Chapter 3

175 100 46
                                    

Attetion everyone!

I'ts Aul here, pemilik akun ini. Boleh dong di follow and vote jika suka, agar Aul makin semangat buat lanjutin ceritanya.

Boleh komen jika terdapat typo atau masalah lainnya dalam cerita.

⚠️ Karya ini adalah ide murni dari pikiran sendiri⚠️

*Don't copy or plagiat disini‼️

Hargain penulis dengan memberikan apresiasinya cukup dengan tekan tombol bintang 🙌🏻

For you, terima kasih sudah mampir lagi. Hope all enjoy it, and happy reading!

................................𓏲࣪◜𖤐................................

Istirahat, semua murid memakan bekalnya masing-masing. Kecuali diriku, aku tidak selera makan karena surat itu.

Aku terus memikirkannya, alay banget nggak, sih? Rasa penasaran ini membuatku spontan kenyang.

Aku mengeluarkan surat itu dari dalam tas, memasukkannya lagi ke dalam saku rok lalu aku segera pergi menjauh dari keramaian. Menuju toilet bagus juga kali, ya?

Toilet terlalu jauh dari sini, mending di bawah tangga saja. Baiklah, aku segera ke sana, turun melewati para cowok jamet yang nongkrong di pinggir tangga.

Aku tidak peduli, kulangkahi mereka satu-persatu. Walaupun sedikit gugup, tapi rasa kegugupan akan kalah dengan rasa penasaran. Sesampainya di bawah tangga, segera kukeluarkan surat itu dan membacanya. Singkat, terdapat namaku di atas. Lagi-lagi ada saja yang mengenal namaku, emangnya aku se-terkenal itu ya? Eak, pede banget ni orang.

Satu paragraf selesai kubaca, dan aku masih belum mengerti, kulanjutkan membaca hingga akhir.

Astaga!

Mataku melotot sekaligus dengan jantungku berdetak lebih kencang setelah membaca nama surat ini dari siapa. Arbas!


Pulang sekolah, rasa ini sangat ingin menghampirinya segera. Tetapi aku menekatkan diri untuk bersabar.

Aku menunggunya di simpang pemberhentian angkot mengambil penumpang. Panas terik menimpa wajah, jika semalam turun hujan, sekarang cuaca menjadi panas sekali, membakar kulit. Untungnya ada tempat untuk berteduh, berlindung dibalik bayangan atap, itu tidak terlalu buruk.

Angkot mulai berbaris ke pinggiran mencari penumpang. Satu dua mulai berteriak nama tujuan angkotnya.

"Dek, Stabat?" tawar seorang uwak-uwak yang kelihatan seperti supir angkot, dia tahu aku sering naik angkot Stabat. Uwak ini sudah langganan menepi diarea sini. Jika ada angkot Stabat lainnya, dia tidak memperbolehkan berhenti di sini karena ini lapak dia seorang. Namun aku menggeleng.

"Lagi nunggu teman, Wak."

"Aih, jangan panggil Uwak, panggil saja Pakde."

Nah kan, sudah kuduga akan begitu. Bukan cuman aku, melainkan semua orang harus memanggilnya 'Pakde'.

Mungkin kakak kelas sudah terbiasa dengan sifat uwak ini. Aku tau kenapa dia ingin dipanggil begitu, supaya awet muda katanya. "Nunggu di dalam angkot sini aja dek, di situ panas." lanjutnya lagi.

Wajahnya saja berkeringat di dalam angkot sana, mana mungkin aku naik angkot dengan jendela yang tertutup rapat. Lebih panas lagi di dalam sana dibandingkan di sini.

Another People Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang