Episode 3

554 30 1
                                    

YUDA POINT OF VIEW

Sudah tiga hari ini aku tidak ketemu Adit karena mungkin kami kelas 12 menjadikan kami sibuk dengan kegiatan masing-masing. Adit sempat ngabarin kalau dia lagi persiapan buat kerja. Padahal aku sering lihat dia di warung lewat jendela kelas sebelah karena kelasku yang paling pojok, sudah gelap kaya di gua.

Tetapi aku tidak mempermasalahkan itu, namanya juga Adit, bilangnya sibuk kalau jam 7 sampai 9 pagi. Selepas itu batang hidungnya sudah menguap asap dari rokoknya. Palingan juga dia lagi buat rencana untuk tawuran.

Waktu istirahat aku sempatkan untuk ke kelas sebelah. Alasanya karena aku mau lihat dia sekolah atau tidak. Untung saja di kelas sebelah yang sering aku kunjungi buat ngintipin anak SMK Proklamasi lagi nongkrong itu kelas temanku.

Bukan hanya teman, malahan dia adik kembaran sama anak SMK Proklamasi. Hanya saja tidak sejenis. Namanya Siska, dia baik, cantik juga. Siska udah berteman sama aku sejak kelas 10, hanya karena kami sering beda kelas saja. Namun tidak membuat persahabatanku denganya bubar begitu saja.

Seperti biasa, anak-anak perempuan sering ngintip sambil gosip di kelasnya Siska. Siapa lagi kalau bukan sasaranya laki-laki dari SMK Proklamasi. Namanya juga perempuan kalau ada laki-laki yang tampan dikit langsung jadi bahan gosipan.

“Tumben kesini, mau neraktir ya?” tanya Siska disaat aku sudah memasuki kelasnya. Bangku Siska memang di pojok deket jendela jadi aku bisa bebas untuk mengintip-ngintip anak Proklamasi.

“Bentar ya” Siska membuka jendela sehingga dengan jelas aku dapat lihat anak-anak Proklamasi yang lagi merokok.

“PARJO! NTAR NGGAK USAH NUNGGU GUE, GUE MAU KE RUMAH TEMEN!”

Sontak semua anak Proklamasi menatap ke arah dimana Siska dan aku berdiri.
“SIAP NYAI!” Parjo, kembaranya Siska. Padahal nama aslinya Panji terlihat sumringah mendapatkan kabar jika tidak harus menunggu kembaranya.

Aku masih menatap ke anak-anak Proklamasi. Sampai mataku melihat Adit lagi menghisap rokok, kemudian menatap ke atas. Tangan kirinya terangkat kemudian telapak tanganya terbuka seperti memberi salam. Kedua alisnya terangkat-angkat.

“GANTENG BANGET!”

“GILA! DIA NYAPA GUE TADI YA? DEGDEGAN BANGET”

“LAKI BANGET SUMPAH!”

Aku mendengar beberapa siswi menggosip Adit yang tadi melakukan hal yang menurutku konyol. Mereka berteriak kegirangan karena mendapat sapaan dari sang ketua geng anak-anak Proklamasi.

“Aneh ya mereka. Padahal si Kaplek natap ke sini tadi. Kenapa malah mereka yang girang.”

Aku hanya mengangguk saja, aku juga tidak tau dia lihat kemana, yang aku tau dia menatap ke atas ke kelas Siska.

Sejenak aku ngelirik-lirik jendela dan masih memperlihatkan anak-anak tadi. Aku menatap Adit yang tiba-tiba seperti orang sedang kegantengan. Dia kadang-kadang menyisir rambutnya kebelakang menggunakan tanganya atau memperlihatkan ototnya pada teman-temanya. Bajunya saja sudah kayak kekecilan gitu di badanya. Kenapa malah di pamer-pamerin.

“Yud, jangan bengong di sini. Males kalau lo kesurupan terus nyeret lo ke UKS.”

“Ngomongnya kok gitu.”

“Ya kan emang bener. Nggak boleh bengong kalau disini.”

Iya emang benar, di lantai dua ini memang sering terjadi hal-hal seperti kesurupan. Jadi memang sedikit menyeramkan.
Karena bel sudah berbunyi aku langsung pergi ke kelasku semula. Biasanya jika akan pelajaran aku sedikit bersemangat, tetapi sekarang tidak. Pikiranku terus menayangkan wajah Adit yang biasa-biasa aja.

