Hari yang ditunggu-tunggu Vicky telah tiba. Entah kenapa hari ini terasa lebih cerah dibandingkan hari-hari lainnya. Biasanya ia lebih memilih menghabiskan weekendnya dengan bersantai di rumah, namun kali ini ia dengan semangat bangun dan mempersiapkan dirinya untuk menghadiri reuni.
Sudah setengah jam ia mengobrak-abrik lemarinya untuk memilih penampilan terbaiknya. Menurutnya seragam sekolah terasa cukup plain, sehingga ia berniat untuk menambahkan outer atau jaket supaya terlihat lebih stylish. Setelah mantap memilih outer hitam putih kotak-kotak, ia berkaca mengagumi ketampanannya sendiri.
Tak lupa, Vicky menyemprot parfum vanilla kesukaannya ke pergelangan tangan dan tubuhnya. Biasanya laki-laki menyukai aroma parfum yang gentle, namun Vicky lebih suka aroma yang manis dan sweet. Vicky mengambil kunci mobilnya dan bergegas berangkat ke tempat reuni.
Setelah 30 menit, Vicky akhirnya sampai di Hotel Kencana. Tanpa mencari pun, ia bisa mengetahui keberadaan teman-temannya. Pakaian mereka sungguh mencolok. Siapa yang akan mengenakan seragam sekolah di hotel, sungguh aneh.
Vicky bergabung ke meja, bertegur sapa dengan wajah-wajah yang sudah lama tak dijumpainya. Awalnya ia dengan semangat membahas kenangan masa SMA nya. Tapi lama-kelamaan ia mengobrol dengan setengah fokus, mencari-cari ke sekitar keberadaan seseorang. Acara sudah hampir selesai namun gadis yang ditunggunya tak kunjung datang. Kecewa. Kata yang tepat untuk mengekspresikan perasaannya saat ini.
Kekecewannya sedikit terobati saat ia melihat sosok Agatha dari kejauhan. Sejak kapan ia ada di situ? Anehnya, ia selalu menghindari kontak mata Vicky. Vicky beranjak dari kursi menuju ke arahnya, namun Agatha dengan alami menjauhinya. Seakan main kejar-kejaran, Vicky akhirnya tersenyum kesal dan menghembuskan napas berat. Sudah mengetahui jalan pikiran Agatha, Vicky pergi entah ke mana dengan tenang.
Agatha akhirnya bisa bernapas lega saat Vicky sudah tidak mencarinya lagi. Agatha pikir Vicky sudah menyerah namun tiba-tiba saja ia muncul di belakangnya bagaikan hantu. Jantung Agatha serasa mau copot. Wajahnya pucat seakan baru menemui ajal. Belum sempat membuka mulut, umpatannya tertahan saat Vicky dengan kuat menarik pergelangan tangan Agatha.
Matanya membelalak, bagaikan scene drama romansa, pemandangan tersebut menyita perhatian teman-temannya. "Ehh... Vicky sekarang sama Agatha?" heboh Hendra. Teman-temannya antusias mendapat bahan gosip baru.
"Dia jadian sama mantan lo, Had?" ricuh Odit melotot. Tatapan di sekeliling Hadi berubah, mereka tampak mengasihaninya. Risih dengan hal itu, ia langsung meng-ulti, "Brisik lo pada.. Move on dong!"
Vicky menarik masuk Agatha ke ruangan kosong dekat lorong. Tatapan maut Agatha dapat dirasakannya meski tanpa menoleh sedikit pun. Seakan paham, Vicky melepas tangan Agatha dengan hati-hati. Baru akan berbicara, Vicky langsung menutup mulut Agatha dengan jarinya, "Stttt.."
Emosi Agatha makin meningkat sampai ke ubun-ubun, "ehh, sorry!" ujar Vicky tak sengaja. Ia melepaskan jarinya kikuk, bukan seperti ini maksudnya. Bisa gawat jika ia membuat gadis di hadapannya ini lebih marah lagi. Lirikan sinis Agatha menunjukkan bahwa ia sudah tidak tahan lagi dengan tingkah Vicky.
"Gath, tolongin gue, pliss." Gestur Vicky memohon dengan memasang muka melasnya. Agatha menekuk alis bingung. Ia tidak paham kenapa dan bagaimana ia bisa membantu Vicky. Tidak ada hujan, tidak ada angin tiba-tiba saja ia memohon seperti itu.
"Kalo lo bantuin gue, gue bakal turutin semua permintaan lo, deh. Janji!" Vicky mengeluarkan jari kelingkingnya membuat janji manis.
Agatha mulai kesal dengan perkataan Vicky yang tidak jelas. "Bantuin apaan sih maksud lo? Ngomong yang jelas dong!" gas Agatha.
Ujung bibir Vicky seakan tertahan. Dengan mata terpejam Vicky berkata dengan lantang, "Bantuin gue ketemu Lena, dong!" Vicky membuka matanya kembali, tersenyum lega setelah mengungkapkan isi hatinya.
Wajah Agatha langsung berubah datar. Ia terdiam, berpikir sejenak. Mengapa ia harus membantu Vicky bertemu dengan Lena? Bukankah sudah jelas bahwa sahabatnya itu tidak memiliki keinginan untuk berbaikan sama sekali dengan Vicky? Namun kemudian, sebuah ide cemerlang terlintas dalam benaknya.
"Oke, gue bantuin." Agatha berubah pikiran. Vicky tercengang melihat Agatha mau membantunya. "Kenapa? Ga mau?" lanjut Agatha membuyarkan kegalauan Vicky.
"Eh... Nggak! Mau.. Mau banget!"
Agatha terkekeh melihat antusias Vicky. Agatha akan merasa bersalah pada Lena. Tapi sebagai sahabat, ia tidak mau membiarkan keduanya berlarut-larut dalam masa lalu.
Baru akan kembali masuk, seorang laki-laki yang tampak familiar mulai mendekat ke arah mereka. Agatha melakukan double check untuk memastikan. "Hah? Kak Dito?!" Agatha mengerjap tak menyangka bertemu crush pertama Lena.
Dito tersenyum manis melambaikan kedua tangannya. "Apa kabar?" Pesona cowok kulit sawo matang dengan senyum manisnya itu sungguh melelehkan hati. Pantas saja Lena naksir berat dengannya.
"Ehmm.. Baik kok, kak." Tanpa disadari, Agatha mulai salah tingkah dan memainkan kedua kakinya feminin. Maaf ya, Lena. Gue juga ga kuat sama pesona cowok matang, apalagi kalo semanis ini!
Agatha masih sempat-sempatnya memikirkan perasaan sahabatnya. Entah kenapa udara di sekitar Agatha tiba-tiba terasa panas, ia mengipas-ngipas wajahnya gerah.
Vicky menatap pemandangan itu jijik. Sesama cowok, sudah jelas bahwa Dito hanya tebar pesona dengan memamerkan senyum sok manisnya. Bagaimana bisa cewek-cewek terpesona oleh tipu dayanya itu? Ia benar-benar tak habis pikir.
Dito menoleh dan menyadari keberadaan Vicky, wajahnya langsung berbinar. Entah ia benar-benar senang atau hanya akting, namun tak masalah. Vicky juga akan melakukan hal yang sama. Raut wajah Vicky berubah dalam sepersekian detik, memamerkan senyum munafiknya. Vicky juga pro jika masalah akting.
"Lama ga ketemu nih, Kak Dito." Dito memamerkan giginya sembari mengulurkan tangan, "yoi, sehat lo, Vick?"
Vicky menggapai tangannya menyambut, "Pastinya dong."
"Kapan-kapan hang out bareng dong, Vick. Udah lama nih." Dito mengenang masa lalu dimana mereka cukup sering bergaul dan bermain basket bersama. Keduanya merupakan anggota tim basket sekolah, SMA Andani. Dito adalah ketua, sedangkan Vicky dipercayai sebagai wakilnya. Mereka cukup sering mengikuti kompetisi basket bersama.
"Siap, kak. Kabarin aja." Vicky mengiyakan tawaran Dito. Tidak baik untuk memutus tali silaturahmi, lagi pula Dito tidak semenyebalkan itu.
Dito tiba-tiba tersenyum malu, teringat sesuatu. "Ajak Lena juga, dong. Udah lama nih," ujar Dito mengusulkan. Wajahnya tampak berharap, yang ia ketahui Dito memang menyukai Lena sejak lama.
Hening. "Eh, kenapa? Gue salah ngomong, ya?" Dito menutup mulutnya kelabakan. Tak menyangka mendapat respon dingin seperti itu.
"Hm.. Nggak kok, kak. Kita hang-out bareng anak basket aja, gimana? Sekalian reuni." Vicky malas menjelaskan. Vicky tidak tahu lagi, entah Dito benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Padahal gosip pertengkaran Vicky dan Lena pasti sudah menyebar ke seluruh sekolah. Bagaimana mungkin ia tidak mengetahuinya? Apa kupingnya ia tinggal di Mars?
"Iya, Lena juga belakangan sibuk banget, kak!" Agatha ikut membantu mencari alasan. "Diajak pasti juga gamau," lanjutnya menepuk tangannya seakan teringat sesuatu. Kerja sama tim yang sangat kompak bagi keduanya. Dito mempercayai mereka begitu saja.
"Ohh, yaudah deh." Dito mengangguk paham. Ia mengeluarkan HP di sakunya, "Bagi kontak kalian dong." Agatha dan Vicky bergantian menyimpan nomor mereka di kontak Dito.
"Kalo gitu gue duluan ya." Pamit Dito yang disambut lambaian tangan oleh keduanya.
BERSAMBUNG
Halo, ini cerita pertama yang aku publish di wattpad. Bisa kasih vote dan sarannya, terima kasih 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Love FM
عاطفيةVicky, seorang DJ radio yang dengan pedenya mengusulkan mengundang Hexagon sebagai guest saat usulan rapat. Hexagon, author novel best seller itu tidak pernah mempublikasikan informasi pribadinya sama sekali, bahkan menolak interview dari media apa...