Selenophile (28)

167 31 3
                                    

Tempat Berlindung Peri Bulan.

Sesuatu yang Hangyeom dirikan, sejak lima tahun lalu, tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya dan juga Jaehan.

Semenjak ia dewasa, saat ia memasuki masa-masa kuliah, Hangyeom tak pernah lagi di temani Ayah, Ibu ataupun Jaehan saat memenuhi jadwal bersama Dokter pribadinya, di Rumah Sakit.

Awalnya, Ibu menolak. Mengatakan bahwa bagaimana jika terjadi apa-apa padanya. Yang langsung Hangyeom bantah saat itu juga.

Mereka terlalu mengkhawatirkan hal-hal yang tidak akan terjadi, katanya.

Sebagai permohonan yang di kabulkan, mereka juga memberi Hangyeom syarat. Dimana Hangyeom ke Rumah Sakit harus atas izin Ayah dan Ibu. Juga, harus dan wajib bersama supir pribadinya. Tidak boleh merencanakan hal-hal yang akan melanggar peraturan, jika Hangyeom tidak mau di rungsingkan oleh Ayah dan Ibu.

Karena itu akan sia-sia. Sebaik-baiknya Hangyeom menyimpan sesuatu, apalagi itu bersifat bohong, Ayah dan Ibu akan mengetahuinya.

Secara menakjubkan, sesuatu yang ia dirikan ini... tidak pernah di ketahui oleh Ayah dan Ibu. Padahal, Hangyeom tak pernah menyuruh supir pribadinya untuk berjanji, dan tidak menceritakan hal-hal yang ia lakukan ini.

Supir pribadi yang ia panggil Ahjussi itu pernah menjawab saat Hangyeom berpura-pura takut akan ketahuan oleh Ayah. "Sepertinya jika itu masih dalam hal baik, Tuan Besar dan Nyonya Besar tidak akan marah, Tuan Muda."

Waktu itu, Hangyeom hanya mengangguk dan kembali fokus pada jalanan di depannya. Tanpa benar-benar menyadari makna di dalamnya.

Bagaimana jika... Ahjussi yang selama ini ia curigai akan mengadukan apapun yang ia lakukan, justru menutup rapat-rapat hal sepele ini? Selagi untuk kebaikan, seperti kata-katanya.

"Ada apa?" Hyuk menusuk pinggang Hangyeom yang ada di sebelahnya, dengan banyak anak-anak didepan mereka. Bermain bola. "Kenapa melamun, hm?"

Hangyeom menoleh, tersenyum. "Tidak." katanya, menggeleng pelan. Tatapannya jatuh pada lapangan kecil yang tak terlalu luas, tapi mampu dijadikan tempat bermain bola oleh mereka setiap harinya. "Aku hanya... kau tau, kau orang pertama yang mengetahui ini, Hyuk-ah."

Terkejut, Hyuk menoleh. Agak menunduk dengan kepala Hangyeom yang hanya sebatas pundaknya. "Apa kau baru saja mengatakan bahwa Ayah, Ibu, dan Jaehanie Hyung tidak tau tempat ini?"

"Ya."

"Sejak kapan?" jeda, sebentar. "Dari mana kau mendapatkan rumah ini, Hyung?"

Hangyeom menatap satu persatu anak kecil didepannya. "Aku bertemu mereka lima tahun yang lalu."

Kedua mata Hyuk melebar, mengerjap karena terkejut.

"Sebenarnya," mulai Hangyeom lagi. "Tadinya, ada Ahjumma yang bertanggung jawab untuk menjaga mereka semua."

Hyuk merapatkan tubuh mereka, dengan paha mereka yang sekarang menempel. Sepenuhnya tidak menyela, dan mendengarkan dengan baik.

"Tapi dua tahun lalu... dia kabur dengan membawa uang kas anak-anak." Hangyeom agak menghela napas. "Dan beberapa barang berharga milik mereka. Yang bahkan uangnya sengaja mereka kumpulkan dari hasil menyanyi di jalanan untuk membeli barang-barang itu."