Pelajaran sudah berlalu, saatnya semua murid kembali ke rumah masing-masing. Aku berjalan keluar gerbang bersama gerombolan anak-anak kelas. Aku sedikit melirik ke warung tempat tongkrongan SMK Proklamasi tetapi tidak ada siapapun. Tumben sekali sepi, syukurdeh tidak ada yang memalak.

Setelah sampai rumah aku langsung ganti baju dan turun ke bawah untuk makan. Ternyata tidak ada makanan, lalu aku putuskan untuk keluar karena hari sudah gelap aku sedikit mempercepat langkahku.
Sampai di depan warung nasi padang aku langsung memesan dua bungkus nasi. Kenapa dua? Karena untuk jaga-jaga saja jika aku kelaparan. Malam memang tempatnya orang-orang nongkrong, jadi banyak warung kaki lima buka di pinggir jalan. Ini memudahkanku supaya lebih aman.

Aku melewati alfamart tetapi bukan berarti aku ingin beli sesuatu disana. Di pinggir alfamart ada Siska, teman aku. Aku langsung menghampirinya.

“Sis, kok belum pulang?” tanyaku pada Siska.

“Nunggu Parjo jemput. Kenapa lama banget ini bocah.”

“Pakai Ojek aja daripada nunggu.”

“Lebih baik lo temenin gue jemput Parjo.”

Siska lebih dulu menyeretku. Kita berdua berjalan lawan arah dari rumahku. Padahal aku hanya menggunakan celana pendek sepaha dan hoodie berwarna biru tua. Hawa dingin menusuk ke bagian kakiku. Hingga dimana aku dan Siska sampai di depan rumah lumayan besar.

Siska masuk begitu aja kerumah tersebut, aku hanya mengikutinya dari belakang.
“PARJO MANA WOI!!” Siska teriak-teriak di dalam rumah tersebut.

Di dalam rumah itu berantakan, banyak bekas minuman kaleng dan bungkus makanan maupun rokok berserakan dimana-mana. Aku juga mencium bau alkohol yang menyengat.

“GUE NUNGGU LO 1 JAM LO MALAH MAIN DISINI! ANTER GUE PULANG CEPET!!” padahal jika dilihat dari luar Siska itu kayak orang polos, tetapi ternyata dia perempuan yang berani banget. Kalau sama aku tidak pernah teriak-teriak gitu, seringnya sama kembaranya. “APA LO LIAT-LIAT?! GUE POTONG BURUNG LO TAU RASA!!”

Aku melihat anak-anak SMK Proklamasi kayak pada ketakutan gitu. Baru kali ini aku lihat anak-anak itu punya rasa takut sama orang lain.

“Yud, ayok pulang.” Ajak Siska ketika lewat di depanku.

“Yuda biar gue yang nganterin.”

Aku dan Siska langsung menoleh ke arah orang yang baru saja berbicara. Ternyata orang itu Adit, kenapa dia cuma pakai celana training pendek. Aku sedikit malingin muka ketika harus melihat perut sixpacknya yang begitu menggoda.

“NGGAK! YUDA BARENG GUE, KALAU SAMA LO YANG ADA DIPERKOSA!”

“Bacot lo! Sana pulang, gue nggak bakal perkosa.” Adit menutup pintu rumah sehingga Siska dan Parjo berada diluar, meninggalkanku di dalam. Adit menatapku, matanya sedikit ada rasa kantuknya. Kayaknya dia mabuk, soalnya bau mulutnya yang menyengat alkohol.

“Ntar gue yang anterin, tapi setelah gue selesai main ps dulu. Bentaran doang ya?” entah kenapa aku mengangguk begitu saja. Kemudian aku duduk di sofa yang dimana mejanya sudah di isi dengan bungkus-bungkus makanan.

“Sorry rumah gue berantakan. Nih makanan buat nemenin lo. Kalau udah bosen nunggu tepuk aja bahu gue.” Adit memberikan satu sprite dan dua bungkus chitato besar kepadaku. Dia meninggalkan aku ke depan televisinya lagi, memainkan stick game dengan lincah menurutku karena aku tidak pernah bermain game.

---

Adit, Jogja, dan Dia Season 1 [Season 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang