Tiga Puluh

2.4K 68 0
                                    

Malam itu, suasana terasa sangat canggung, karena kehadiran sesosok pria paruh baya yang ikut bergabung di meja makan.

Pria paruh baya itu seperti sedang melakukan pendekatan kepada Teressa, terlihat dari caranya yang mengusap rambut pirang wanita itu dengan penuh kasih, dan berkali-kali dapat Deren lihat, jika pria itu menatap penuh binar ke arah Teressa yang malah menampilkan raut sebaliknya.

Teressa terus menampilkan raut dingin dan risih, ketika pria paruh baya itu melakukan kontak fisik dengannya. Bahkan berkali-kali, wanita itu mencoba menghindar dari tangan pria itu yang akan kembali mengelus surai pirangnya.

Deren sangat penasaran tentang identitas pria dihadapannya, karena pria itu tak datang sendiri ketika tiba di rumah kayu ini. Dia membawa belasan pria berpakaian hitam yang melekat dengan sempurna di tubuh tinggi tegap mereka.

Deren tak bertanya, dan Teressa seperti tak berniat untuk memberitahunya. Maka dari itu, di kursinya saat ini, Deren terus memperhatikan interaksi antara mereka berdua.

Apakah pria itu kekasih Teressa? Batin Deren.

Deren berpikir dengan keras, mencoba untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaannya sendiri, hingga suara berat pria itu menginterupsi kegiatannya.

"Apa yang kau pikirkan anak muda?"

Deren yang mendengar itu sontak tersenyum canggung, "Ah, tidak ada yang ku pikirkan, Tuan. Aku hanya tidak berselera untuk makan."

"Ah, aku lupa bertanya. Siapa namamu?"

"Nathaniel Deren Frederick, panggil saja Deren."

"Aku Evander, ayah Teressa."

Setelah perkenalan singkat itu usai, kedua pria berbeda generasi itu tampak terdiam dengan berbagi pemikirannya masing-masing.

Deren yang terkejut setelah mengetahui fakta bahwa pria yang dia kira adalah kekasih Teressa itu merupakan ayah wanita itu. Apakah ini ayah yang sama, yang telah menelantarkan wanita itu tiga belas tahun yang lalu?

Bagaimana bisa deskripsi yang Teressa katakan, sungguh berbeda dengan apa yang dia lihat hari ini? Dalam cerita Teressa, pria yang berstatus sebagai ayahnya itu merupakan pria dingin tak berperasaan, yang dengan teganya meninggalkan gadis berusia delapan tahun kala itu berkelana hidup di jalanan. Sementara yang dia lihat hari ini, pria itu justru terlihat penuh kasih dan seperti menyayangi Teressa, sebagaimana seorang ayah menyayangi putrinya.

Deren takut keliru jika dia menyimpulkan sesuatu, maka dari itu dia memilih untuk bungkam dengan segala rasa penasaran yang berkecamuk dalam benaknya.

Sementara itu, Evander tampak mencengkeram sendok di tangannya dengan erat, raut wajah yang semula terlihat tenang itu kini tampak beriak. Rahangnya mengetat, seiring dengan netranya yang terus menatap Deren penuh selidik.

"Ekhem."

Dehaman Evander berhasil membuat Deren dan Teressa, menatap sepenuhnya ke arah pria paruh baya itu.

"Deren, apa kau putra dari Miguell Frederick?" tanya Evander, ketika iris coklat terangnya bersitatap dengan iris coklat gelap milik Deren.

Deren yang mendapat pertanyaan seperti itu sontak mengerutkan dahinya, "Iya, bagaimana Tuan bisa tahu?"

Evander yang mendengar itu mendecih sinis, salah satu sudut bibir pria itu terangkat naik membentuk sebuah seringai tipis yang nyaris tak terlihat jika tak diperhatikan dengan teliti.

"Ah, Miguell teman baikku semasa kami bersekolah. Bagaimana kabarnya?" tanya Evander yang kini lebih banyak bertanya dibanding sebelumnya.

"Emm, ayah baik-baik saja." jawab Deren tak yakin, karena dia sendiri pun jarang berkomunikasi dengan ayahnya semenjak dia tinggal di Chicago.

Another Life (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang