26

1K 120 22
                                    


Tangisan pilu tak dapat lagi terbendung, melihat apa yang disaksikan olehnya secara nyata dan pasti. Ia menangis dan terus menangis mengingat semua kenangan yang masih melekat pada benak dan pikirannya, bagaimana semua ini bisa terjadi? apakah ia yang bersalah atas semua ini? semua pertanyaan itu berputar dengan bebas didalam pikiran dan hatinya, "Sadarlah sayang, aku dan calon bayi kita sangat membutuhkanmu sekarang..."

Sudah pada hari ketiga ia terus menangis seperti ini, tak ada yang berarti baginya sekarang selain Freen Sarocha, orang yang sangat ia benci itu sekarang mampu meluluhkan hatinya dengan semua perlakuan yang ada, walau juga mendapatkan perlakuan yang kasar dimasalalu, namun itu semua sudah terbakar habis dibenaknya, yang ia ingat hanyalah bagaimana wanita itu berkorban untuknya.

Ronald menghampirinya, dengan perlahan ia membelai rambut wanita itu dan tersenyum, "Kau harus makan, jaga kesehatanmu dan bayi yang ada disana." Ia tersenyum sembari mengarahkan pandangannya pada perut rata Rebecca, "Freen akan marah jika kau tak menjaga kesehatan, jadi sekarang makanlah." Perlahan namun pasti, ia mengambil tempat untuk duduk bersebelahan dengan Rebecca, menyodorkan semangkuk makanan yang masih hangat dan sebotol air mineral.

Rebecca yang mendapatkan perlakuan itu lantas tersenyum iba-hatinya kembali tersayat saat mendengarkan apa yang dikatan pria tersebut, memang benar jika ia harus mengkonsumsi sesuatu sekarang. Ya! dia harus kuat, "Terimakasih nald, aku akan selalu menjaga kesehatanku. Kau tenang saja." dengan itu, sekarang ia memakan makanan yang telah disediakan Ronald.

"Bagus!" Ronald bertepuk tangan, kemudian tertawa kecil atas apa yang ia lakukan sendiri, merasa bodoh atas tingkahnya yang sedikit kekanak-kanakan. Rebecca tersenyum dan pandangannya beralih pada kaca besar yang memperlihatkan jika orang yang ia tunggu sedang terbaring lemah dengan banyaknya peralatan medis yang dipasangkan ditubuhnya.

Walaupun sedang terbaring, kau selalu memancarkan cahaya yang begitu terang, kau bagai malaikat bagiku, sayang. Aku sungguh menyesal karena tidak pernah mendengarkan apa yang kau katakan, mungkin jika waktu bisa diulang kembali-aku ingin menjadi orang yang patuh atas seluruh perintahmu....

Melihat wanita itu diam dengan airmata yang sudah lolos, ia mengerti jika Rebecca sedang merindukan sosok wanita itu, "Hei becc? kau mau membalas semua perlakuan yang mereka perbuat?" mendengar apa yang dilontarkan pria itu, ia lantas mengernyitkan dahinya, apa memang ia harus melakukan itu? Sesaat kemudian ia tersenyum kembali, "Um, maukah kau membantuku?" Ia tahu jika apa yang akan ia lakukan kedepannya mungkin akan mendatangkan masalah baru, namun apa boleh buat-Melihat wanita yang terbaring tersebut mampu membuat adrenalin berpacu untuk segera menghancurkan siapa saja yang membuat wanita itu terbaring.

Ronald lantas berdiri dan terdiam beberapa saat, ia memandangi wanita yang berada didalam ruangan bernuansa putih tersebut, dengan sedikit bersusah payah, ia tak bisa membendung airmatanya, "Kau jangan khawatir, aku akan segera kembali dan kupastikan mereka semua mendapatkan apa yang pantas mereka terima." Berbicara kepada Rebecca dengan nada yang meyakinkan, namun Rebecca membalasnya dengan sebuah gelengan dan kemudian berkata, "Tidak, kau tak akan melakukan itu. Aku sendiri yang akan membalaskan kepada mereka semua." Pria tersebut hanya mengangguk sebagai jawaban. Menyeka air mata yang tadinya menetes, Ronald kemudian berpamitan kepada Rebecca, "Sebaiknya aku segera bergegas, aku akan mencari lokasi mereka. Dan tugas selanjutnya akan ku serahkan kepada mu bec, kumohon berhati-hatilah, aku akan mengirimkan beberapa orang untuk berjaga disini."

__________

Sudah satu minggu waktu yang dihabiskan Rebecca hanya untuk menunggu sang pujaan hati bangun dari tidurnya, ia terlihat sedikit pucat dari biasanya saat ini, ia mendapat beberapa gejala umum dimasa kehamilan. Pagi ini ia akan pulang sebentar hanya untuk mengambil beberapa pakaian ganti dan akan segera kemari kembali setelah ia melakukan beberapa hal tersebut, "Terimakasih sudah mau membantuku, Rin." ia berucap kepada wanita didepannya, sahabat satu-satunya yang ia miliki. Mendengar yang disampaikan oleh Rebecca, Irin tersenyum senang dan merangkul lengan milik Wanita disampingnya, Noey. Rebecca yang melihat itu hanya bisa menampilkan wajah masamnya dan sesekali mulutnya dibuat seperti mencibir.

"Hei? You are okay?" Rebecca jelas mendengarkan apa yang ditanyakan oleh sahabatnya itu, namun ia memilih untuk diam. Ia berjalan maju memasuki ruangan yang terdapat wanitanya didalam sana. Dengan langkah gontai ia menarik satu kursi yang berada disamping ranjang, ia duduk dan tersenyum menggenggam tangan milik Freen. Banyak sekali yang ia pikirkan, bagaimana jika Freen akan terus begini? ia sudah sangat merindukan sosok wanita yang selalu membuatnya jengkel, dan beberapa hari bukanlah waktu yang singkat baginya-ia merasa menunggu selama 7 tahun lamanya. Ia hanya dapat bertemu dengan Freen sehari sekali dan itu cukup membuatnya frustasi.

Saat waktunya sudah habis untuk berkunjung, ia segera berdiri dan beberapa saat genggamannya ingin terlepas, sesuatu membuatnya hampir terperanjat, Ia segera berbalik dan menemukan tangan yang tadinya ia genggam bergerak perlahan dan itu mampu membuat Rebecca kembali menangis, ia segera melangkah maju dan menekan tombol yang berada disana untuk memanggil dokter, ia mencium telapak tangan tersebut dan menangis disana, "Akhirnya, sayang."

Sementara dokter memeriksa wanitanya, ia disuruh untuk keluar dan dengan pasrah ia hanya mengangguk. Ia menghampiri sahabatnya dan segera tersenyum, Irin yang melihat itu lantas mengerutkan keningnya, "Kenapa bec? apakah terjadi sesuatu? aku melihat beberapa orang masuk." Ia melontarkan pertanyaan itu dengan nada yang cepat, sementara Rebecca hanya tersenyum dan itu membuatnya merasa jengkel, "Dengar aku? bagaimana kondisi Freen?" Sekarang ia berucap dengan sedikit lantang dan itu membuat Rebecca hampir menampar mulut Irin, dengan sangat cepat ia menjawab, "Kau! membuatku terkejut, bodoh." mendengar perkataan Rebecca, irin menghela nafas, "Katakan, apa yang terjadi."

Rebecca kemudian dengan cepat menjelaskan kepadanya, Irin yang mendengar apa yang membuat temannya begini tersenyum senang dan memeluk sosok wanita muda itu, "Akhirnya bec, selamat." Irin berucap saat masih berada didalam pelukan mereka berdua, Rebecca mengangguk dan menangis namun bukan untuk kesedihan, melainkan kesenangan yang menghampirinya. Beberapa menit dihabiskan mereka berdua didalam posisi itu sampai pintu ruangan yang membuatnya menunggu akhirnya terbuka dan Rebecca segera menguraikan pelukannya dan menghampiri pria berpakaian putih yang berada didepan pintu, "Bagaimana dok? apakah dia baik-baik saja? Saya ingin segera bertemu dengannya, apakah dia sudah bisa pulang? bagaimana dok? saya-

Dengan sedikit tersenyum dokter itu menyela perkataan wanita dihadapannya, jelas karena ia tak berhenti berbicara, "Nyonya Rebecca..." mendengar itu Rebecca segera berhenti melontarkan perkataan, "Ya dok? kenapa?" Rebecca mulai takut, ia sangat takut jika sesuatu yang buruk terjadi, "Dia berhasil melewati koma nya, dan beberapa jam lagi ia akan dipindahkan ke ruangan lain." Ucap dokter tersebut dengan senyuman, mereka yang berada disana tersenyum lega dan secepatnya Rebecca kembali bertanya kepada pria dihadapannya, "Apakah saya boleh masuk?" Dokter tersebut tersenyum kembali dan mengangguk, "Mari."

























































segitu dulu ya! maaf kalo part ini dikit banget, soalnya mau perbaikan kata.

Jangan lupa vote guys...
maaf kalau ceritanya ga nyambung yaa
soalnya ini yang pertama buat saya
makasiii yaaa!!!

Tahanan ( Freenbecky ) On goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang