Catatan kedua belas

426 60 5
                                    

Bandung, 2020.

"Apakah kamu tidak mau berkomitmen denganku? Um- maksudku, setelah kamu mengatakan hal tersebut kemarin... Apakah tidak bisa melangkah lebih jauh?"

Aku menghela nafas panjang. Pandanganku lurus ke depan menatap langit-langit kamarku. Sedari membuka mata dua jam lalu dari tidurku, aku hanya terbaring di tempat tidur tidak beranjak sedikitpun dari tempat tersebut. Pikiranku penuh kilas balik kejadian lalu.

...

"A...aaku tidak tahu..."

"Ya baiklah, kalau itu memang tidak bisa. Aku hargai keputusanmu."

"Tapi... Apakah kamu akan mencari yang lain?" Aku menatap wanita di depanku dengan khawatir.

"Tentu, memangnya kenapa?!"

"A-serius? A-aku..." Aku terbata, kalimatku menggantung begitu saja.

Wanita itu menatapku dengan tatapan kesal. Dia mengibas-ibaskan tangannya ke wajahnya sendiri.

"Oh ya tuhan.... Wanita ini ck!" Wanita itu mencibir kesal kearahku. "Ya, aku serius! Aku tidak mau hidup sepertimu. Kamu mau melajang bukan? Ya baik! Aku doakan kamu melajang seterusnya!"

Aku tersentak kaget mendengar ucapan bernada kesal bercampur marah dari wanita manis yang aku kenal tersebut.

...

"Aku rasa, kita jaga jarak saja untuk sementara waktu?"
Aku berdiri tegap menatap jendela ruang tengahku. Menelusuri tetesan air hujan yang memercikan airnya begitu saja. Wanita yang berdiri dibelakangku seperti mendapat serangan petir saat itu juga. Dia mengangkat wajahnya menatap punggungku.

"Kenapa begitu?" Tanya wanita tersebut dengan nada lirih.

"Karena lebih baik seperti itu."
"Aku terima jika kamu tidak mau berkomitmen denganku. Apa sekarang aku juga harus menerima kalau kita menjaga jarak? Kamu ingin aku menunggumu atau meninggalkanmu?"

Aku terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan tersebut.

"Tinggalkan aku." Jawabku kemudian, singkat jelas dan tanpa menoleh sedikitpun kebelakang. Dimana seorang wanita tengah merasakan matanya yang memanas, terluka karena ucapanku.

"Untuk kedua kalinya?" Tanya wanita tersebut menyakinkan kembali ucapanku.

"Ya." Jawabku singkat dan tegas.

"Baiklah... Aku tidak akan kembali."

"Ya aku mengerti." Aku sedikit menolehkan wajahku kebelakang "...maaf." Ucapku kemudian.

Wanita itu menarik nafas, mengepalkan tangannya yang bergetar "Kamu tidak perlu meminta maaf. Maaf untuk apa? Kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama sepertinya..." Katanya kemudian seraya tersenyum getir.

"Carilah yang lain jangan menungguku lagi..."

"Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku akan baik-baik saja. Aku sudah sering melalui ini."

...

Aku menarik bantal menutupi wajahku sejenak, lalu menyingkirkan bantal tersebut dari wajahku cepat-cepat, meraih ponselku. Aku berlama-lama menatap riwayat chat Line-ku dengan seseorang.

"Aku merindukanmu Rebecca..."

Dari hati ke otak yang tidak pernah sejalan. Mari mencari kepastian suatu perkara, dimana rasa itu berasal.

Bandung, 2020 oleh Freen Sarocha.

Diksi Rumpang (freenbecky)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang