Bab 14.

5.7K 684 27
                                    





Yoana masuk kedalam kamar Cleo yang tidak terkunci. Baru dua langkah dia masuk. Keirian langsung mengiringi. Kamar bernuansi putih bercampur emas, lemari kaca yang berisi action figure. 

Pintu kaca kiri yang menampilkan jajaran baju atau lebih tepatnya walk in closet. Karpet berbulu yang melintang seolah tidak mengizinkan lantai marmer dingin menampilkan diri. 

Sofa mewah dan ranjang king size. Meja belajar dan jajaran boneka tertata rapi disana. 

Yoana iri, kamarnya tak seluas milik Cleo. Kamarnya tidak semewah Cleo. Kamarnya tidak dirancang dengan perencanaan. Kamarnya tidak memiliki banyak furniture.

Yoana melirik empu pemilik kamar. Cleo bersandar disofa single, menyendar sembari bermain ponsel, kakinya bertumpu pada meja dan menyilangkan kali disana. 

'Orang asing' yang begitu dimanja dan terlihat disayangi. 

"Sudah puas memandangi kamar Cleo?" Cleo menjulid. Pemuda itu berucap tanpa mengalihkan perhatian dari ponsel. 

"Kenapa kamarmu sebagus ini?" tanya Yoana. 

Cleo mengangkat bahu. "Ya ga tau, Cleo datang kamarnya sudah seperti ini. Memangnya ada apa?" 

Yoana terkekeh pelan. "Enak ya, orang asing seperti kau di perlakukan begitu baik." 

"Enak lah, siapa sih yang tidak terbuai dan merasa enak jika diperlakukan sangat manja." Sengaja atau tidak, Cleo seakan menegaskan jika dia begitu dimanja. 

"Aku harus apa biar jadi kau?" Suara Yoana terdengar bergetar. 

"Untuk apa kamu menjadi Cleo?"

"Kau masih bertanya kenapa?" disini, emosi Yoana mulai muncul. 

"Kau yang notabene orang asing hidup sangat nyaman disini. Sementara aku? bertahun-tahun tinggal disini, tetapi tak ada satupun dari mereka yang peduli." Yoana menahan diri untuk tidak menangis. Sebagai ganti, tubuhnya bergetar.

"Itu bukan sesuatu yang harus Cleo pikirkan." Cleo masihlah acuh, dia tetap tak berniat menatap Yoana. 

"Lagi pula itu bukan masalah Cleo. Itu masalahmu dengan keluargamu. Dari pada mengucapkannya pada Cleo, kenapa kamu tidak mengatakan secara gamblang pada keluargamu." Menaruh ponsel, Cleo mulai menatap kelereng abu-abu Yoana. 

"Mereka enggan menatapku." Yoana melangkah untuk duduk di sofa panjang. Dia tetap melihat sekeliling. "Semua yang ada disini ... Merupakan benda favoritmu?" Cleo mengangguk. 

Yoana terkekeh miris. "Lihat, dikamarku tidak ada satupun benda favoritku." 

Cleo jengah, untuk apa gadis didepannya ini bertindak menyedihkan. "Katakan apa maumu?" ujar Cleo tak ingin basa basi. 

"Bisakah kau menolongku? katakan pada keluargaku untuk berhenti mengacuhkanku."

"Tidak bisa, Cleo sibuk. Lebih baik katakan sendiri." Cleo menolak mentah-mentah. Dia tidak ingin terlibat dengan sesuatu yang merepotkan.

"Tidakkah kau merasa kasihan padaku? Aku sudah tersiksa selama bertahun-tahun karena tidak ada yang peduli padaku." Yoana menangis, tetapi tidak membuat Cleo iba.

"Kau membunuh Miko. Kucing yang menjadi teman sepiku!" Suara Yoana naik satu oktaf. Dia bahkan sampai berdiri.

"Sebagai tanggung jawab, tolong buat keluargaku kembali peduli. Kumohon.." Yoana menyatukan tangan di depan dada memohon pada Cleo. Karena hanya ini satu-satunya cara agar dia diperhatikan.

"Kalau kau menolak, aku akan bunuh diri," ancam Yoana.