Membayangkan Hangyeom, seorang diri, memikirkan hal-hal yang tak pernah ia pikirkan akan terjadi. Pada dirinya, dan pada anak-anak menggemaskan yang sangat disayanginya ini.

"Mungkin Jaehanie Hyung benar tentang... tidak ada sesuatu yang abadi di dunia ini. Terlebih, jika itu adalah kebaikan seseorang."

Hening.

Sampai Hyuk menemukan kembali suaranya, dan bergumam. Pelan, dan menenangkan. "Hyung marah?"

"Ya."

"Untuk uang yang hilang, atau untuk kepercayaan mu dan anak-anak yang hilang?"

Hangyeom menoleh pada Hyuk, dengan cepat. Keningnya berkerut, sebentar, sebelum bibirnya terbuka.

Saat tak mendengar balasan apapun dari Hangyeom, Hyuk menoleh. Menatap Hangyeom yang sekarang menggigit bibir bawahnya. Kuat. Hampir berdarah jika saja Hyuk tak menangkup pipi Hangyeom, membuat gigi itu tak lagi menggigit bibirnya.

"Jika tidak bisa bercerita, aku paham." Hyuk menatap Hangyeom, tepat di mata.

"Hyuk-ah, kenapa setiap orang miskin yang sudah dewasa itu tidak dapat di percaya?"

Hyuk agak terkekeh, sejujurnya agak terpana dengan jawaban Hangyeom. "Apa ini masih hal yang sama yang sedang kita bahas tadi?"

"Ya."

"Apa ada orang-orang miskin dewasa lainnya yang kau tidak sukai?"

Hangyeom melepaskan tangan Hyuk dari pipinya. "Aku pernah di todong oleh seseorang, bergaya preman dengan baju jelek dan badan yang bau. Mengatakan bahwa aku harus menyerahkan semua uang ku untuknya, jika tidak ingin dia mencelakaiku."

Hyuk agak tertarik, "Lalu?"

Hangyeom mengangkat kedua bahunya. "Dia menyodorkan pisau kecil, yang justru membuat nya takut dan kabur."

"Hyung-"

"Aku menahan pisau itu dengan tangan ku," Hangyeom memotong kata-kata Hyuk. "Satu detik kemudian, dia kabur dan menatapku dengan takut. Apa aku mengerikan?"

Hyuk membawa tubuh itu untuk ia dekap, erat, dan cepat. Sampai Hangyeom tak bisa menghindar, bahkan hanya untuk menahan.

Telinganya berada tepat di dada Hyuk. Merasa jantung itu berdetak dengan lebih cepat, membuat tangan Hangyeom terulur, meremas kaus Hyuk.

"Hyuk-ah?"

Hening.

"Hyuk-ah?"

"Hm?"

"Apa kau tidak apa-apa?" suara itu pelan. "Jantungmu... kencang sekali. Apa ada yang salah? Apa aku menakutimu?"

Tidak. "Ya."

Hati Hangyeom mencelos. Perasaan bersalah itu hinggap. Ia baru akan menarik diri dari pelukan Hyuk, saat Hyuk menahannya. "Tetaplah seperti ini, Hyung."

"Kau bilang-" remasan tangan Hangyeom di kausnya menguat. "-aku menakutimu."

"Kau memang menakutiku... dengan cara yang gila."

Tapi Hangyeom tak benar-benar mengerti.

"Mian, aku tidak bermaksud," Hangyeom melepaskan satu jarinya yang menggenggam kaus Hyuk. "Apa kau akan pergi?"

Pelukan Hyuk di tubuh Hangyeom melonggar, tapi tak melepaskan. "Apa?"

"Biasanya, saat mereka mengatakan takut, mereka akan pergi dengan wajah ketakutan... yang ditujukan untuk aku."








tbc.

tbc

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Selenophile (Hyuk x Hangyeom)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang