"Hm sudah tampan. Cleo siap sekolah!"
Cleo sudah rapi dengan seragamnya. Minggu telah terlewati, itu artinya ... Dia harus menuntut ilmu agar tidak bodoh. Meski agak susah karena dia tidak memiliki ingatan apapun tentang orang sekelilingnya.
Masalah sekolah adalah tempat favorit bagi Cleo. Karena disana, Cleo dapat bertemu dengan masing-masing sikap orang lain.
Menyambar tas abu-abu milik Cleo. Lalu tak lupa memakai jam tangan di tangan kirinya. Menyemprotkan parfum dan memasang sepatu.
Cleo pun segera turun kebawah pergi keruang makan untuk sarapan. Disana sudah ada Sevanya, duduk memakan sarapan dalam diam.
Cleo berdecak ibunya sarapan tanpa menunggu. Oh astaga, Apakah wanita itu kelaparan hingga tidak bisa menunggu?
"Ibu makan tanpa Cleo?" ujarnya datar.
Sevanya pun segera menaruh sendok dan langsung berdiri. Dia menatap Cleo sedetik kemudian langsung menunduk takut.
Cleo memandang Sevanya lelah. "Ibu kenapa? Kenapa setiap ada Cleo, ibu enggan menatap? Kenapa ketika Cleo meluk ibu, ibu tidak pernah membalas pelukan Cleo?" pertanyaan beruntun Cleo membuat tubuh Sevanya menegang.
Pun kedua pembantu yang juga mendengar namun enggan ikut campur. Memilih pergi dengan urusan masing-masing.
Sevanya menampilkan raut takut. Dia menggeleng kuat. "Tidak tidak ... Maksud ibu bukan seperti itu Cleo." Dia tidak bermaksud. Sevanya tau bahwa putranya telah berubah. Namun dia tetap merasakan takut.
"Ibu benci sama Cleo? Setelah kedatangn Cleo dari rumah sakit ibu tidak pernah melihat Cleo. Bahkan menjenguk pun tidak. Ibu tidak ada disisi Cleo. Cleo anak ibu kan?" Tetes demi tetes air mata turun dari kelopak bermanik cokelat itu.
"Apa tubuh Cleo menjijikkan bu?"
Suasana melankolis tercipta, Sevanya tidak bisa menjawab ucapan Cleo. Bibirnya kelu, ingin sekali mengusap air mata di pipi sang putra, tetapi tubuh Sevanya tidak bisa berhenti bergetar.
Sevanya hanya merasa tidak pantas. Dia hanyalah pertukaran. Sevanya mengerti jika pernikahan yang dia jalankan bersama Logan merupakan wujud dari pembayaran hutang kedua orang tuanya.
Dari awal dia ketakutan. Sikap dingin Logan serta kasar Cleo membuatnya semakin dilanda takut. Dia bukan apa-apa dari pada suaminya.
Dalam benaknya Sevanya menanamkan jika dirinya hanyalah orang rendahan. Dia tidak pantas bagi Logan. Dia tidak mempermasalahkan sikap suami dan putranya.
Selama orang tuanya baik-baik saja, Sevanya tidak mempermasalahkannya. Dia melakukan pekerjaan rumah, tidak menyentuh atau mendekati suami dan anak karena merasa tidak pantas.
Ucapan pedas Cleo maupun cueknya sang suami, tidak menimbulkan sakit hati bagi Sevanya. Yang dia pedulikan hanyalah orang tuanya, ayah dan ibunya, orang yang membuat dia hadir didunia.
Selama ayah ibunya tidak dalam masa kesulitan. Sevanya rela berkorban.
Bodoh dan naif.
Itu sebabnya Cleo benci ibunya dari dulu.
Tubuh bergetar ibunya tak membuat dia merasa kasihan. Sebab Sevanya, tanpa sadar membuat dindingnya sendiri dengan suami serta anaknya.
Cleo berlari ke arah luar mengabaikan panggila Sevanya. Tangannya mengusap kasar air mata buayanya. "Ck! Dasar, pagi-pagi sekali Cleo harus mengeluarkan air mata berharga hanya untuk ibu!"