 "Cleo tidak peduli. Bunuh diri sana, dasar lemah." Bukannya merasa kasihan atau terkejut, Cleo malah mencemoohnya. 

Jangan salahkan dirinya. Dia hidup dengan kasih sayang yang melimpah. Dikehidupan pertama atau kedua. Dia juga bukan type yang mengurusi hidup orang lain.

"Dari pada mengancam untuk bunuh diri. Kenapa kamu tidak berusaha lebih keras lagi. Jangan jadi lemah Yoana. Kakakmu bahkan tidak pernah menunjukkan sisi lemahnya!" Cleo berujar tanpa sadar. 

"Aharon yang Cleo tau, mereka egois, licik, dan manipulatif. Keberadaan Cleo disini pun karena kelicikan mereka. Kau berada disini dengan cerita menyedihkan?" 

Yah, Cleo tidak sebodoh itu untuk tidak paham gerak gerik Aharon.

"Aharon tidak pantas bersanding dengan kemalangan." 

"Pergi dari kamar Cleo!" Usir Cleo, dia menunjuk pintu kamarnya setelah berbicara panjang. 

Dia tidak peduli meski air mata Yoana terus berlomba-lomba keluar dan menetes.

Yoana berbalik dan melangkah sedikit berlari. Menutup mulut menahan isakannya. Niat hati ingin meminta tolong, tetapi cemoohan yang dia dapat. 

Kenapa ... Kenapa dia selalu mendapatkan kegagalan. 

Sedari kecil hidupnya tak menyenangkan. 

Tidak mendapatkan kasih sayang kedua orang tua serta saudara. 

Dihina dan dicemooh oleh orang-orang. 

Kenapa kelahirannya seolah menjadi penganggu bagi sebagian orang terutama keluarganya.


***

"Bibi ... Kenapa semua menunya ayam?" Dengan suara bergetar, Sevanya bertanya pada Sisi. 

"Tuan muda Cleo meminta saya untuk memasak menu kesukannya sebagai hidangan selamat datang untuk kedua orang tuan anda Nyonya," jawab Sisi tegas. 

"T-tapi kamu tau kan. Aku alergi ayam?" 

"Ya saya tau. Tetapi perintah tuan muda merupakan perintah mutlak." 

Sevanya tidak tau harus menjawab apa. Dia hanya bisa menangis dengan badan bergetar ketakutan. Toleransinya terhadap ayam sangat tidak bisa di perhitungkan. 

Sevanya bisa mati hanya karena satu ayam. 

Brak! 

"Kurang ajar! Anakku adalah nyonya kalian! kenapa kalian tidak sopan padanya!" Teriak Omar menggebrak meja. 

Sisi dan Luna tetap berdiri menatap lurus pada tatapan Omar. "Kami hanya menuruti perintah. Jika anda merasa keberatan, silahkan katakan pada tuan kami." 

"Bukankah putriku juga tuan kalian?! dia nyonya dirumah ini!" Dini ikut berteriak. "Kalian hanya pembantu disini jangan kurang ajar!" 

"Maafkan kami nyonya. Karena kami pembantu, maka dari itu kami menuruti tuan kami. Kami tidak ingin dipecat hanya karena masalah seperti ini," jawab Luna. 

"Nyonya Sevanya bisa memasak sendiri. Nyonya terbiasa melakukannya, benar kan Nyonya?" Sisi menimpali ucapan Luna, sisertai pertanyaan menuntut ia ucapkan khusus untuk Sevanya.

"Kalian mau membunuh putriku?!" 

"Kami tidak berniat membunuhnya. Kami hanya menuruti perintah. Jika kami tidak menuruti ucapan tuan muda. Kami tidak akan digaji. Nyonya Sevanya tidak bisa bertanggung jawab ketika itu terjadi. Apalagi anda dan istri anda." 

"Lebih baik segera santap makan malam kalian tuan nyonya. Kami pamit undur diri." 

Sisi dan Luna pun pergi kebelakang. Mereka juga perlu makan. Dari pada meladeni orang yang bukan atasan mereka. 

Sementara dimeja makan, kedua orang itu mencak-mencak tidak jelas.









To be continued...

Sweet but psycho - EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang