"Di antara genangan rindu, aku telah memutuskan. Detak jantung ini menyuruhku berhenti. Sejenak menetap hingga fajar sirna. Mencegah debaran rasa itu tumbuh mengantarai kita."
Lagi-lagi, Sekar bangun dengan aroma pahit obat yang menyeruak memenuhi penghidunya. Cewek itu mengerjapkan netranya beberapa kali dan mendapati langit-langit putih rumah sakit yang terlihat begitu dingin. Tidak ada suara yang mampu daun telinganya tangkap selain suara tetasan air infus. Nyaris hening.
Sekar mendudukkan tubuhnya kemudian mendapati pening kembali menghantam kepalanya. Tanpa sadar ia menarik kasar jarum infus yang bersemayam pada tangan kirinya karena selang-selang tak bersalah itu mengganggu pergerakannya. Bibirnya sibuk merintih seraya kaki yang berusaha ia paksa untuk menapak pada lantai.
Sambil mengumpulkan sedikit kewarasan, Sekar meraih ponsel miliknya yang tergeletak begitu saja di nakas dekat ranjangnya, kemudian mulai meninggalkan tempat itu tanpa menoleh. Dengan pakaian seragam putih abu-abu--yang masih sama sejak tadi pagi--cewek itu berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit yang tak begitu ramai. Pada akhirnya, Sekar mendapati pemandangan langit luar gedung rumah sakit dengan sedikit takjub. Ia tak tahu pasti pukul berapa sekarang, namun langit di atas sana sudah berwarna hitam.
Mengabaikan nyeri hebat pada kepalanya, yang Sekar butuhkan saat ini adalah rumahnya. Cewek itu ingin sekali pulang dan menemui Bagas. Ia ingin memastikan dengan mata kepalanya sendiri tentang keadaan Bagas. Sekar ingat, terakhir kali ia melihat Bagas nyaris dipukul oleh Papanya. Perasaan khawatir terhadap Bagas kini lebih mendominasi hatinya ketimbang keadaan dirinya sendiri. Sejenak, melupakan semua fakta yang semula membuatnya marah pada cowok itu.
Di bawah cahaya temaram dari lampu-lampu jalanan kota, Sekar merajut langkahnya dengan perlahan di trotoar jalan. Kaki-kaki telanjangnya dibiarkan kedinginan tersapu angin malam. Bermenit-menit lamanya cewek itu tetap tak bisa menentukan arah ke mana ia mampu pulang. Ia hanya sekedar berjalan tak tentu tujuan.
Rasa sakit yang ditahan Sekar semakin menjadi. Dalam kepalanya, kini muncul bayangan-bayangan aneh yang tak ia mengerti. Rasanya seperti kaset rusak yang sengaja diputar untuk mengingatkannya pada suatu momen yang penting. Cewek itu tersungkur pada aspal yang kasar, merasakan raganya yang kini sudah tidak mampu lagi berdiri tegak. Dengan kesadaran yang tersisa, cewek itu meremat ponsel dalam genggamannya. Suara aneh berdenting, layar yang semula hitam itu menampakkan aksara yang menyusun nama Mas Januar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baskara [on going]
Ficção AdolescenteApa yang bisa kamu pelajari dari sebuah kehilangan? BASKARA | cbg written by putchicolate © 2 0 2 4