wanita yang pemaaf. Melupakan apa yang pernah aku lakukan padanya bertahun-tahun silam. Dengan manja, aku meletakan kepala ke pundaknya, mencium wangi tubuh wanita itu kemudian mengecup pelan pundaknya.
"Ku pikir kamu sudah bahagia waktu itu..." ucap Becca memutar kepalanya ke samping, menatapku dengan tatapan sayu.
"Maafkan aku..." balasku pelan, "Aku harap kamu memaafkanku..." Imbuhku lagi.
"Kalau aku tidak memaafkanmu, untuk apa aku datang jauh-jauh dari Inggris?" Becca memiringkan kepala lagi, mengelus pelan rambutku.
"Terima kasih Becca..." Aku tersenyum lega, kemudian melonggarkan pelukan dan membalik tubuh Becca untuk menghadapku.
Aku menatap lekat wajah wanita itu, mengagumi wajah tersebut. Tanganku refleks mengusap lembut pipi wanita di depanku.
"Tidak perlu berkata seperti itu."
Aku semakin berani mendekatkan wajahku ke wajah Becca. Becca membisu, hanya matanya yang mengerjap bingung dengan apa yang akan dilakukanku selanjutnya.
Perlahan dan pasti, aku mendekatkan bibirnya ke bibir Becca. Setelah sebelumnya aku menatap lama bibir merah itu seperti menatap buah cerry yang ingin ku cicipi.
Kedua bibir kami pun bertemu. Aku menundukan kepalaku seiring dengan kecupan dari Becca. Matanya terpejam dan tangannya memegang lenganku.
Aku mendiamkan lama bibirku menempel pada bibir Becca. Becca mendongakan kepalanya, mempersilahkanku untuk menciumnya lebih. Merasa perlakuanku tidak mendapat penolakan, aku mulai berani mengecupi sudut bibir Becca berkali-kali membuat Becca memiringkan kepalanya. Menyambut senang kecupanku. Menikmati sentuhan bibirku yang mungkin dirindukannya. Kecupan itu perlahan menjadi sebuah ciuman, ada sedikit lumatan dariku. Mengunci bibir manis Becca lalu melumurinya dengan saliva. Ciuman sederhana namun penuh kerinduan yang menggebu. Dengan cepat aku menarik pinggang Becca dengan satu tangan dan tangan lain mengusap kepalanya. Memperdalam ciuman kami.
Namun, pagi itu ciuman diantara kami terjadi secara singkat, sampai Becca merasakan pipinya memanas. Becca melepas ciuman itu dengan pelan. Entah mengapa laju jantungnya tidak dapat berhenti berdebar.
"Aku takut Sun bangun..." Ucap Becca pelan memberi alasan dengan wajah menunduk, membuatku salah tingkah. Merasa canggung. Aku juga berusaha menyembunyikan pipi merahku. Aku segera berbalik badan membelakangi Becca, lalu buru-buru masuk ke kamarku untuk mandi, meninggalkan Becca yang tengah mengatur detak jantungnya sendiri.