Hallo, ini adalah karya terbaru saya yang diikut sertakan dalam event WMG 02 yang diadakan oleh Galaksy star publisher.
Bismillah, saya bisa menyelesaikan cerita ini. Aamiin...
Happy Reading!!
"Aku mau kita putus." Senyuman yang terlukis pada wajah tampan itu seketika lenyap saat mendengar empat kata yang keluar dari mulut sang kekasih.
Ia menolehkan wajahnya, menatap gadis cantik yang duduk di sebelahnya. Sambil memilin ujung rok lipat motif kotak-kotak dengan gusar.
"Aku gak salah denger?" tanyanya berharap bahwa ia salah dengar.
Reva menggeleng, mendongak menatap tepat pada manik hitam legam yang selalu menatapnya dengan sorot teduh.
"Kamu gak salah denger. Aku memang mau putus." Reva memerjelas ucapannya, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Agar lelaki di sampingnya dapat mendengarnya.
Revan terkekeh samar. Berarti ia tidak salah dengar, bahwa kekasihnya meminta putus padanya. Ia menatap danau yang terlihat indah, dengan hampara tumbuhan di sekelilingnya. Serta ayunan yang terbuat dari kayu, yang talinya menempel pada batang pohon itu tampak bergerak seiring gerakan angin yang berhembus.
"Kenapa minta putus?" tanya Revan tenang. Setenang air danau yang berada di depannya.
"Aku capek, Van," ungkap Reva dengan suara parau.
"Kalo capek istirahat bukan malah minta putus." Hatinya sakit mendengar kata yang tidak pernah terbayangkan dalam hubungannya itu akan telontar dari mulut kekasihnya sendiri. Ia tidak pernah mempunyai pikiran untuk mengakhiri hubungannya dengan Reva, ia mencintai gadis itu. Begitupun sebaliknya, Reva mencintainya. Tapi, kenapa hari inu gadis itu meminta mengakhiri hubungan yang sudah terjalin hampir dua tahun ini?
"Aku capek pacaran sama kamu, Van." Reva berdiri dari duduknya dan menghadap Revan yang masih pada posisi duduk, agar ia bisa menatap wajah tampan lelaki yang selalu berada di sisinya selama dua tahun ini.
Revan menatap tak percaya pada Reva yang berkata seperti itu. "Capek kenapa? Aku ada buat salah sama kamu? Aku minta maaf kalo semisal aku ada salah."
"Please, jangan kaya gini, Va," lanjut Revan lirih.
"Kamu gak salah, Van. Tapi, aku yang salah nerima kamu di hidup aku." Reva mengepalkan tangannya kuat saat melihat tatapan kecewa yang dilayangkan oleh Revan padanya. Ia buru-buru menambahi lagi. "Aku nyesel pacaran sama kamu."
"Reva?" Revan menatap gadis itu dengan sorot teduh, ia ikut berdiri menggenggam tangan Reva yang terkepal kuat. "Lebih baik kamu istirahat, ya. Kebiasaan banget kalo capek pasti ngomongnya ngelantur kaya gini."
Revan mencoba tersenyum disaat hatinya sedang kacau mendengar semua penuturan yang terucap dari bibir Reva. Ia masih tidak bisa memahami situasi, ia sangat berharap bahwa apa yang didengaenya itu tidak benar. Reva hanya sedang lelah, kebiasaan gadis itu ketika capek selalu berbicara yang tidak-tidak. Revan sudah hapal tentang bagaimana gadisnya itu.
"Revan. Hubungan kita cukup sampai di sini aja, aku gak mau lanjutin hubungan ini lagi." Reva menarik tangannya yang berada di genggaman Revan. Ia menarik nafasnya sebelum mengucapkan kata-kata yang sudah ia persiapkan sejak malam yang mungkin akan sangat menyakiti Revan.
"Kamu tau? Nerima kamu di hidup aku itu adalah kesalahan besar yang pernah aku lakuin. Kamu gak layak buat bersanding sama aku. Aku punya prestasi untuk dibanggakan sedangkan kamu punya apa? Perbedaan ini yang buat aku nyesel pacaran sama kamu. Kita beda, Revan. Beda." Reva menekan kata 'beda' di akhir.
