5 - Pertemuan

15 6 0
                                    

Lena sedari tadi sibuk dengan ponselnya melakukan searching cafe populer yang bisa dikunjunginya bersama Agatha. Ia sudah berjanji untuk hang-out sebagai ganti tidak datang ke reuni. Dengan antusias, ia mencatat satu per satu list kegiatan yang akan dilakukannya hari ini.

Lena akhirnya mantap mengajak bertemu di Cafe Alam pukul 9 pagi. Setelah sepakat, Agatha menyuruhnya untuk duduk dan memesan makanan terlebih dahulu karena ia akan telat. Lokasi Cafe Alam dekat dengan taman dan sungai yang biasa digunakan orang-orang untuk berpiknik sehingga sangat strategis sebagai healing cafe.

Agatha mengirimkan lokasi pertemuannya dengan Lena yang dibalas sticker girang dan love oleh Vicky. Agatha panas dingin memikirkan reaksi Lena jika tahu ia menipunya, tapi mau bagaimana lagi, ia harus berani karena sudah berjanji. Ia hanya mau membantu sahabatnya untuk berbaikan dengan masa lalunya.

10 menit berlalu tapi Agatha tak kunjung datang. Dari pantulan kaca, Lena mendapati sesosok laki-laki datang mendekat. Semakin dekat sosok itu mengingatkannya akan seseorang yang tak ingin ditemuinya. Awalnya ia mengira bahwa itu hanya imajinasinya belaka, namun sosok itu semakin nyata, Vicky Lionel.

"Lena." Suara khas laki-laki yang familiar itu membuat Lena kembali tersadar bahwa sosok itu nyata. Badannya kaku tidak menyangka bertemu dengannya di sini. Lena memikirkan kemungkinan bahwa ini memang cafe populer jadi sangat mungkin bagi mereka untuk berpapasan di kota yang sangat sempit ini.

Lena akhirnya menoleh dengan tatapan risih, bingung ingin menjawab apa. Ia sangat kikuk hingga Vicky kembali berinisiatif melanjutkan percakapan. "Lena, gue boleh duduk?" Vicky menunjuk kursi kosong di sebelah Lena yang seharusnya menjadi tempat duduk Agatha.

Secepat kilat Lena menolak, "Nggak, itu kursi Agatha." Vikcy terdiam sesaat, memikirkan kata-kata apa yang harus ia ucapkan agar gadis di hadapannya itu mau berbicara dengannya.

Akhirnya, kalimat itu terucap dari mulut Vicky. "Agatha nggak bakalan dateng, Len." Selesai sudah. Pemilihan topik yang buruk.

Lena tertegun, berusaha mencerna perkataan Vicky. Ia tak habis pikir kenapa Vicky bisa dengan sangat yakin mengatakan itu. Jika memang betul, sahabatnya pasti akan menjadi yang pertama menghubunginya. "Lo tau dari mana?" Tatapan Lena meragukan sekaligus tak suka.

"Sebenernya gue yang minta tolong Agatha bikin pertemuan biar bisa ngobrol sama lo." Vicky berterus terang. Ia pikir jika berkata jujur Lena akan memahaminya, namun justru sebaliknya. Lena benar-benar speechless.

Jawaban Vicky justru membuat Lena tambah murka. Tanpa sepatah kata, Lena langsung bangkit dan mengemasi barang-barangnya. Ia berjalan keluar cafe. Emosinya sudah memuncak sampai ke ujung kepala.

Bagaimana bisa Agatha, sahabat yang paling ia percayai melakukan itu kepadanya? Kecewa. Ia sangat kecewa.

Tepat di halaman cafe, tangan Vicky meraih pergelangan tangan Lena. "Tunggu, Len." Lena menghembuskan napas lelah, menatap kesal tangan Vicky yang menahannya. Sorot matanya yang malas menatap Vicky seakan tak tahan dengan kehadirannya yang dianggap menganggu.

"Gue minta maaf, Len." Kalimat itu dengan gampangnya terucap dari mulut Vicky. "Gue cuma mau ngobrol sama lo sebentar. Gue lakuin ini karna lo gamau ketemu sama gue." Vicky menjelaskan dengan setengah frustrasi. Ia mengacak-acak rambutnya berharap gadis itu akan memahaminya.

Tapi jawaban Vicky tidak memuaskan hati gadis di hadapannya. Ekspresi wajah Lena menatap Vicky muak. "Kalo gue gamau ketemu ya berarti gamau, kenapa lo maksa?" Lena melontarkan kalimat yang valid. Vicky hanya terdiam tidak tahu harus bagaimana untuk memperbaikinya.

Dalam pikiran Vicky, ia ingin meluruskan kesalahpahaman mereka saat jaman SMA. Namun sepertinya keadaan berubah menjadi semakin buruk. Semua perkataan yang ingin disampaikannya sejak SMA lenyap seketika saat berhadapan dengan gadis itu. Tatatapannya, membuatnya berpikir apakah memang benar Vicky telah berbuat kesalahan sangat besar kepadanya.

Vicky menebas semua pikirannya sebelum Lena semakin tak tahan dengannya. Vicky sudah memilih. Ia mengontrol ekspresinya dan mulai tersenyum tipis, "Len, gue tau lo benci sama gue. Tapi, gue cuma mau ngajak lo ngobrol sebagai seorang DJ Radio secara profesional. Lo mau nggak tampil di acara radio gue?"

Sebenarnya, Vicky sudah tahu apa jawaban yang hendak dikatakan gadis itu, namun ia masih tetap berusaha. Ia tidak boleh menyerah. Lena membalas menyuman Vicky dengan judes, "Nggak." Ia bahkan tidak memikirkannya sekali pun.

"Oh ya, profesional lo bilang? Dari cara lo mau ketemuan sama gue aja udah sangat nggak profesional! Jangan pernah temuin gue lagi." Gadis itu meninggalkan Vicky tanpa menoleh sekalipun.

Sialan. Vicky merasa sangat bersalah kepada Lena. Setelah dipikir-pikir perkataan Lena ada benarnya. Seharusnya Vicky dengan sabar menunggu Lena sampai ia mau bertemu dengannya.

Namun, dengan bodohnya Vicky malah bersembunyi dibalik title DJ Radionya. Ia pikir jika ia mengajak secara profesional, gadis itu akan mau menerima tawarannya.

***

1 minggu berlalu sejak pertemuan Lena dan Vicky, namun Agatha tak kunjung mendapat balasan pesan dari Lena. Sepertinya Lena sangat marah kepadanya. Ia sangat ingin bertemu dan meminta maaf secara langsung kepadanya, namun ia akan menunggu sampai gadis itu merasa baikan.

Seminggu yang lalu, Agatha mendapatkan pesan dari Vicky bahwa pertemuan keduanya tidak berjalan lancar. Ia jadi berpikir apakah keputusannya terlalu gegabah, seharusnya ia tidak membuat mereka bertemu.

Lena menatap ponselnya gundah. Ia sangat kesal terhadap Agatha, namun ia tidak tega mendiamkan Agatha seperti itu. Mau bagaimana juga Agatha adalah sahabat terbaiknya yang mendukungnya saat susah maupun senang.

Tak tahan dengan perasaan tak mengenakkan ini, Lena akhirnya pergi ke cafe favoritnya, Cafe Book. Interior Cafenya vintage dan penuh dengan buku. Suasana kafe itu cocok untuk menenangkan pikiran dan mengerjakan novel. Ia duduk di pojok ruangan sambil memesan segelas es teh.

Suasana Cafe sangat hening dengan alunan musik yang bukan seleranya, Lena pun mengeluarkan earphone yang selalu dibawanya, dipasangnya sambil memilih playlist lagu. Tiba-tiba sepiring makanan diletakkan di mejanya, padahal Lena tidak memesan makanan sama sekali.

Baru hendak memanggil, laki-laki itu sudah berjalan menjauh. Parfum vanilla laki-laki itu menyita perhatian Lena sesaat, manis. Ia berbaju merah maroon dengan topi hitam dan pastinya bukan salah satu pegawai disitu. Lena sudah hafal karena ia berkunjung hampir setiap hari.

Bukannya kembali ke tempat duduknya, laki-laki itu malah keluar dari cafe. Anehh. Lena menatap makanan di mejanya, fish and chips hangat yang baru dipesan. Dengan tatapan curiga, ia memandangi makanan itu lekat-lekat. Apa ini sudah diracun?

Bodo amat, Lena mulai menyantap makanan itu daripada sia-sia. Rejeki memang harus diterima. Walaupun ia tidak tahu siapa orang itu, tapi Lena sangat berterima kasih. Lena memang sedang lapar dan ingin memesan makanan, beruntung ia mendapatkan makanan gratis.

BERSAMBUNG

Halo, ini cerita pertama yang aku publish di wattpad. Bisa kasih vote dan sarannya, terima kasih 😊

Love FMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang