🖤 23. Erlan, Sebuah Kesadaran.

40 11 5
                                    

[MENERJANG_BATAS]

ENJOYY

🖤🖤🖤

***

"Kamu kenapa?" tanya Erlan sembari menepuk bahu Johnny.

Bapak tiga anak itu duduk di samping putranya, memerhatikan raut wajah lelaki itu kemudian kembali bicara, "Gak bisanya kamu begini, ada masalah sama skripsi?"

"Gak ada, kok, semuanya lancar. Udah dapat acc juga dari kedua dosen."

Erlan mengangguk. "Alhamdulillah, kalau begitu. Langsung daftar sidang, jangan ditunda-tunda."

"Iya, Yah. Berkas udah siap semua, kok, tinggal daftar online. Dimas ngajaknya barengan, tapi masih ada yang belum beres," jelas Johnny santai.

Malam ini hawa terasa lebih hangat, tidak ada angin yang berembus sejak tadi. Memang beberapa hari hujan tidak turun, membuat derik hewan malam terdengar bersahutan.

Erlan kembali memerhatikan Johnny, pembicaraan mereka mendadak berhenti. Mereka sama-sama diam menikmati kesunyian.

Erlan tidak lagi memerhatikan putra sulungnya sejak Mahen dan Candra lahir. Dia menganggap Johnny sudah dewasa, percaya jika putranya bisa merawat, melindungi mau pun bertanggung jawab pada diri sendiri.


Namun, tiba-tiba Erlan sadar sesuatu. Jika sedewasa apa pun seorang anak, tetap ingin dilindungi juga mendapat perhatian dari orang tuanya. Meskipun perhatian tersebut tidak lagi setara sewaktu masih kecil.

"Tumben, sih, kamu gak ikut pencilak-an sama adik-adikmu," ungkap Erlan terkekeh.
(Banyak tingkah)

Johnny yang mendengar pun tertular, dia tertawa pelan sembari mengusap lengan kirinya. "Ecan marah besar, Yah. Sakit juga gigitannya tadi."

"Ya, kamu juga kenapa teriak, Candra jadi takut."

Nadira memang mewanti-wanti agar keluarga kecilnya tidak sampai mengeluarkan kata-kata bernada tinggi. Apalagi untuk anak kecil seperti Mahen dan Candra, hal itu bisa berpengaruh kepada pisikologis mereka yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Seperti halnya Candra, di sini dia mengartikan jika teriakan Johnny sebagai tanda bahwa kakaknya tidak lagi menyayangi dirinya.

"Kamu ada masalah sama pacarmu?"

Johnny terdiam. Mendengar pertanyaan Erlan, dia semakin takut untuk mengakui kesalahannya. Bukan sekarang waktunya? Bagaimana reaksi ayahnya jika tau dirinya sudah menghamili anak orang.

"Kamu jangan buat putri orang sakit hati, loh. Ingat bundamu," kata Erlan lagi.

"Kita baik-baik aja, kok, Ayah gak perlu khawatir, " jawab Johnny, dia berdeham sebentar kemudian menatap Erlan. "Semisal kalau Johnny menikah, boleh gak, Yah?"

Erlan cukup dibuat terkejut dengan keinginan putranya, dia membalas tatapan lelaki itu dengan raut penasaran. "Memangnya kamu udah siap?"

"Ya, siap aja-"

"Ayah!"

Jawaban Johnny terhenti, mereka sama-sama menoleh ke ambang pintu. Di sana ada Candra dengan wajah cemberut melambai agar Erlan mendekat.

"Belum tidur?" tanya Erlan. "Sini."

"Ayah yang sini, ayok tidul," sahut Candra.

"Tidur sama Abang mau gak?"

Candra melengos. "Gak mau, Abang gak sayang Ecan lagi!" sentaknya kemudian menarik lengan Erlan. "Ayok masuk, Ayah. Jangan dekat-dekat, Abang jadi monstel!"

"He, Abang bukan monster, ya, tapi zombi, hrawwww!"

Candra langsung berlari mendengar raungan Johnny, anak itu sampai lupa bahwa niatnya keluar untuk memanggil sang ayah.

Sementara Johnny terkekeh, dia menatap Erlan yang juga menatap ke arahnya.

"Kalau kamu siap lahir dan batin, Ayah setuju aja."

[MENERJANG_BATAS]

"Dek?" Javian memanggil Javier, kemudian membuka pintu kamar perlahan lalu mendekat.

Tampak gadis itu berbaring dengan selimut yang membungkus tubuhnya, tadi Mbak Nung sempat menghubungi mengatakan jika Javier sakit.

Javian tidak bisa langsung pulang karena sedang ada di Malang. Lebih tepatnya dia mendatangi Sadewa untuk membahas mengenai produk baru yang akan segera diproduksi.

Tidak lama kemudian, lelaki yang tampak masih gagah di umurnya ikut masuk. Berjalan mendekati ranjang putrinya dan duduk di sana.

"Nak," panggil Sadewa, mengusap kepala Javier dengan sayang.

Netra gadis itu mengerjap, dia memandang Sadewa kemudian Javian secara bergantian. Mendadak napasnya memburu ketika melihat ayahnya di rumah, jantungnya berdebar, kemudian tangisan pun akhirnya pecah.

"Papa!"

"Oalah, putri Papa," kata Sadewa. "Iso gering barang, dadakne."
(Bisa sakit juga ternyata)

Javian terkekeh mendengar gurauan sang ayah, sedangkan Javier malah mengencangkan tangisannya.

"Weslah, Jav. Kalau begini ceritanya, gimana Papa mau nikah lagi," kata Javian santai.

"Papa mau nikah lagi memangnya?"

Sadewa menghela napas, tersenyum kemudian balik bertanya, "Memangnya kamu mau, punya ibu lagi?"



[MENERJANG_BATAS]

Jangan lupa kasih bintang, makasih.
🖤

Menerjang BatasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang