Bukankah aku sangat baik hati?
Sepatu pantofel terdengar menggema didalam ruangan. Setiap langkahnya membuat semua orang merasakan nafas tercekat.
Keheningan tercipta karena para manusia enggan membuka suara. Lebih memilih menurunkan kepala dan membungkup hormat atas datangnya tuan mereka.
"Keith, Bawa barang ini kekamar." suara dingin menusuk tulang.
Pria bernama Keith mengambil barang tersebut kemudian berjalan mengambil langkah berbeda dengan sang atasan.
Sedang pria itu mengendurkan dasi yang seolah mencekik. Bibir tebal dan sexynya berdecak ketika mata tajam setajam elangnya melihat siluet seseorang yang memuakkan baginya.
Tangan kekarnya mengibas-ngibas mengkode agar tiga orang yang mengikutinya pergi. Membawa langkah lebarnya menuju sofa untuk mengistirahatkan punggungnya sejenak.
Menghela nafas pelan kemudian kembuka kancing atas kemeja hitam yang dia pakai untuk membalut dada bidangnya. Menyembunyikan eightpack menonjol memperlihatkan kebugaran tubuh siempu.
Manik kelamnya bergulir bersamaan decakan keluar dari bilah bibir. 'Seseorang' itu atau orang mengenalnya sebagai adik bungsu, tersenyum sumringah mendekatinya.
"Abang! Kapan abang pulang! Astaga, Aku rindu abang!" Pekik Yoana. Dia yang mulanya ingin mengambil air minum di buat kaget dengan kedatangan saudara sulungnya.
Mengambil langkah cepat dengan wajah sumringah. Merengtangkan tangan ingin memeluk pria yang merupakan abangnya. Putra pertama Albert, Aron Agler.
Aron mengangkat satu tangan, menghentikan langkah Yoana untuk mendekat. Aron menyenderkan kepala dan menutup wajah menggunakan tangan satunya.
"Jangan mengambil langkah lagi Yoana." suara serak disertai nada penuh ancaman. Aron, pria yang tidak suka mengatakan hal yang sama dua kali. Tidak peduli bagaimana ekpresi pihak lawan.
Yoana berdiri tegak agak jauh dari sofa tempat Aron duduk. Ucapan dingin Aron membetengi dirinya. Yoana harus menelan pil pahit ketika menerima penolakan secara tak langsung.
Kekecewaan kembali dia dapat. Yoana mengambil langkah mundur menjauh dari Aron. Kembali dengan tujuan utamanya, mengambil air.
Setiap kali melakukan pendekatan. Penolakan lah yang dia terima. Mengapa Semesta tidak adil untuk orang rapuh sepertinya. Yoana hanya ingin di perhatikan.
Air mata terus saja mengalir di manik abu-abunya. Manik dengan warna sama seperti ibunya Medya.
Menghapus kasar air mata, Yoana berjalan menuju dapur. Namun tak sengaja, dia melihat keberadaan kakak perempuannya. Senyum kembali terbit di wajah Yoana.
Saat akan membuka mulut untuk menyapa. Kania lebih dulu pergi meninggalkan kekecewaan Yoana yang semakin menggerogoti hati.
Lain halnya diruang santai, Sepeninggal Yoana, Keith muncul dan mendekati Aron. "Tuan."
"Katakan."
"Reinhard kembali berulah. Mereka mengepung markas di negara A dengan 3 bom yang siap meledak kapan saja. Mereka merasa tak terima karena kekalahan yang mereka dapat."
Aron tersenyum simpul. Ralat dia menyeringai. "Hubungi Mike. Dia memiliki tugas. Katakan juga pada Levi bahwa dia memiliki mainan baru."
Aron menatap tajam Keith dia pun berkata. "Pastikan tidak ada kegagalan. Karena jika itu terjadi, hukuman menantimu Keith."
Keith merinding samar, mengelus tengkuk yang terasa dingin dia tersenyum paksa dan mengangguk kemudian menjawab ucapan Aron.
Aron itu jarang bicara panjang lebar. Tepatnya, Aron berbicara panjang saat penting atau memerintah. Terkadang juga saat dia menyukai lawan bicaranya.
"Mike memiliki keterampilan yang baik. Saya pastikan jika dia dapat menghentikan bom yang akan meledak," ujar Keith yakin.
Aron berdehem untuk menyikapi.
"Saya pergi dulu tuan." Keith pamit undur diri. Karena dia harus mengurus sesuatu dengan markas di kota yang sekarang di tempati ini.
Aron acuh tak acuh, dia lebih fokus memejamkan mata. Membiarkan bulu mata lentik itu terlihat lebih jelas dan tebal ketika menyatu.
Aron merupakan sosok yang sempurna.
Telinga tajamnya kembali mendengar langkah seseorang. Dia juga tau siapa pemilik langkah itu. "Langkahmu sekarang terdengar berisik ya, Kania?" ujarnya tanpa membuka mata.
Kania hanya berdehem lalu duduk diseberang sana. Meminum kopi hitam yang dia buat sendiri. Menyilangkan kaki dan menyandar pada sandaran sofa.
"Apa ini? Apakah kau dan Milo berjanjian untuk pulang?" Kania memandang aneh kakaknya.
Aron Mengangkat kepalanya. Membalas tatapan tajam adik perempuannya. "Milo kembali?"
"Ya ... dan sepertinya dia membuat rencana bersama dengan pria tua itu."
Aron ingin menjawab, tetapi suara Albert lebih dulu menyapa diindra pendengarnya. "Oh lihat siapa ini? Wajah yang beberapa bulan tak terlihat."
Albert muncul bersama Milo. Dibelakang Milo terdapat seseorang yang menggendong Cleo ala koala. Cleo terlihat sangat nyenyak dan nyaman. Buktinya, bocah itu bersandar pada dada bidang pria tersebut.
Albert pun ikut duduk disofa pun Milo. "Bawa dia kekamar yang sudah disiapkan." dia memberi perintah pada ajudan barunya, Kyle.
Tentu itu tak luput dari mata tajam Aron. Dia menatap tak suka pada seseorang disana. "Siapa?"
Albert tersenyum sampai kedua matanya ikut tertutup. Dia bertepuk tangan sekali dan berkata. "Dia adik barumu, Aron."
Aron mengeram, tanpa menunggu apapun, dia segera menyusul Kyle dan Cleo.
Melihat kepergian Aron, Albert terkekeh. "Dia sungguh orang yang tidak sabaran. Mirip siapa sih?"
"Oy pak tua. Bukankah seharusnya kau mengejar kakak. Bisa jadi dia akan melukai lelaki manis itu," seru Kania.
"Tenang putri daddy. Semua sudah dikendali daddymu ini."
Kania berlagak mau muntah. 'Putri Daddy'? Memuakkan.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but psycho - End
General FictionMari kita melihat sesuatu yang gila. Don't copy