"Lagi pula Cleo kesal dengannya. Kenapa dia terus saja menunduk? apa wajah Cleo ?menyeramkan? Atau apakah Cleo ini jelek." Mulut kecilnya menggerutu pelan.
Kakinya melangkah menuju Garasi. Dimana mobil untuk mengantarnya ke sekolah sudah ada dan siap untuk berangkat.
Pak Satrio sebagai supir yang di tugaskan mengantar jemput Cleo sudah stanby didepan mobil. Melihat tuannya mendekat, dia membuka pintu belakang.
Cleo masuk dengan mulut terus nyerocos. Pak Satria hanya tersenyum kecil dan masuk kedalam untuk berangkat.
Selang beberapa saat Cleo sampai. Tentu tempat untuk menimba ilmu itu sesuai dengan apa yang dia harapkan. Karena kalau itu jauh dari ekspetasinya. Cleo akan lebih marah pada papinya.
Ngomong-ngomong Logan tidak pulang. Pria itu memang jarang sekali pulang. Tugasnya sebagai bawahan orang penting tentu membuat dia tidak memiliki waktu untuk sekedar mengantar putranya.
Tidak masalah, selama Cleo punya uang.
"Wih Leo kita baik nih. Gimana rasanya di gebuk pake tongkat, enak?" sebuah ejekan terdengar ketika Cleo baru saja menapakkan kakinya kedalam.
Mata Cleo memicing menatap 6 pemuda yang berdiri di parkiran, menyandar pada motor masing-masing. Ada yang duduk di atas moge mereka.
"Enak, Kamu mau merasakannya huh?" garang Cleo. Matanya bergulir mencari sesuatu. Dan tara ... dia menemukan balok besi milik satpam.
Mengambilnya lalu berjalan kearah pemuda yang tadi mengejeknya. "Mau ngerasain, iya!" berang Cleo. Matanya membulat sempurna untuk menciptakan kesan garang.
"Berani lo?!" geram Valdo, Rivaldo Enza. Putra dari Agas dan Tania, sepupu jauh dari orang tua Sevanya.
"Kenapa Cleo harus ga berani!!" Cleo memgambil ancang-ancang akan mementung kepala Valdo berserta wajah menyebalkannya.
Mereka berenam menatap aneh Cleo. Bocah urakan itu menyebut dirinya 'Cleo'. Menghiraukan rasa penasaran, Mereka segera menghentikan Cleo.
Lorenzo David pemuda yang sejak kedatangan Cleo memerhatikan anak itu pun segera menelungsupkan kedua tangannya dibawah ketiak Cleo lalu mengangkat anak itu.
Loren merasa ada yang janggal. Dia berpikir jika tubuh Cleo Maxon menciut, atau hanya perasaannya saja.
Tatapanya beradu dengan sepupunya, Arsya Dewangga yang sepertinya juga sadar pada keanehan Cleo.
"Woilah cil, Jangan gegabah. Lo ga takut tangan kecil lo patah? Gue yang ngeri nih," celetuk Anno Revaska. Dia menahan lengan Cleo.
"Tau nih ... Lagian ini besi berat. Lo mau hajar si Valdo pake ini? makin ancur wajah dia nanti," Sahut Moreno Aylanza. Reno berdiri di hadapan Cleo sembari menarik tongkat besi itu.
Noel Saka hanya bersedekap dada, dia berada disamping Valdo. "Lagian lo masih pagi juga udah mancing emosi Cleo. Lo kalo mau mancing, mending di danau belakang sekolah, disana banyak banget ikannya."
Valdo berdecih mendengar ucapan Noel. "Ya mana tau kalau dia langsung emosi gitu."
Karena biasanya Cleo yang mereka kenal hanya akan beradu mulut. Jika keleeat emosi, barulah Cleo akan memutuskan baku hantam.
Mereka berenam menyadari perbedaan yang dibawa Cleo.
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but psycho - End
General FictionMari kita melihat sesuatu yang gila. Don't copy