Chapter 17

14 1 3
                                        

Jogging malam jadi rutinitas wajib bagi Devina walau sekarang dirinya sedang berada di Bojonegoro. Dengan hoodie dan celana training, Devina berjalan keluar dari hotel yang ia dan tim tempati selama turnamen.

Baru lima meter meninggalkan hotel, Devina langsung dihadang oleh Daniel yang khawatir dengan kondisi Devina yang saat pertandingan bermain full di tambah Devina belum menguasai wilayah yang bisa saja nyasar.

"Istirahat lah, Vina," ucap Daniel memberitahu.

"Kalau aku istirahat dari rutinitasku yang ada aku bakal drop di pertandingan besok," balas Devina.

"Vina, kamu hebat hari ini." ucap Daniel memuji pemain Devina yang ia lihat sudah pantas untuk bermain di Liga 1.

"Turnamen ini aku bakal pastikan sekolah kita juara."

"Aku suka rasa optimismu itu, Devina."

"Niel, kamu jangan khawatir ya. Aku bisa jaga diri kok dan nggak bakalan nyasar." Devina langsung berlari menuju ke rute yang sudah ia survey sebelumnya.

Tak jauh dari tempat Devina dan Daniel berbicara ada Rian dan Nadila yang memperhatikan. Terlihat Rian nampak sedih karena Devina lebih perhatian dan dekat dengan Daniel ketimbang dirinya.

"Yan, kenapa kamu nangis dah? Ganteng-ganteng kok ciwek." tanya Nadila heran sambil memegang mie cup.

"Gapapa kok, Kak. Cuma kelilipan aja." jawab Rian seraya menghapus air mata lalu ia melihat ekspresi Nadila. "Mukamu kenapa sedih gitu, Kak?"

"Siapa yang sedih, aku lagi kepedesan tau," bantah Nadila beralibi karena sebenarnya mie cupnya tidak pedas.

"Aku kesal banget, Kak Vina benar-benar memilih Kak Daniel," curhat Rian.

"Andai aku lebih cepat pasti akan sangat menyenangkan."

Rian yang sedang sesenggukan langsung menengok ke Nadila yang sedang berusaha untuk tidak menangis. "Kak, kamu kenapa hey? Jangan-jangan mau ikutan nangis juga ya."

*****

Kiprah tim sepak bola SMA Garuda di Piala Kartini benar-benar mengejutkan. Tim yang dicap sebagai tim lemah sukses menyapu bersih kemenangan di fase grup yang membuat mereka jadi juara grup bahkan raihan mereka 100% tanpa kebobolan alias sering mendapatkan cleansheet.

Bahkan di partai ketiga yang menentukan nasib lawannya Nadila dan kawan-kawan menggila dengan membuat lawan hanya bisa meraih satu digit shot on target di setiap babak.

Semangat yang ditunjukan Nadila dan kawan-kawan tidak lepas dari dukungan keluarga mereka yang datang langsung menonton, kecuali ibunya Nadila yang tidak datang.

Daniel yang menyadari Nadila iri melihat teman-temannya bercengkerama bersama orang tua, kakak dan adik langsung menelepon ibunya Nadila.

"Halo, Bu Anita," ucap Daniel setelah teleponnya diangkat.

"Iya. Ada apa?"

"Bisakah Bu Anita besok datang menyaksikan Nadila bertanding di 16 besar?"

"Maaf, sepertinya saya tidak bisa."

"Masa Ibu selaku ibunya Nadila tidak bisa hadir? Bu, asal Ibu tahu hadirnya Ibu bisa menambah energi semangat Nadila yang berjuang. Bukan hanya melawan tim lawan tapi Nadila melawan dirinya sendiri. Saya harap Bu Anita paham karena Ibu pernah ada di posisi Nadila."

"Daniel, jadwal saya ini sibuk."

"Saya paham, setidaknya hadir sebentar di tribun saja sudah cukup. Lagian yang saya minta bukan Bu Anita yang datang tapi ibunya Nadila."

I Love U, My Coach Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang