CK! Daiva berdecak kesal karna hujan turun tiba-tiba yang membuatnya harus berteduh dulu didepan ruko. Kalau begini, dia bisa saja terlambat pulang dan berakhir mendapat omelan dari sang kakak kembar.
"Kan gue udah bilang, jangan keluar dulu"
"Lo batu kalo dibilangin. Langsung kualat kan"
"Kalo tadi gue yang anter kan gak bakal keburu hujan"
Daiva suda bisa membayangkan bagaimana omelan Daksa nanti. Pasti akan sangat merepotkan. Sebenarnya gadis itu tidak sekolah karna malas bukan sakit. Lagi pula, dia bukan gadis lemah yang hanya dijambak dan didorong ke meja langsung down.
"Gue kayaknya harus kabarin Daksa deh kalo kejebak hujan"
SIAL! Sepertinya ini hari yang benar-benar sial bagi Daiva. Dia hanya ingin membeli beberapa camilan di supermarket tapi malah terjebak hujan ketika ingin pulang dan sekarang ketika dia ingin menghubungi Daksa, handphonenya malah mati.
Meong!
Eh! Daiva mendengar sesuatu dengan samar karna suara hujan yang menutupinya. Tapi apa?
Meong
Suara itu terdengar lagi. Daiva yakin dia tidak salah dengar, itu suara anak kucing.
Gadis itu mulai menatap sekelilingnya sampai netranya menangkap seekor anak kucing yang sepertinya terjebak oleh sesuatu. Anak kucing itu kehujanan.
"Yaelah, cing. Lo nyusahin aja, sih"
Walau malas tapi kasihan, akhirnya Daiva menghampiri anak kucing itu. Karna dia tidak membawa payung, jadilah tubuhnya basah diterpa air hujan. Saat sampai, dia melihat kaki anak kucing itu yang terikat tali. Pasti ini ulah anak-anak iseng.
Dia menunduk untuk membukakan tali itu, tapi ternyata tak semudah yang dikira. Tali itu diikat terlalu kencang.
"Cing, tali nya kuat banget. Gimana dong?"
meong!
"Lo mah, bisanya meong meong mulu. Heran gue. Gak ada kata lain apa?"
"Kucing bahasanya emang gitu. Masa lo gak tahu, sih"
DEG!
Daiva terdiam ditempatnya mendengar suara yang familiar di indra pendengarannya. Terlebih saat dia tidak lagi merasakan tetesan hujan mengenai tubuhnya.
"Gue bantuin ya,"
Orang itu ikut berjongkok disamping Daiva. Dengan masih memayungi gadis itu, dia melepas ikatan tali itu dengan satu tangan. Dirinya tampak tidak kesusahan melepas tali dengan satu tangan, padahal Daiva tadi melakukannya dengan dua tangan saja masih kesusahan. Tapi yang ada pasa pikiran Daiva sekarang bukanlah tali, tapi cowok yang ada disampingnya sekarang. Bagaimana sekarang? Apa yang harus dia lakukan? Dia ingin lari sekarang, tapi kakinya terasa kaku, belum lagi bendungan air mata yang sedari tadi dia tahan kini mulai menetes.
"Kucingnya gak sopan ya. Masa udah ditolongin malah pergi gitu aja" Ucap cowok itu sambil menatap kucing yang dia tolong barusan langsung pergi dan mencari tempat berteduh.
Tidak ada jawaban. Cowok itu menatap Daiva dari samping, gadis itu ternyata sedang memainkan ujung pakaian yang dipakainya.
"Daiva-"
"Jauhin tangan busuk lo dari gue, Gyan!"
Daiva menepis kasar tangan Gyan kasar yang hampir saja menyentuhnya, sampai-sampai payung yang dipegang cowok itu terjatuh entah kemana. Tidak, dia tidak mau disentuh oleh cowok itu. Sedangkan Gyan hanya diam, dia menatap sendu kearah Daiva. Dia merindukan gadis itu.
"Dai-"
"Jangan sebut nama gue pake mulut lo, bangsat"
Berbanding terbalik dengan Gyan, Daiva malah menatap Gyan dengan sorot kebencian yang sangat ketara. Dia benci cowok itu.
"P-pergi, pergi lo dari sini! G-gue gak ma-"
"Lo yakin mau gue pergi?"
Daiva terdiam. Dia juga bingung, apa dia benar-benar ingin Gyan pergi? Apa dia bisa menjauh dari cowok itu?
