Kriminal (2)

76 11 0
                                    

Mendengar rencana gila si Bro, Sel buru-buru meminta surat penangkapan pada koleganya untuk sekarang juga. Plan cadangan nan dadakan dibuat dengan skesta yang digambar sendiri oleh Sel di dalam lemari pakaian. Tanpa menjelaskan dengan rekaman suara, para polisi dapat membaca sketsa awur-awuran dari Sel.

Roy pun mendapat pesan aba-aba dari ponselnya bahwa Sel memintanya untuk keluar dari apartemen. Bagaimanapun caranya, Roy harus bisa membawa Bro ke tempat yang dapat dijangkau polisi.

Akhirnya Roy membawa Bro ke minimarket mengajaknya membeli kopi dan mie instan. Perlu diketahui bahwa keuangan mereka sebenarnya melimpah ruah, namun mengonsumsi makanan murah tetaplah nikmat.

"Tumben ngajak ke sini." celetuk Bro yang sedang memilih kopi.

"Buat mengenang masa susah kita." Jawab Roy mengasal, keduanya kemudian tertawa.

Sekarang Roy akan memulai aksinya, ia berpura-pura tidak membawa dompet, alasan logis supaya Bro bisa ditinggal di tempat.

"Aku ada kok, tenang aja." Ucap Bro.

"Gak gitu, kan aku yang ngajak, jadi aku mau bayarin semua." Kata Roy mulai gugup, ponselnya selalu ia pantau dari balik celananya.

"Yaudah, bayar QRIS kan bisa." Jawaban masuk akal dari Bro. Sialnya, Roy kurang profesional dalam mencari alasan.

"Ah, itu ... aku butuh tarik tunai, hehe iya. Kan harus pakai kartu."

Bro akhirnya mengijinkan Roy pergi meskipun dalam benaknya merasa ganjil. Ia memilih menyeduh kopinya dahulu.

"Mbak, teman saya masih ambil uang, tapi saya gak tahan pengen ngopi, boleh diminum dulu kan? Saya duduk di kursi dekat jendela sana ya." Pinta Bro dengan ramah.

"Ya, silakan"

Beberapa saat setelah ditinggal Roy pergi, mobil polisi berdatangan dan segera menangkap Bro. Benar dugaannya bahwa Sel merupakan anggota kepolisian.

"Cho ... ." Lirih Bro pelan. Van segera memborgol tangan Bro dan keluar minimarket menuju mobil. Ekspresi Bro terlihat sangat kecewa pada Sel.

"Permisi." Ucap kasir di tengah kehebohan.

"Mas yang ditangkap tadi belum bayar." lanjutnya.

"Berapa?" Tanya Sel sembari membuka dompetnya.

"Dua puluh tiga ribu"

Sel mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu, "Kembaliannya buat kamu aja."





💊💊💊






Roy kini menjalani rutinitas samarannya menjadi tukang print di dekat kampus. Ia dibuat heran dengan suara koin yang selalu terdengar saat transaksi narkoba berhasil terjual.

"Oh, kan emang tugasku ngedarin. Pantes dapet koin." Gumamnya dalam hati setelah berhasil memecahkan misteri.

Setiap pekerjaan selalu memiliki tugas, entah itu perintah negatif atau positif, semuanya selalu terbayar.

"Ganci cilik." Ucap salah satu mahasiswa yang berhasil membuat Roy membuyarkan lamunannya. Gadis berambut pendek lurus menyebutkan kode barang haram.

"Sepuluh juta." Bisik Roy pelan, ia kemudian menerima amplop kecil untuk dihitung nominalnya. Setelah mengecek kelengkapan uang, ia memberikan barang tersebut pada si gadis berpakaian serba hitam.

Gadis itu melihat ponselnya sesaat setelah mendengar suara koin, "Yash!" Ucapnya.

Sontak Roy menatap intens mahasiswa misterius itu.

"Yen?" Panggil Roy.

Gadis itu menoleh kemudian segera pergi.

Suara koin masuk terdengar lagi. Kali ini upah Roy sendiri dari tugas menjual narkoba pada Yen.