"Beda? Sejak kapan kamu mikirin perbedaan di antara kita? Bukannya dulu kamu gak pernah permasalahin itu? Kamu berprestasi sedangkan aku hanya cowok berandalan yang hobynya tawuran. Kamu punya keluarga yang harmonis, sedangkan aku lahir dari keluarga broken home. Kenapa baru sekarang, Va?" Revan mengusap wajahnya dengan kasar. Kenapa tidak dari dulu? Reva mengatakan perbedaan itu, kenapa baru sekarang ketika hubungannya sudah berjaaln hampir dua tahun?
"Reva, aku mohon sama kamu. Kalo aku punya salah aku minta maaf, bukan kay gini cara kamu hukum aku atas kesalahan yang aku aja gak tau apa? Kasih tau aku, aku salah apa?" Revan menyentuh kedua bahu Reva yang lebih pendek darinya, gadis itu membuang wajahnya ke samping. Sebelum akhirnya, Reva melepaskan tangannya yang berada di kedua pundak gadis itu dan mundr dua langkah.
"Maaf, hubungan kita cukup sampai di sini. Aku gak mau lanjutin hubungan yang dari awal udah salah. Terimakasih, Revan." Reva menatap wajah tampan Revan untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya gadis itu berbalik untuk pergi dari hadapan Revan yang mematung sambil mengepalkan kedua tangannya.
"Reva!!" teriak Revan tak terima. Lelaki itu mengejar Reva yang berlali menjauh darinya. Ia semakin mempercepat laju larinya saat melihat Reva menyebrangi jalan. Beruntung tidak ada mobil yang lewat di sana, sehingga Revan bisa menyebrangi jalan tanpa menoleh ke kanan dan ke kiri terlebih dahulu.
Berhasil. Revan berhasil menangkap pergelangan tangan Reva. Gadis itu meronta meminta dilepaskan.
"Lepasin gue!" Sesaat Revan tertegun mendengar perubahan kosa kata yang Reva gunakan.
"Aku gak bakal lepasin kamu, Va!" balas Revan menarik Reva agar mendekat padanya.
"Lo apa-apaan, sih? Gue sama lo udah gak ada hubungan apapun lagi!" tanya Reva mencoba melepaskan cekalan tangan Revan pada pergelangan tangannya.
"Aku gak pernah setuju buat putus sama kamu." Revan tersulut emosi, cowok itu menguatkan cengkeraman tangannya pada Reva.
"Sakit, Van," ringis Revan pelan. Tapi, cowok itu tidak memperdulikan ringisan Reva.
"Lo gak bisa putusin gue secara sepihak, sialan!" bentak Revan membuat Reva terlonjak. Karena emosinya, Revan pun iut mengubah kosa katanya.
"Bisa! Gue tentu aja bisa, Van!" jawab Reva berani. Gadis itu membals tatapan tajam Revan tak kalah tajam.
Revan terkekeh sinis. "Hubungan ini ada karena persetujuan kedua belah pihak. Dan lo gak bisa mutusin gue seenak lo!"
Reva tampak ketakutan melihat wajah Revan yang dipenuhi amarah. Seiring dengan cengkeraman pada lengannya semakin kuat. Revan seolah ingin meremukan pergelangan tangannya detik ini juga.
"Gue muak pacaran sama cowok tempramental kaya lo! Lo gak bisa ngendaliin emosi lo kalo lo lagi marah. Tanpa sadar emosi lo itu nyakitin gue, sialan!" teriak Reva tepat di depan wajah Revan. Membuat cowok itu terkejut bukan main. Ini pertama kalinya melihat Reva berteriak seperti ini.
"Lo gak pernah mikirin gimana perasaan gue ketika lo lagi ada masalah sama temen-temen lo itu. Lo ngabain gue seharian cuma demi hal yang gak ada gunanya yaitu tawuran. Berkali-kali gue nyuruh lo berhenti ikut tawuran, tapi apa? Lo gak pernah nurutin keinginan gue. Padahal gue cuma gak mau lo kenapa-napa." Suara Reva mengecil di akhir kalimat. Kedua mata gadis itu mulai berkaca-kaca.
Cengkeraman tangan Revan pada lengan Reva terlepas. Cowok itu beralih menangkup kedua pipi Reva, tatapan penuh amarahnya menyurut berganti dengan tatapan rasa bersalah.
"Jadi, ini alasan kamu minta putus?"
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANO UNTUK REVA
Teen FictionSemua orang itu punya masa lalu, baik itu tersimpan sebagai kenangan atau justru rasa sakit yang tak terlupakan. Namun, bagi Revano Giantara masa lalu yang ia rasakan merupakan sebuah kehancuran yang membawanya pada kegelapan tanpa cahaya sedikitpun...