"Gue kangen sama kalian, apalagi sama lo, gue kangen, Dai"
"Tap-"
Belum sempat Daiva menyelesaikan ucapannya, Gyan sudah menarikanya duluan ke pangkuan cowok itu. Tidak peduli dengan celananya yang kotor dan basah, dia hanya ingin memeluk gadis dihadapannya sekarang erat. Dia merindukan gadis itu, sangat.
"Gue bener-bener kangen sama kelinci kecil gue"
Daiva menutp bibirnya rapat, berusaha agar isakannya tidak keluar dari sana. Jujur, dia juga merindukan cowok ini, tapi dia tidak bisa mengatakannya.
"Kenapa tadi gak sekolah? Lo sakit?" tanya Gyan penuh perhatian sambil mengelus pipi gadis itu lembut. Kenapa gadisnya terlihat lebih kurus sekarang?
"Lo jahat, Yan. Lo jahat sama gue. Lo pergi, lo tinggalin gue dan lo ingkarin semua janji kita. Gue benci kita yang kayak gini, gue pengen kayak dulu lagi, yan. Gue pengen, g-gue-"
Pecah sudah tangis Daiva yang dia tahan sedari tadi, gadis itu terluka, dia terluka dan tidak tahu harus mengatakannya pada siapa. Karna orang-orang disekitarnya juga terluka.
Sekarang giliran Gyan yang terdiam ditempatnya. Dia tahu, gadis itu tak sekuat kelihatannya disekolah. Sekuat apapun Daiva menyimpan lukanya, akan tetap terlihat jelas luka gadis itu jika dia menatap matanya saja. Walau mereka dan yang lainnya sama-sama terluka, tapi disini Daiva adalah perempuan yang hatinya paling rapuh. Gadis itu akan tetap menjadi yang paling terluka diantara mereka. Gadis itu terlalu rapuh untuk semuanya.
"Gue kangen sama lo, gue pengen kayak dulu lagi. Tapi gak bisa, kita udah jauh banget sekarang. Semuanya udah berubah. Lo juga udah ninggalin gue"
"Gue juga kangen sama lo, Dai. Gue selalu kangen sama kalian. Lo, Daksa, Affandra dan Alano , gue kangen sama kalian semua. Sahabat gue"
"Tapi lo pergi, yan. Lo ninggalin gue," lirih gadis itu lemah. Perlahan, dia membalas pelukan Gyan. Dia rindu pelukan ini. Rasanya sudah lama dia tidak merasakan cowok itu dan dia selalu merindukannya.
"Gue gak bakal pergi, Dai. Gue selalu sama kalian, gue gak mau ninggalin sahabat-sahabat terbaik gue. Dari dulu sampe sekarang, kalian adalah sosok yang gak bakal pernah gue tinggalin"
Daiva menatap mata Gyan lekat, berusaha mencari kebohongan disana tapi nihil, yang dia dapati adalah tatapan cowok itu yang tak pernah berubah dari dulu. Selalu teduh dan hangat.
"Lo sayang sama kita?" Tanyanya ragu, tapi Gyan malah menjawabnya dengan mantap.
"Gue sayang sama kalian, Dai"
"Terus kenapa lo lakuin itu? Kita semua begini karna lo, Yan. Apa lo tahu sekecewa apa kita sama lo. Gue, Daksa, Alano dab Affandra sampe sekarang aja gak percaya kalo lo lakuin itu semua ke kita. Kenapa? Kenapa, Gyan? Kenapa lo lakuin itu ke kita? Apa salah kita?"
"Daiva"Pertanyaan itu benar-benar menusuk hati Gyan. Andai saja gadis itu tahu, bukan hanya mereka saja yang kecewa disini. Tapi dirinya juga.
Siapa yang tidak kecewa jika sahabatnya saja tidak percaya padanya? Apa sedangkal itu persahabatan mereka sampai-sampai Daiva dan yang lain lebih percaya orang lain dibandingkan dirinya. Apa sehina itu dirinya dimata mereka?"Tunggu gue, Dai! Tunggu gue sampe bisa buktiin semuanya,"
Jangan lupa vote dan komen temen-temen. Semoga bisa dukung aku terus silent sampai tamat ya... makasih semua

KAMU SEDANG MEMBACA
silent
Ficção Adolescente"Anasera, terima kasih untuk tidak menjadi payung saat hujan karna kau tau selain dirimu aku juga menyukai hujan dan aku mohon, tetaplah menjadi obat saat hujan itu membuatku sakit. Tetap temani aku saat hujan itu membasahiku dan ayo kita bermain be...