"Kenapa aku harus ada di posisi sulit gini sih?" Gerutu Roy sambil melihat saldo koinnya yang bertambah banyak.

"Gak sulit juga, hehe." Faktanya, koin terbesar yang didapat Roy sampai saat ini adalah hasil dari membantu polisi menangkap Bro kemarin.

"Bukannya kerja malah main HP. Tuh tugas mahasiswa banyak yang belum di-print."

Roy menoleh ke sumber suara. Ternyata Glen berdiri di pintu masuk.

Lelaki yang berpostur setara dengan Roy memasuki ruangan, memerintah pegawai lain menyelesaikan antrian percetakan. Lalu mendekati Roy dengan tatapan curiga.

"Kira-kira, pakai hukuman apa lagi yang bisa buat efek jera para pengkhianat?" Glen membisikkan pertanyaan mengerikan ke sebelah telinga Roy.

Jantung Roy berdegup kencang, merasa semua tidak akan baik-baik saja.

"Apa ya ... ditembak berkali-kali?" Pikir Roy begitu.

"Ah, nanti langsung mati jadi gak asyik." Balas Glen. Ia kemudian melihat ke arah barang haramnya yang hampir terjual habis.

Ternyata pengedarannya sekarang lebih cepat dan luas dari yang dibayangkan.

"Ya ... berarti nembaknya di bagian lain, selain titik utama."

"Apa bedanya sama yang biasanya aku lakuin? Cuma beda senjata doang." Timpal Glen.

"Ah aku ada ide" lanjut Glen.

"Apa?"

"Rahasia. Lihat aja nanti."





💊💊💊






Sel, Van, beserta rekan lainnya saat ini berlatih menembak dan memantapkan bela diri untuk penangkapan besar-besaran esok. Ekspektasi kepolisian sangat tinggi, harapan mereka tak hanya bandar saja yang tertangkap, tapi beserta petinggi pejabat lainnya.

Sebenarnya polisi bisa dengan sangat mudah menangkap pecandu, pengedar, dan bandar narkoba. Hanya saja semuanya butuh waktu yang pas untuk dikuak. Biasanya kasus seperti ini merembet tak jauh dari prostitusi dan perjudian illegal.

Maka dari itu, jika kasus narkoba terbongkar, kasus yang mengakar dan bercabang lainnya ikut terbongkar.

"Van, aku mau ngomong sesuatu." Kata Sel, ia melepas setelan karatenya di kursi.

"Kenapa?"

"Aku mau bikin permohonan sama kamu."

"To the point aja, Sel."

"Aku mohon, jangan sakiti Roy, jangan sampai dia terluka. Plis kalau mau nangkep, tangkep aja si Glen dan anak buahnya yang lain, asalkan jangan si Roy."

Van mengernyitkan dahinya heran, "Sel jangan sinting. Jangan bilang kamu suka beneran sama buronan itu?"

"Ish, kan dia emang real suamiku anjir." Lirih Sel sangat pelan.

"Hah? Ngomong apa?"

"Pokoknya tangkap dia, masukin mobil terus penjarain. Udah cukup, oke?"

"Sudah gila anak ini." Gerutu Van meninggalkan Sel begitu saja.

Malam saat itu juga, Sel hendak mengunjungi Roy di apartemen. Sembari menunggu suaminya pulang, ia memasak dengan bahan seadanya di kulkas. Ia ingin segera membocorkan visi misinya yang bertujuan untuk melindungi Roy juga.

Hingga tiga jam berlalu, tidak ada tanda-tanda Roy pulang.

"Sayang, kamu di mana? Aku udah masak buat kita dinner di rumah. Masa buka toko sampe tengah malam gini gak pulang?"

Dilanjut dengan memotret diri Sel sendiri untuk dikirim. Ternyata pesannya langsung dibaca.

Sel langsung menelpon Roy, namun suara yang terdengar bukanlah suara suaminya.

Panggilan beralih ke video call.

"Sayang sekali, Roy gak akan pulang."

"ROY!" Sel menjerit setelah melihat Roy tak sadarkan diri kepalanya ditutup kain hitam.

Panggilan berakhir.

Photo Box Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang